Kamis, 23 September 2010

materi Ushul Fiqh

ILMU FIQH/USHUL FIQH








H. HASBIYALLAH, M.Ag
















FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
TAHUN AKADEMIK
2010/2011


DAFTAR ISI
Pendahuluan 3
Pengertian Ushul Fiqh 5
Kegunaan Ushul Fiqh 6
Hubungan Ushul Fiqh dengan Fiqh 7
Objek Pembahasan 7
Pertumbuhan Ilmu Fiqh 8

Sumber-Sumber Hukum Islam
Al-Quran 12
Sunnah 25
Ra’yu (Ijtihad) 30

Hukum Taklifi dan Wadh’i 32
Pembagian Hukum Taklifi 33
Pembagian Hukum Wadh’i 37
Rukhsoh dan Azimah 39

Istimbath dan Istidlal 40
Pendekatan Lafazh 40
1. Meninjau Kejelasan Lafaz 40
2. Meninjau Dalalah Lafazh 60
3. Meninjau Cakupan Lafazh 71
4. Meninjau Bentuk Taklif 84


Pendekatan Makna 99
1. Ijma’ 100
2. Qiyas 102
3. Istihsan 104
4. Maslahah Mursalah 110
5. ‘Urf 115
6. Istishab 119
7. Syar’u Man Qablana 122
8. Dzari’ah 126

Unsur-Unsur Hukum Islam 129
Ijtihadd 135
Taqlid 147
Ittiba’ 149
Talfiq 150
Tarjih 153

Qaidah Ushuliyah dan Qaidah Fiqhiyah 150
Daftar Pustaka 171


PENDAHULUAN

Ilmu Fiqh/Ushul Fiqh adalah ilmu yang secara garis besar mengkaji cara-cara mengistimbatkan hukum. Sekalipun ilmu fiqh/ ushul fiqh ini muncul setelah fiqh, tetapi secara teknisnya sebelum fiqh itu ada terlebih dahulu ulama menggunakan ushul fiqhnya. Artinya sebelum seorang ulama menetapkan suatu perkara itu haram, ia telah mengkaji alasan-alasan perkara itu diharamkan. Hukum haramnya itu disebut fiqh, dan alasan-alasannya itu disebut ushul fiqh atau ilmu fiqh.

Oleh karena itu, sebelum mahasiswa diberikan materi fiqh, ushul fiqh harus diberikan terlebih dahulu, sehingga mahasiswa mengetahui alasan-alasan ulama yang menetapkan suatu hukum dari suatu perkara. Sehingga mahasiswa setelah mempelajari ini terhindar dari taqlid, yaitu mengetahui hukum dari ulama tanpa mengetahui dalil yang digunakan oleh ulama tersebut.

Ilmu Fiqh adalah ilmu yang mengantarkan kepada pemahaman masalah-masalah fiqh, ilmu fiqh ini sering dikenal dengan ushul fiqh yaitu dasar-dasar atau kaidah-kaidah yang dijadikan patokan untuk memahami fiqh. Yakni memahami hukum-hukum yang telah tetap dalam fiqh. Sehingga sebelum orang memahami fiqh hendaknya dia memahami ushul fiqh.

Orang yang faham fiqh tanpa faham ushul fiqh seperti orang yang membaca teks berbahasa Arab tanpa mengetahui kaidah-kaidah nahwu sharaf dalam bahasa Arab. Demikianlah pentingnya ushul fiqh.

Ilmu fiqh/Ushul Fiqh ini pun perlu diberikan bagi mahasiswa fakultas tarbiyah terutama mahasiswa PAI sebagai wawasan keagamaan di bidang fiqh, juga bagi jurusan-jurusan lain di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan sebagai bahan rujukan untuk mencari metodologi pengajaran keagamaan dan penanaman nilai keagamaan.

Dengan senantiasa mengharap ridha Allah SWT., semoga banyak orang meraih manfaat dalam mengkaji dan mengamalkan ajaran-ajaran yang betul-betul memberikan nilai manfaat bagi kehidupan umat manusia. Amin

PENGERTIAN, KEGUNAAN DAN OBJEK
PEMBAHASAN USHUL FIQH

Pengertian
Ushul fiqh terdiri dari kata ushul dan fiqh. Ushul jamak dari ashl yaitu dasar atau pokok, sedangkan fiqh adalah pemahaman yang mendalam. Menurut ulama fiqh adalah ilmu untuk mengetahui hukum-hukum syara’ yang diambil dari dalil-dalil secara tafshiliyah. Jika kata fiqh ini dikaitkan dengan ushul sehingga menjadi ushul fiqh, maka definisinya menjadi dasar-dasar untuk mengetahui hukum-hukum syara’ yang diambil dari dalil-dalil secara tafshiliyah. Misalnya, shalat menurut fiqhnya adalah wajib, dan menurut ushul fiqhnya adalah dalil syara’ yang menyatakan perintah untuk mendirikan shalat, dan selalu dilaksanakan oleh Rasulullah dan beliau tidak pernah meninggalkannya sekalipun dalam keadaan sakit. Sehingga shalat adalah hukumnya wajib.

Shalat tarawih menurut fiqh hukumnya Sunnat, karena ushul fiqhnya adalah bahwa Rasul Muhammad pernah meninggalkan shalat ini karena dikhawatirkan bahwa shalat ini adalah wajib.

Syekh Kamaluddin bin Himam dalam Tahrir memberikan definisi ushul fiqh: “ushul fiqh adalah pengertian tentang kaidah-kaidah yang dijadikan sarana (alat) untuk menggali hukum-hukum fiqh.” Atau dengan kata lain, ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara (methode) pengambilan (penggalian) hukum-hukum yang berikaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’i. sebagai contoh, ushul fiqh menetapkan bahwa perintah (amar) itu menunjukkan hukum wajib, dan larangan (nahi) menunjukkan hukum haram. Contoh tentang hukum wajibnya shalat, firman Allah SWT:
واقيموا الصلاة
“Dirikanlah shalat.”
Dan contoh haramnya zina. Firman Allah Swt:
ولاتقربوا الزنى
“Janganlah kalian dekati zina.”

KEGUNAAN
Dari definisi di atas, telah tergambar dengan jelas, manfaat mempelajari ushul fiqh, diantaranya adalah:
1. Mengetahui dalil-dalil yang digunakan dalam menetapkan hukum
2. Menghindari sifat taqlid (mengikuti pendapat suatu mazhab tanpa mengetahui dalil yang digunakan)
3. Memperluas wawasan berpikir/metode berpikir para ulama dalam menetapkan suatu hukum.
4. Mampu mengistimbath hukum terhadap perkara yang baru muncul
5. Mampu berpikir logis dan analisis terhadap suatu perkara.




HUBUNGAN USHUL FIQH DENGAN FIQH
Hubungan Ushul fiqh dengan fiqh adalah seperti hubungan ilmu manthiq (logica) dengan filsafat, bahwa manthiq merupakan kaedah berpikir yang memelihara akal, agar tidak terjadi kerancuan dalam berfikir. Juga seperti hubungan ilmu nahwu dengan bahasa Arab, ilmu nahwu sebagai gramatika yang menghindarkan kesalahan seseorang di dalam menulis dan mengucapkan bahasa Arab. Demikian ushul fiqh diumpamakan dengan ilmu manthiq atau ilmu nahwu, sedangkan fiqh seperti ilmu filsafah atau bahasa Arab. Sehingga ushul fiqh berfungsi menjaga agar tidak terjadi kesalahan dalam mengistimbath hukum.

OBJEK PEMBAHASAN USHUL FIQH
Obyek fiqh adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia beserta dalil-dalilnya yang terinci. Adapun obyek ushul fiqh adalah mengenai methodologi penetapan hukum-hukum tersebut. Kedua disiplin ilmu tersebut (fiqh dan ushul fiqh) sama-sama membahas dalil-dalil syara’ akan tetapi tinjauannya berbeda. Fiqh membahas dalil-dalil tersebut untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Sedangkan ushul fiqh meninjau dari segi methode penetapan hukum, klasifikasi argumentasi serta situasi dan kondisi yang melatarbelakangi dalil-dalil tersebut.

Dalam hal ini, obyek pembahasan ushul fiqh adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan JMNNmethodologi yang dipergunakan oleh ahli fiqh di dalam menggali hukum syara’. Jadi obyek ushul fiqh meliputi klasifikasi dalil, orang-orang yang dibebani hukum syara’, serta orang-orang yang tidak berhak taklif, kaidah-kaidah bahasa yang dijadikan petunjuk oleh ahli fiqh untuk menetapkan hukum-hukum syara’ dari nash, kaidah-kaidah dalam menggunakan qiyas dan menetapkan titik persamaan dan menetapkan titik persamaan antara hukum pokok dan cabang. Di samping itu, ushul fiqh juga menjelaskan tentang hukum-hukum syara’ beserta tujuannya, pembagiannya, rukhsah, ‘azimah dan lain-lain sebagai kategori methodology yang dipergunakan oleh ahli fiqh untuk menggali hukum syara’.


PERTUMBUHAN ILMU USHUL FIQH
Ushul Fiqh tumbuh bersama-sama dengan Fiqh, meskipun ilmu fiqh dibukukan lebih dahulu daripada Ushul Fiqh. Karena dengan tumbuhnya Fiqh, tentu ada metode yang dipakai untuk menggali ilmu tersebut. Dan metode itu tidak lain adalah Ushul Fiqh.

Zaman Rasulullah ilmu ini sudah digunakan oleh beliau sendiri sebagai Syari’, yang tentunya bersumber dari wahyu Allah Swt. Setelah beliau wafat, para sahabat yang dikenal sebagai pakar (fuqaha) seperti Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thalib
dan Umar bin Khattab tidak mungkin menetapkan hukum tanpa adanya dasar dan batasan. Seperti fatwa yang dikeluarkan oleh Ibnu Mas’ud bahwa ‘iddahnya perempuan yang ditinggal mati oleh suami, sementara ia sedang hamil, adalah sampai melahirkan, berdasarkan firman Allah:
واولات الاحمال اجلهنّ ان يضعن حملهنّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS. At-Thalaq: 4).

Dia memberikan fatwa demikian karena menurut asumsinya bahwa surat at-Thalaq turun setelah surat al-Baqarah.

Cara ini mengisyaratkan bahwa kaidah ushul fiqh yang menyatakan ayat yang turun kemudian menasakh (menghapus) ayat yang turun lebih dahulu.

Pada masa tabi’in, penggalian hukum syara’ semakin meluas, lantaran banyak permasalahan yang terjadi pada saat itu, dan banyak para ulama tabi’in yang memberikan fatwa, dengan dasar-dasar yang mereka pegang adalah al-Quran, Hadits dan fatwa sahabat. Bila tidak terdapat keterangan dari nash, maka sebagian mereka ada yang menempuh penetapan hukum dengan mempertimbangkan kemaslahatan dan ada pula yang menempuh jalan qiyas.

Setelah periode tabi’in, tepatnya pada masa imam-imam mujtahid, metode penetapan hukum syara’ bertambah banyak corak dan ragamnya. Dengan semakin banyaknya metode penetapan hukum, maka semakin banyak pula kaidah-kaidah istimbath dan petunjuk-petunjuknya, sebagaimana dapat kita lihat dengan jelas dari ucapan para imam mujtahid.

Seperti Imam Abu Hanifah yang membatasi dasar-dasar ijtihadnya dengan menggunakan al-Quran, Hadits dan fatwa-fatwa sahabat yang disepakati. Sedang fatwa-fatwa yang masih diperselisihkan, dia bebas untuk memilih salah satunya, dan tidak keluar (menyimpang) dari fatwa-fatwa tersebut. Dia sama sekali tidak mau mengambil pendapat para tabi’in, karena mereka sederajat dengan dirinya. Dalam berijtihad, dia menyamakan antara qiyas dengan istihsan.

Imam Maliki mempunyai metode ijtihad yang jelas dengan berlandaskan pada amal (tradisi) penduduk Madinah. Hal itu dijelaskan di dalam kitab-kitabnya, risalah-risalahnya, syarat periwayatan hadits serta kritiknya terhadap hadits seperti yang dilakukan oleh Imam Shaifafi al-Mahir. Begitu juga penolakannya terhadap sebagian atsar yang dinisbahkan kepada Rasulullah lantaran bertentangan dengan nash al-Quran atau ketetapan yang telah masyhur dalam kaidah agama, seperti penolakannya terhadap hadits yang berbunyi:
اذا ولغ الكلب فى اناء احدكم غسله سبعا
“Apabila anjing menjilat pada suatu bejana, maka basuhlah (sucikanlah) tujuh kali.”

Atau penolakannya terhadap hadits tentang khiyar majlis dan hadits tentang pemberian shadaqah dari orang yang wafat.

Imam Syafi’i telah memperoleh peninggalan hukum-hukum fiqh yang diwariskan oleh sahabat, tabi’in dan para imam yang telah mendahuluinya. Juga rekaman hasil diskusi antara aliran fiqh yang bermacam-macam, sehingga beliau memperoleh gambaran yang kongkrit antara fiqh ahli Madinah dan fiqh ahli Iraq. Dengan modal tersebut, dia mampu menyusun kaedah-kaedah yang disebut ushul fiqh.

Setelah madzhab-madzhab fiqh menjadi baku, kajian para fuqaha terhadap ushul fiqh terbagi menjadi dua aliran yaitu:
1. Aliran Teoritis, dari permasalahan yang terdapat dalam berbagai madzhab. Aliran teoritis ini hanya menetapkan kaidah-kaidah tanpa bertujuan untuk menguatkan atau membatalkan praktek-praktek berbagai madzhab.
2. Aliran Praktis, yang bertujuan untuk memberikan legitimasi terhadap hasil-hasil ijtihad dalam masalah-masalah furu’.


SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
Islam adalah agama sempurna yang ajarannya mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, mengatur dari hal-hal kecil sampai kepada hal-hal yang besar, karena Islam memiliki sumber hukum dari Allah Dzat Yang Maha Mengetahui, yaitu Al-Quran.

Hukum yang ada dalam Al-Quran selalu teraplikasi dalam segala sikap dan perbuatan Rasul yang disebut dengan Hadist atau Sunnah.

Jika kedua sumber hukum Islam tersebut tidak mencakup suatu masalah furu’iyah, maka ra’yu atau ijtihad menjadi sumber hukum setelah Al-Quran dan al-Sunnah.

Al-Quran
Definisi Al-Quran
Al-Quran dari segi bahasa merupakan bentuk mashdar dari kata qaraa, yang terambil dari wajan fu’lan, yang berarti “bacaan” atau apa yang tertulis padanya, maqru, seperti terungkap dalam surat Al-Qiyamah (75):17-18
انّ علينا جمعه وقرأنه فاذا قرأناه فاتبع قرأنه ثمّ انّ علينا بيانه
Artinya:
“Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkan (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. Al-Qiyamah:17-18)

Adapun definisi secara terminologi adalah sebagai berikut:
كلام الله تعالى المنزّل على محمد صلى الله عليه وسلم باللفظ العربيّ المنقول الينا بالتواتر المكتوب بالمصاحف المتعبّد بتلاوته المبدوء بالفاتحة والمختوم بسورة الناس
Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, tertulis dalam mushaf, membacanya merupakan ibadah, dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas.

Al-Quran merupakan petunjuk bagi semua umat manusia, semua orang dari berbagai macam profesinya membutuhkan petunjuk dari al-Quran, ahli ekonomi, politik, science dan sebagainya membutuhkan petunjuk dari al-Quran. Sehingga petunjuk al-Quran mampu memberikan jalan dan solusi bagi semua problematika yang dihadapi oleh umat manusia.

Al-Quran sebagai sumber pertama dalam Islam, semua orang dapat merujuk (bersumber) kepada al-Quran, karena dalam al-Quran terdapat berbagai keyakinan kepada Allah (aqidah), ilmu pengetahuan, nilai-nilai, tolok ukur kebenaran, ibadah, syair, akhlak dan sastra, undang-undang dan aturan semua itu diungkap dalam al-Quran secara mendasar dan Sunnah lah yang akan memperjelas dan memperinci keumuman al-Quran.

Al-Quran mengungkap pula hakikat ghaib, hakikat jiwa, hakikat kehidupan, hakikat masyarakat, ketentuan-ketentuan Allah (sunatullah), tanda-tanda kekuasaan-Nya dalam diri manusia dan alam yang manusia tidak merasa cukup untuk mengetahui dan mengambil petunjuk darinya.

Para ulama sepakat bahwa al-Quran adalah sebagai hujjah (argumentasi) dalam segala tindakan, artinya bahwa segala sikap dan perilaku manusia harus sejalan dan seirama dengan tuntunan al-Quran. Namun demikian ulama berbeda pendapat dalam masalah apakah al-Quran itu lafazh dan maknanya atau hanya lafazhnya saja. Seperti Imam Syafi’i berpendapat bahwa al-Quran hanyalah lafazhnya saja. Hal ini didasarkan kepada firman Allah Swt:
وكذلك أنزلنا قرأنا عربياّ
“Dan begitulah Kami turunkan al-Quran dengan berbahasa Arab.”

Sehingga al-Quran jika diterjemahkan ke dalam bahasa lain (ghairu ‘arab) tidak bisa dikatakan al-Quran, karena al-Quran hanya rangkaian hurup berbahasa Arab.

Dengan demikian, tak heran bila Imam Syafi’i dalam berbagai pendapatnya sangat mementingkan penggunaan bahasa Arab, seperti dalam shalat, nikah, khutbah dan lain-lain.

Adapun Imam lain seperti Abu Hanifah berpendapat bahwa al-Quran mencakup lafazh dan maknanya, sehingga dalam pendapatnya, ia membolehkan shalat dengan selain bahasa Arab.

Keistimewaan al-Quran
Diantara keistimewaan yang dimiliki al-Quran adalah sebagai berikut:
1. Kalam Allah (Kalamullah)
Al-Quran adalah murni kalam (firman) Allah tanpa ada keraguan sedikit pun. Bukan karya manusia dan tidak dapat diubah oleh manusia. Seluruh isi dalam al-Quran seratus persen bersumber dari Allah SWT dari mulai hurup alif sampai ya’, bukan dari Jibril dan bukan pula dari Muhammad, mereka hanya penyampai dan penerima kemudian disampaikan dan dijelaskan. Sebagaimana firman Allah SWT:
وانه لتنزيل رب العالمين نزل به الروح الأمين على قلبك لتكون من المنذرين بلسان عربي مبين
“Dan sesungguhnya al-Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. al-Syuara:192-195).

Dan tidak pula diragukan bahwa kabar (berita) dalam al-Quran adalah benar dan sempurna, hukum-hukumnya (keputusan hukumnya) sangat adil sebagaimana firman Allah Swt:
“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merobah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-An’am:115).
2. Kemudahan untuk mempelajari dan mengahafalnya.
Al-Quran merupakan kitab yang telah dimudahkan oleh Allah Swt, mudah dibaca, dipahami dan diamalkan tentunya bagi orang yang berkehendak mengamalkannya. Allah Swt tidak membebankan manusia untuk berkesusahan dan pula kesulitan. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt:
ولقد يسرنا القرأن للذكر فهل من مدكر
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. al-Qomar:17).
3. Kemukjizatannya
Diantara keistimewaan lain dari al-Quran adalah mukjizat. Mukjizat adalah melemahkan orang-orang yang tidak meyakini bahwa al-Quran bersumber dari Allah Swt. Hal ini sebagaimana perintah Allah kepada Rasul-Nya Muhammad untuk menantang kaum musyrik Arab untuk mendatangkan perkataan yang serupa dengan al-Quran (seluruh al-Quran), atau mendatangkan sepuluh surat yang serupa al-Quran atau satu surat saja. Akhirnya mereka pun kalah dan tidak berdaya membuatnya. Hal ini pun direkam dan diabadikan dalam al-Quran:
قل لئن اجتمعت الإنس والجن على أن يأتوا بمثل هذا القرأن لا يأتون بمثله ولو كان بعضهم لبعض ظهيرا
“Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (QS. al-Isra:88).

Al-Quran merupakan mukjizat Rasulullah Saw yang sangat agung dan kekal, karena kitab yang dimiliki para rasul sebelum beliau hanya berlaku semusim dan wajib diimani pada masanya saja dan orang yang hidup semasanya.

Adapun al-Quran adalah ayat (ajaran) rasionalitas (diterima oleh akal), sastra dan kekal sepanjang masa. Oleh karena itu, al-Quran mengandung beberapa sisi kemukjizatan, yaitu:
a. I’jaz Bayani, yaitu yang berkaitan dengan balaghatul quran, nazham (susunan), gaya bahasa (uslub), ‘ibarah (ungkapan) dan lafazh-lafazhnya. Diantara ulama yang perhatian mengungkap ini adalah al-Baqilani, Abdul Qahir al-Jurjani dan Thabari. Ulama kontemporer seperti al-Rafi’i dalam kitabnya ‘Ijazu al-Quran, Sayid Quthb dalam al-Tashwir al-Fanni fi al-Quran dan Masyahid al-Qiyamah fi al-Quran. Doktor Badawi dalam Balaghat al-Quran, Doktor Daraz dalam al-Naba al-‘Azhim: Nazharat Jadidah fi al-Quran, Muhammad al-Mubarak dalam Shuwar Adabiyah min al-Quran dll.
b. I’jaz Maudhu’i, yaitu bahwa al-Quran telah terkumpul berbagai hidayah (petunjuk), hikmah (pengetahuan), nasihat yang baik, bagi perbaikan dan pendidikan individu, keluarga, masyarakat dan negara dalam agama dan urusan dunia mereka. Seandainya manusia mengambil petunjuk dan mengikuti al-Quran, pastinya mereka akan menjadi hakim umat, pemikir dan ilmuwan yang menguasai timur dan barat karena mereka telah memahami kedalaman al-Quran.
Diantara ulama yang mengungkap tema-tema dalam kemukjizatan al-Quran adalah seperti kitab al-Quran wal Qital (al-Quran dan Perang), al-Quran wa al-Mar’ah (al-Quran dan Perempuan) karya Syekh Syaltut; al-Insan fi al-Quran al-Karim (Manusia dalam al-Quran) karya ‘Aqod. Al-Tarbiyah fi al-Quran karya Muhammad Syadid, Dustur al-Akhlak fi al-Quran karya Doktor Darraz, al-Dustur al-Qurani karya Muhammad Azat Darajat dan lain-lain.
c. I’jaz al-‘Ilmi, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan isyarat al-Quran dalam sejumlah ayat-ayat al-Quran tentang hakikat ilmiah yang diungkap oleh ilmu pengetahuan modern.
4. Abadi (Kekal), al-Quran merupakan kitab yang abadi bukan kitab satu generasi dan bukan pula satu masa, bukan pula generasi tertentu, tetapi merupakan kitab penutup bagi risalah terakhir. Oleh karena itu, Allah bertanggung jawab untuk memeliharanya, sebagaimana firman Allah Swt:
إنا نحن نزلنا الذكر وانا له لحافظون
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan peringatan (al-Quran), dan Kami lah yang memeliharanya.” (QS. al-Hajar:9).
5. Cakupannya seluruh aspek kehidupan manusia. Al-Quran mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak ada yang terlewatkan dalam al-Quran, semuanya dibahas dalam al-Quran.

Hukum-Hukum yang terkandung dalam Al-Quran
Al-Quran telah menjelaskan hukum-hukum syara’ secara keseluruhan. Diantara hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Quran sebagai berikut:
a. Hukum Ibadah, Al-Quran telah memerintahkan seluruh ibadah yang difardhukan: seperti shalat, Zakat, Haji, Puasa, Shadaqah dengan segala macam dan ragamnya. Hanya saja, perintah al-Quran tersebut bersifat global. Seperti perintah mengerjakan shalat, Allah tidak menjelaskan secara rinci mengenai waktu dan rukun-rukun pelaksanaannya. Kemudian Rasulullah menjelaskannya secara rinci dengan sabda beliau:
صلوّا كما رأيتمونى أصلىّ
“Shalatlah kamu sekalian, sebagaimana kalian melihatku mengerjakannya.”
b. Hukum Muamalah, Allah Swt telah menjelaskan pokok-pokok mu’amalah kehartabendaan yang adil dan diperbolehkan dalam al-Quran dengan dua prinsip, yaitu:
1) Melarang memakan makanan yang batil.
2) Saling merelakan.
Sebagaimana firman Allah Swt:
ياايها الذين امنوا لاتأكلوا اموالكم بينكم بالباطل الا ان تكون تجارة
عن تراض منكم

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. (QS. an-Nisa:29)

c. Hukum Keluarga,
Di antara hukum-hukum yang dijelaskan dalam al-Quran, ialah hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah keluarga. Bahkan jika dikaji lebih jauh, hukum keluarga dijelaskan secara terinci. Misalnya, hukum-hukum tentang pernikahan, mahram, perceraian macam-macam ‘iddah, pembagian harta pusaka dan sebagainya.

d. Hukum Pidana
Al-Quran telah banyak menjelaskan hukum-hukum pidana berkenaan dengan masalah kejahatan yang menimpa seseorang. Hukum pidana tersebut dalam bentuk qishash. Diantara jenis-jenis hukum qishash yang disebutkan dalam al-Quran adalah; qishash pembunuh, qishash anggota badan dan qishash dari luka. Semua kejahatan yang menimpa seseorang, hukumannya adalah dianalogikan dengan qishash yakni didasarkan atas persamaan antara hukuman dengan kejahatan, karena hal itu adalah tujuan pokok dari pelaksanaan hukum qishash.

Dalam menetapkan hukum-hukum pidana, al-Quran senantiasa memperhatikan empat hal di bawah ini:
1) Melindungi jiwa, akal, agama, harta benda dan keturunan. Oleh karena itu, Allah menjelaskan bahwa qishash itu dapat menjamin kehidupan yang sempurna. Sebagaimana firman Allah Swt:

ولكم فى القصلص حياة ياولى الالباب لعلّكم تتقون

“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa. (QS. al-Baqarah:179)
2) Meredam kemarahan orang yang terluka, sehingga ahli yang dibunuh mempunyai hak untuk mengqishash orang yang membunuh. Sebagaimana firman Allah Swt:

ومن قتل مظلوما فقد جعلنا لوليّه سلطانا فلايسرف فى القتل انه كان منصورا

“Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah berikan kekuasaan kepada ahli walinya kekuasaan untuk membunuh (pembunuh), tetapi janganlah melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. (QS. Al-Israa:33).

3) Memberikan ganti rugi kepada orang yang terluka atau keluarganya, bila tidak dilakukan qishash dengan sempurna.
4) Menyesuaikan hukuman dengan pelaku kejahatan. Seorang budak tidak sama hukumannya dengan seorang merdeka.

Seringkali hukum qishash ini dianggap hal yang menyeramkan dan melanggar hak asasi manusia bukan hanya oleh non Islam tetapi juga oleh umat Islam sendiri, padahal hukum qishash ini adalah sesuai dengan fitrah manusia, kita bayangkan kita sebagai keluarga korban yang terbunuh, secara fitrah kita ingin pembunuh itu juga harus dibunuh. Itu lah fitrah manusia.

Terlebih al-Quran menawarkan jika keluarga korban memaafkan itu lebih baik baginya, artinya tidak perlu kita menuntut untuk membunuh pelakunya sehingga hukum qishash tidak perlu dilaksanakan karena sudah ada maaf dari keluarga korban.

Jika hukum qishah tidak berlaku hanya karena pluralisme agama, maka tidak dapat dibenarkan, pada jaman Rasul pluralisme jauh lebih berkembang daripada zaman sekarang. Tetapi beliau mampu menerapkan hukum Allah ini di muka bumi. Karena hukum Allah ini tidak hanya menaungi umat Islam semata tetapi juga seluruh umat manusia merasa aman dan tentram dengan mengaplikasikan hukum Islam. Artinya, hukum yang dibuat manusia saja mampu menaungi seluruh aneka ragam manusia terlebih lagi hukum yang sangat sempurna akan mampu menaungi dan melindungi seluruh umat manusia.

Kehujjahan Al-Quran
Al-Quran adalah syari’at Islam yang bersifat menyeluruh. Ia merupakan sumber dan rujukan yang pertama bagi syari’at, setiap peristiwa, pasti terdapat hukumnya dalam al-Quran. Seperti dikatakan oleh Ibnu Hazm: “Setiap bab dalam fiqh pasti mempunyai landasan dalam al-Quran yang dijelaskan oleh As-Sunnah, sebagaimana firman Allah:

ما فرّطنا فى الكتاب من شيئ

“Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab.” (QS. Al-An’am:38)

Tidak ada perselisihan pendapat di antara kaum muslimin tentang al-Quran sebagai hujjah yang kuat dan sebagai sumber hukum pertama. Karena al-Quran bersumber dan datang dari sisi Allah Swt. Sebagai bukti bahwa tidak ada makhluk pun yang mampu membuat sesuatu yang serupa dengan al-Quran. Sebagaimana firman Allah Swt:

قل لئن اجتمعت الانس الجنّ على ان يأتوا بمثل هذا القرأن لايأتون بمثله ولو كان بعضهم لبعض ظهيرا (الاسراء 88)

“Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan al-Quran, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu sebagian yang lain. (QS. al-Isra’: 88)

Hal ini terbukti dari keindahan dalam segala sisinya, lafazh-lafaznya tersusun dengan bagus, dan isi kandungannya mampu menyentuh hati para pendengarnya. Keindahan dan keagungan al-Quran ini dapat dibuktikan melalui ilmu-ilmu bahasa (balaghatul Quran) dan kandungannya mampu dibuktikan oleh ilmu pengetahuan modern. Tidak sedikit ulama-ulama kita yang paham ilmu kedokteran, fisika, matematika dan teknologi karena pemahaman mereka terhadap al-Quran.

Al-Sunnah
Al-Quran adalah sumber hukum utama dan pertama, sumber hukum yang sempurna dan penuh keistimewaan, kesempurnaannya perlu dipahami oleh orang ahli sekaligus utusan Dzat yang menurunkan al-Quran. Untuk mentilawah, mentazkiyah dan mengajarkan segala macam ilmu dalam al-Quran. Segala macam penjelasan-penjelasannya itu dapat terungkap lewat ucapan, perkataan bahkan taqrir beliau. Itulah yang disebut dengan Sunnah atau Hadits.

Namun demikian, para ulama membagi perbuatan Rasul Muhammad ini kepada tiga hal.
1. Perbuatan yang menyangkut penjelasan syari’at. Ini wajib dilakukan dan ditiru oleh umatnya.
2. Perbuatan yang khusus bagi Nabi, seperti nikah lebih dari 4 istri, puasa wisol, dll. Perbuatan ini tidak bagi umatnya.
3. Perbuatan yang merupakan tuntutan tabiat kemanusiaan/adat kebiasaan yang berlaku di negeri Arab, seperti berjenggot. Berbadan ideal, ganteng, gagah berani, dll. Perbuatan ini tidak perlu ditiru oleh umatnya, tetapi jika umatnya berkehendak, sah-sah saja, tidak dinilai ibadah ikut jejak Rasul. Karena sulit juga mengikuti perbuatan ini, seperti tinggi beliau ideal, yang pendek sulit untuk tinggi. Yang tinggi bersyukurlah, Rasul berjenggot wajahnya bersih dan tinggi, pantas dilihat orang, tetapi yang hitam berjenggot tentu tidak pantas dilihat.

Definisi
As-Sunnah menurut istilah syar’i adalah perkataan, perbuatan dan taqrir (persetujuan) yang berasal dari Rasulullah Saw.
Sunnah merupakan sumber hukum Islam kedua setelah al-Quran, sebagai penjelas dan memperinci ayat al-Quran yang mujmal. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt:
وما أنزلنا عليك الكتاب إلا لتبين لهم الذى اختلفوا فيه وهدى ورحمة لقوم يؤمنون
“dan tidaklah Kami turunkan al-Quran kepada mu kecuali untuk kamu jelaskan kepada mereka tentang apa yang mereka perselisihkan, petunjuk dan rahmat bagi umat yang beriman.” (QS. al-Nahl:4).
Dari definisi tersebut, maka Sunnah dapat dibedakan kepada tiga macam. Yakni:
a. Sunnah Qauliyah
b. Sunnah Fi’liyah (Perbuatan)
c. Sunnah Taqririyah (Persetujuan)
Bukan hanya itu, Sunnah pula meliputi perkataan, perbuatan, taqrir, sifat dan sirah Rasulullah Saw yang terekam dalam kehidupan dan perjuangan Rasulullah Saw. Ia meliputi kumpulan perkataan, kejelasan hukum, ilmu pengetahuan, rahasia din (agama), hakikat wujud, kemuliaan akhlak, keindahan hukum, pendidikan dan lain sebagainya.



Fungsi Sunnah terhadap Al-Quran
a. Menguatkan (muakkid) hukum yang ada dalam al-Quran. Seperti Sunnah tentang kewajiban shalat, zakat, puasa dan larangan syirik.
b. Menjelaskan hukum yang ada dalam al-Quran, seperti Sunnah yang menjelaskan bagaiman gerakan shalat, haji dan lain-lain.
c. Membuat syariat yang tidak ada dalam al-Quran tetapi sesuai dengan maksud syara’.seperti diwajibkannya zakat fitrah, disunahkan aqiqah, membayar ganti rugi

Kehujjahan As-Sunnah
Seluruh kaum muslimin telah sepakat bahwa Sunnah sebagai hujjah dan sumber syari’at undang-undang dan pedoman hidup umat yang harus diikuti.
Dalil-dalil yang menetapkan bahwa Sunnah sebagai hujjah dan sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Quran adalah
قل اطيعوا الله والرسول فإن تولوّا فإنّ الله لا يحبّ الكافرين

“Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, sungguh Allah tidak menyukai orang kafir.” (QS. Ali Imran:32)

Di ayat lain, Allah mencela orang mu’min dan mu’minah yang mengadakan pilihan menurut pendapatnya sendiri, padahal Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan ketentuannya. Firman-Nya:

ماكان لمؤمن ولامؤمنة اذا قضى الله ورسوله امرا ان يكون لهم الخيرة من امرهم ومن يعص الله ورسوله فقد ضلّ ضلالا مبينا (الأحزاب 36)

“Tidak patut bagi seorang mu’min dan mu’minah apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka dia telah sesat yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Ahzab:36)
ياايها الرسول بلّغ ماانزل اليك من ربّك وان لم تفعل فما بلّغت رسالته

Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. (QS. Al-Maidah:67).
وماينطق عن الهوى إن هو إلاّ وحي يوحى

Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. (QS. An-Najm:3-4)

فأمنوا بالله ورسوله النبيّ الأميّ الذى يؤمن بالله وكلماته واتبعوه لعلّكم تهتدون

Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk. (QS. Al-A’raf:158).

Pembagian Sunnah:
Sunnah dari segi sedikit atau banyaknya orang yang meriwayatkan dari Rasulullah saw dibagi kepada tiga bagian: Mutawatir, Masyhur dan Ahad
Sunnah mutawatir adalah segala sesuat dari Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh sekian banyak sahabat yang menurut adat kebiasaan mustahil bersepakat untuk berdusta, kemudian dari sahabat-sahabat itu diriwayatkan pula oleh para tabi’in dan orang berikutnya dalam jumlah yang seimbang. Contoh hadits mutawatir adalah:

فمن كذب عليّ متعمّدا فليتبوّأ مقعده من النار (متفق عليه)

“Maka barangsiapa membuat kebohongan terhadap saya dengan sengaja, hendaklah ia menempati tempat duduknya di api neraka." (HR. Bukhari Muslim).

Sunnah Masyhur adalah segala sesuatu dari Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh seorang sahabat atau dua orang atau lebih yang tidak sampai mencapai derajat mutawatir, kemudian dari sahabat tersebut diriwayatkan oleh sekian banyak tabi’in yang mencapai derajat mutawatir. Seperti hadits.
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكلّ امرء ما نوى (متفق عليه)

“Amal-amal itu sahnya hanyalah dengan niat dan setiap orang itu hanya akan memperoleh apa yang ia niatkan…(HR. Bukhari-Muslim)

Sunnah Ahad adalah segala sesuatu dari Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh seorang sahabat, dua orang atau lebih yang tidak sampai derajat mutawatir, kemudian dari sahabat tersebut diriwayatkan oleh seorang tabi’in, dua orang atau lebih dan seterusnya diriwayatkan oleh perawi-perawi dalam keadaan yang sama (tidak mutawatir).

Sunnah ahad ini dibagi menjadi 3 bagian, yakni: shahih, hasan dan dha’if.
Hadits Shahih ialah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, dan sempurna ketelitiannya, sanadnya bersambung, sampai kepada Rasulullah tidak mempunyai cacat (illat) dan itu berlawanan dengan periwayatan orang yang lebih terpercaya.
Hadits Hasan ialah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil tetapi kurang ketelitiannya, sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah, tidak mempunyai cacat dan tidak berlawanan dengan periwayatan orang yang lebih terpercaya.
Hadits Dha’if ialah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat Hadits Shahih dan Hadits Hasan. Hadits Dha’if ini banyak macamnya. Diantaranya munqathi’,

Al-Ra’yu (Ijtihad)
Salah satu kehebatan Islam adalah memberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk menggunakan akal pikirannya dalam menggali kebenaran yang disyariatkan oleh Syari’. Kebenaran ra’yu harus sejalan dengan kebenaran al-Quran dan Sunnah.
Dari Ra’yu inilah dikenal dengan ijtihad. Pembahasan ijtihad secara jelas akan dibahas secara bab khusus tentang ijtihad.

HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH’I
Hukum Taklifi
Hukum Taklifi adalah khitab syari’ yang mengandung tuntutan untuk dikerjakan oleh mukallaf atau untuk ditinggalkannya atau yang mengandung pilihan antara dikerjakan dan ditinggalkan.
Contoh khitab yang mengandung untuk dikerjakan ialah firman Allah Swt:
خذ من أموالهم صدقة
“Ambillah sebagian harta mereka” (QS. At-Taubah:103)

Contoh khitab yang mengandung tuntutan untuk ditinggalkan ialah firman Allah Swt:
ولاتقربوا الزنى انه كان فاحشة وساء سبيلا
“Janganlah engkau dekati zina, sesungguhnya zina adalah perbuatan yang amat buruk dan keji.” (QS.Al-Isra:32 )

Contoh tuntutan yang mengandung pilihan untuk dikerjakan atau ditinggalkan ialah firman Allah Swt:
فإذا قضيت الصلاة فانتشروا فى الأرض
“Apabilah telah selesai shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi" (QS. Al-Jumu’ah:10)

Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i adalah khitab yang mengandung pengertian bahwa terjadinya sesuatu itu adalah sebagai sebab, syarat atau penghalang sesuatu.
Contoh adanya sesuatu sebagai sebab ialah firman Allah Swt:
أقم الصلوة لدلوك الشمس

“Dirikanlah shalat, dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam.” (QS. Al-Isra78)

Sebab tergelincirnya matahari ke barat oleh syari’ dijadikan sebab wajibnya shalat zhuhur.

Contoh adanya sesuatu sebagai syarat ialah firman Allah Swt:

ياايها الذين أمنوا إذا قمتم الى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم الى المرافق ....
“Hai orang-orang yang beriman, bila kamu hendak shalat, maka cucilah mukamu dan tangan-tangan mu sampai siku….” (QS. Al-Maidah:60

Wudhu dijadikan syarat sahnya shalat.

Contoh adanya sesuatu sebagai penghalang ialah sabda Rasulullah Saw:
لايرث المسلم الكافر ولا الكافر المسلم
“Orang muslim tidak dapat mempusakai orang kafir dan orang kafir tidak dapat mempusakai orang muslim.” (HR. Bukhari-Muslim)

Pembagian Hukum Taklifi
Hukum Taklifi terbagi kepada lima macam. Yaitu:
1. Wajib, yaitu khitab syari’yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti, sehingga orang yang melakukan sesuatu yang wajib akan mendapat pahala dan meninggalkannya mendapat dosa atau siksa. Seperti kewajiban shalat. Firman Allah Swt:
فأقيموا الصلاة إنّ الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا
“…..maka dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu aalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa:103)

Jumhur Fuqaha menyamakan antara wajib dan fardhu, sedangkan Ulama Hanafiyah membedakan kedua istilah ini. Apabila tuntutan untuk mengerjakan sesuatu perbuatan itu berdasarkan dalil-dalil qath’i, baik dari al-Quran maupun Hadits Mutawatir, maka dinamai fardhu dan bila berdasarkan dalil-dalil zhanni, yakni hadit-hadits ahad, disebut wajib.

2. Mandub atau Sunah, yaitu khitab syari’ yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak harus dikerjakan. Sehingga orang yang melakukan hal yang nadb akan mendapat pahalah dan meninggalkannya tidak mendapat dosa. Contoh firman Allah Swt:
ياايهاالذين أمنوا اذا تداينتم بدين الى أجل مسمى فاكتبوه
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu saling memperhutangkan dengan suatu hutang sampai waktu yang ditentukan hendaklah kamu menulisnya….” (QS. Al-Baqarah:282)

Menulis dan mencatat hutang itu tidaklah diharuskan, walaupun dalam firman tersebut dilukiskan dengan fi’il amr, yang pada umumnya fi’il amr itu mengandung wajib, dikarenakan pada perintah tersebut didapatkan suatu qarinah yang menunjuk pada ketidakwajibannya mencatat hutang-piutang. Yakni firman Allah Swt:
فإن أمن بعضكم بعضا فليؤدّ الذى اؤتمن امانته
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya…”(QS. Al-Baqarah:283)

3. Haram, yaitu khitab syari’ yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tegas. Sehingga orang yang melakukan hal yang haram akan mendpat dosa atau siksa sedangkan orang yang meninggalkannya mendapat pahala.
Contoh firman Allah Swt:
قل تعالوا أتل ماحرّم ربكم عليكم الاّتشركوا به شيئا
“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia..”(QS. Al-An’am:151)

Haram terbagi kepada dua bagian:
Haram Lidzatih, yaitu sesuatu yang telah ditetapkan oleh syari’ keharaman melakukannya sejak semula, dikarenakan ia mengandung kemafsadatan dan kemudharatan.
Haram Lighairih, yaitu sesuatu yang tidak ditetapkan oleh syari’ keharamannya, akan tetapi ada sesuatu yang menyebabkan keharamannya. Seperti shalat dengan pakaian acak-acakan, jual beli dengan menipu, mentalak istri di waktu haid.

4. Makruh, yaitu khitab syari’ yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak tegas agar ditinggalkan. Sehingga orang yang melaksanakannya tidak mendapat dosa sedangkan orang yang meninggalkannya mendapat pahala.
Contoh firman Allah Swt:
ياأيهاالذين أمنوا لاتسألوا عن أشياء إن تبدلكم تسؤكم
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkanmu…”(QS. Al-Maidah:101)

Larangan menanyakan suatu masalah yang membahayakan itu adalah makruh, bukan haram. Sebab di lain ayat, Allah memerintahkan kepada kita untuk menanyakan kepada para ahli masalah-masalah yang belum kita ketahui. Firman-Nya:
فسألوا أهل الذكر إن كنتم لاتعلمون
“Tanyakanlah kepada para ahli, jika kamu tidak mengerti.” (QS. An-Nahl:43)

5. Mubah, yaitu khitab syari’ yang mengandung hak pilihan bagi orang mukallaf antara mengerjakan dan meninggalkannya. Sehingga orang yang yang melaksanakan maupun meninggalkannya tidak mendapat pahala atau dosa.
Contoh firman Allah Swt:

فمن اضطرّ غير باغ ولاعاد فلا إثم عليه

“Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakan bangkai, darah dan daging babi), sedang ia tidak menginginkannya, dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (QS. Al-Baqarah:173)

Pembagian Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’i terbagi kepada tiga macam, yaitu, sebab, syarat dan mani’, tetapi ada sebagian ulama ushul fiqh yang mengatakan bahwa hokum wadh’I terbagi kepada lima macam, yaitu sebab, syarat, mani’, rukhsah dan ‘azimah.

1. Sebab, yaitu suatu yang dijadikan pokok pangkal bagi adanya musabbab hokum. Artinya dengan adanya sebab terwujudlah hokum, dengan tiadanya sebab tidak terwujudnya hukum. Contoh sebab diwajibkannya puasa Ramadhan karena telah datangnya bulan Ramadhan. Firman Allah Swt:
فمن شهد منكم الشهر فليصمه
“…Karena itu barang siapa di antara kamu menyaksikan bulan, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah:185)

2. Syarat, yaitu suatu yang tergantung kepada adanya masyrut dan dengan tidak adanya, maka tidak ada masyrut. Dengan arti bahwa syarat itu tidak masuk hakikat masyrut, sehingga tidaklah mesti dengan adanya syarat itu ada masyrut. Seperti syarat shalat adalah wudhu, wudhu bukan masuk hakikat shalat karena shalat dari mulai takbir sampai salam, dan wudhu tidak mesti harus shalat atau tidak semua orang wudhu harus shalat. Firman Allah Swt:
ياايها الذين أمنوا إذا قمتم الى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم الى المرافق
“Hai orang-orang yang beriman, bila kamu hendak shalat, maka cucilah mukamu dan tangan-tanganmu sampai siku….”(QS. Al-Maidah:6)

3. Mani’ yaitu suatu yang karena adanya tidak ada hukum atau membatalkan sebab hukum. Mani’ ada dua macam, yaitu:
a. Mani’ terhadap hukum, seperti perbedaan agama dalam hal waris-mewarisi adalah suatu mani’ (penghalang).
b. Mani’ terhadap sebab hukum, seperti seorang telah berkewajiban membayar zakat, akan tetapi dia mempunyai hutang yang sampai mengurangi nisab zakat, maka dia tidak wajib membayar zakat.

Rukhsah
Rukhsah, yaitu ketentuan yang disyari’atkan oleh Allah sebagai peringan terhadap seorang mukallaf dalam hal-hal yang khusus. Sperti bangkai sesuatu yang diharamkan, tetapi karena tidak ada lagi makanan yang diperoleh dan dia dalam keadaan yang sangat lapar, maka memakan bangkai dibolehkan.

Rukhsah tersebut ada beberapa macam, antara lain:
1. Membolehkan hal-hal yang diharamkan disebabkan darurat. Seperti memakan bangkai.
2. Membolehkan meninggalkan sesuatu yang wajib, seperti diperbolehkan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan karena ada suatu udzur misalnya sakit atau dalam perjalanan jauh.

Azimah
Azimah, yaitu peraturan syara’ yang asli yang berlaku umum. Artinya ia disyari’atkan agar menjadi peraturan yang umum bagi seluruh orang mukallaf dalam keadaan yang biasa. Seperti kewajiban berpuasa Ramadhan, larangan untuk memakan bangkai dan lain-lain.

ISTIMBATH DAN ISTIDLAL (CARA PENGAMBILAN HUKUM)
Ada dua pendekatan yang digunakan dalam mengambil hukum dari al-Quran dan Sunnah, yaitu pendekatakan lafadz (thuruq lafdziyah) dan pendekatan makna (thuruq maknawiyah). Pendekatan lafadz sering disebut dengan istimbath, sedangkan pendekatan makna disebut juga dengan istidlal.

Pendekatan lafadz (thuruq lafdziyah)
Pendekatan lafazh adalah menganalisa lafadz secara mendetil dan seksama, ada empat cara dalam melakukan pendekatan lafazh.

1. Meninjau lafazh dari segi jelas dan tidaknya.
Lafazh ditinjau dari pandangan ulama ushul terbagi kepada lafazh yang jelas dan lafazh yang tidak jelas. Lafaza yang jelas artinya jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud, sehingga atas dasar kejelasan itu beban hukum dapat ditetapkan tanpa memerlukan penjelasan dari luar. Sedangkan lafazh yang belum jelas artinya belum jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud kecuali dengan penjelasan dari luar lafazh itu. Lafazh yang jelas terdiri dari:
a. Zhahir
Abdul Wahab Khalaf memberikan definisi lafazh zhahir adalah
ما دلّ بنفس صيغته على المراد منه من غير توقف فهم المراد منه الى امر خارجي ولم يكن المراد منه هو المقصود من السياق ويحتمل التأويل
lafazh yang dengan shighatnya sendiri menunjukkan apa yang dimaksud tanpa tergantung pemahamannya kepada lafazh lain, tetapi bukan maksud itu yang dituju dalam ungkapan, serta ada kemungkinan untuk dita’wilkan (dipahami dengan maksud lain).

Contoh lafazh zhahir adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah (2):275:
واحلّ الله البيع وحرّم الربا
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Ayat ini jelas sekali mengandung pengertian bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba itu hukumnya haram, karena makna inilah yang lebih mudah dan cepat ditangkap oleh akal seseorang tanpa memerlukan qarinah yang menjelaskan. Meskipun demikian ungkapan ayat tersebut bukanlah sekedar untuk menyatakan halalnya jual beli dan haramnya riba, tetapi ayat itu untuk membantah anggapan orang munafik waktu itu yang menyatakan riba itu sama hukumnya dengan jual beli. Maksud sebenarnya dari ayat tersebut dapat diketahui dari latar belakang diturunkannya ayat itu.

Contoh lain umpamanya firman Allah dalam surat al-Hasyr (59):7:
وما أتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.

Ayat tersebut begitu jelas artinya yaitu keharusan mentaati apa yang disuruh Rasul baik mengenai apa yang disuruhnya dan apa yang dilarangnya, karena inilah yang mudah dipahami secara cepat (mudah). Namun maksud sebenarnya dari ayat tersebut adalah keharusan menerima apa-apa yang diberikan Nabi sehubungan dengan harta rampasan perang dan tidak menolak pemberian Rasul, serta menjauhi apa yang tidak disenangi Rasul.

Lafazh zhahir adalah lafazh yang jelas tetapi masih menerima kemungkinan makna lain yang dimaksud. Menurut madzhab hanafi bahwa zhahir adalah kalimat yang menunjukkan kepada makna yang jelas, akan tetapi kalimat itu tidak ditujukan dalam konteks makna tersebut. Misalnya firman Allah Swt:

وإن خفتم ان لاتقسطوا فى اليتامى فانكحوا ماطاب لكم من النساء
مثنى وثلاث ورباع، فإن خفتم ان لاتعدلوا فواحدة

“Dan jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka kawinilah seorang saja.” (QS. An-Nisa:3)

Dari segi zhahir lafazh ayat tersebut diperbolehkannya polygamy: dua, tiga, dan empat, dari segi zhahir juga, menunjukkan bahwa berlaku adil merupakan syarat dibolehkannya polygamy, dari sudut pandang ajaran agama, bukan berdasarkan ketetapan pengadilan. Sebab sifat adil merupakan sesuatu hal yang tidak mungkin diketahui sebelum berlangsungnya perkawinan.

Ketentuan yang menyangkut lafazh zhahir adalah bila berhubungan dengan hukum, maka wajib mengamalkan hukum menurut lahirnya selama tidak ada dalil lain yang menunjukkkan lain dari lafaz itu.
b. Nash
Pengertian nash di sini tidak berarti dalil syara’ dalam bentuk tertulis seperti al-Quran atau hadits tetapi kedudukan lafaz dari segi kejelasan artinya. Al-Uddah memberikan definisi sebagai berikut:
ما دلّ بنفس صيغته على المعنى المقصود أصالة على ما سيق له ويحتمل التأويل
Lafazh yang dengan shighatnya sendiri menunjukkan makna yang dimaksud secara langsung menurut apa yang diungkapkan, dan ada kemungkinan dita’wilkan.
Lafazh yang jelas dalam hukumnya meskipun lafaz itu mungkin dipahami untuk maksud lain.

Nash menurut sebagian ulama Madzhab Syafi’i dan Maliki adalah lafazh yang tidak mengandung ihtimal sama sekali, atau tidak mengandung ihtimal yang timbul dari dalil; dan menurut Madzhab Hanafi ialah dalalah lafazh yang sesuai dengan konteks kalimatnya, seperti perbedaan antara jual beli dan riba dalam firman Allah SWT:

واحلّ الله البيع وحرّم الربا

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al-Baqarah 275).

Secara nash, ayat tersebut bertujuan untuk menyatakan perbedaan nyata antara jual beli dengan riba. Ayat ini sudah sangat jelas menyatakan halalnya jual beli dan haramnya hukum riba.
والسارق والسارقة فاقطعوا ايديهما جزاء بماكسبا نكالا من الله

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yng mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah SWT”. (QS. Al-Maidah:38).

Dari segi dalalahnya terhadap hukum, lafazh nash lebih kuat dibanding lafazh zhahir. Oleh karena itu apabila terjadi pertentangan antara keduanya, maka nash harus didahulukan atas zhahir. Nash itulah yang dituju menurut ungkapan ‘asal’, sedangkan zhahir bukanlah tujuan langsung dari pihak yang mengungkapkannya. Oleh karena itu makna yang dituju secara langsung itu lebih mudah untuk dipahami dibandingkan dengan makna lainnya yang tidak langsung.

c. Mufassar
Al-Sarkhisi memberikan definisi mufassar adalah:
هو اسم للمكشوف الذى يعرف به مكشوفا على وجه لا يبقى معه احتمال التأويل
Nama bagi sesuatu yang terbuka yang dikenal dengannya secara terbuka dalam bentuk yang tidak ada kemungkinan mengandung makna lain.

Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan kepada maknanya sesuai dengan yang dimaksud oleh konteks kalimat. Makna dari lafazh itu menjadi jelas karena ada keterangan dari dalil lain. Terkadang pada asalnya lafazh itu merupakan mujmal, lalu datang nash lain yang menafsirinya, seperti perintah shalat yang dijelaskan oleh Rasul dengan sabda beliau:
صلوّا كما رأيتمونى أصلىّ (رواه البخارى)
“Shalatlah sebagaimana kamu melihatku shalat”.

Perintah untuk memotong tangan pencuri dijelaskan dengan sabda Rasul:
لاقطع فى اقلّ من عشرة دراهم
“Tidak dikenakan hukuman potong tangan, pencurian yang kurang dari 10 dirham”.

Dengan demikian, apabila lafazh ayat merupakan lafazh yang mujmal atau musytarak, dan ditemukan Sunnah Nabi yang menafsirinya, maka dengan dilakukannya penggabungan dua sumber hukum itu, lafazh ayat yang tadinya mumla atau musytarak menjadi mufassar.

d. Muhkam,
Lafazh muhkam ialah:
ما دلّ بنفس صيغته على معناه الضعي دلالة واضحة بحيث لا يقبل الإبطال والتبديل والتأويل
Suatu lafazh yang dari sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya sesuai dengan pembentukan lafazhnya secara penunjukkan yang jelas, sehingga tidak menerima kemungkinan pembatalan, penggantian maupun ta’wil.

Muhkam ialah lafazh yang menunjukkan makna yang dimaksud, yang memang didatangkan untuk makna itu. Lafazh ini jelas pengertiannya, tidak menerima lagi adanya ta’wil dan takhsis. Bahkan terkadang disertai dengan ungkapan yang menunjukkan bahwa lafazh itu tidak menerima adanya nasakh, seperti firman Allah SWT:
ولاتقبلوا لهم شهادة ابدا
“Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.”(QS. Al-Nur:4).

Sebab disertakannya kata Abadan pada kalimat nahyi itu menunjukkan bahwa ayat itu merupakan nash yang muhkam yang tidak bisa menerima nasakh. Bahkan mazhab Hanafi berpendapat bahwa ayat tersebut tidak menerima istisna (pengecualian) sehingga setiap orang yang terkena had qadzaf tidak bisa lagi diterima kesaksiannya, meskipun ia telah bertaubat. Sebab tidak diterimanya kesaksiannya merupakan hukuman duniawi. Imam Syafi’I mempunyai pendapat lain bahwa apabila orang tersebut bertaubat, maka dapat diterima kesaksiannya. Hal ini karena adanya firman Allah SWT pada ayat berikutnya:
الا الذين تابوا من بعد ذلك وأصلحوا فانّ الله غفور رحيم
“Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki dirinya, maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Nur:5).

Apabila tidak menerimanya lafazh muhkam terhadap nasakh disebabkan oleh nash itu sendiri, maka dinamakan muhkam li dzatih, sebab tertutupnya nasakh berasal dari dzat nash. Dan apabila tidak menerimanya lafazh muhkam terhadap nasakh disebabkan oleh tiadanya nash yang menasakh maka dinamakan muhkam lighairih, sebab tercegahnya nasakh bukan bersumber dari dzat nash, akan tetapi datang dari hal lain.

Ketentuan lafazh muhkam bila menyangkut hukum, adalah wajib hukum itu secara pasti dan tidak mungklin dipahami dari lafaz tersebut adanya alternatif lain, serta tidak mungkin pula dinasakh oleh dalil lain. Penunjukkan lafaz muhkam atas hukum lebih kuat dibandingkan dengan tiga bentuk lafaz sebelumnya, sehingga bila berbenturan pemahaman antara lafaz muhkan dengan bentuk yang lain, maka harus didahulukan yang muhkan dalam pengamalannya.

Adapun lafazh yang tidak jelas terdiri dari:.
a. Al-Khafi,
Lafaz khafi ialah:
ما خفي معناه فى بعض مدلولاته لعارض غير الصيغة
“Suatu lafaz yang samar artinya dalam sebagian penunjukan (dilalah)nya yang disebabkan oleh faktor luar, bukan dari segi sighat lafaz."
Al-Khafi adalah lafazh yang maknanya samar (tidak jelas) pada sebagian pengertian yang ditunjuk (madlul)nya. Karena faktor penerapannya terhadap madlulnya. Fakhrul Islam al-Bazdawi mendefinisikan bahwa al-Khafi adalah lafazh yang maknanya tidak jelas, dan apa yang dikehendaki pun menjadi kabur (samar) karena ada faktor di luar shigat, yang tidak dapat ditemukan kecuali harus dicari. Seperti pencopet (ath-tharar) dan pencuri kain kafan (an-nabassy) ke dalam madulul lafazh sariq (pencuri) pada firman Allah SWT:
السارق والسارقة فاقطعوا أيديهما
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya. (QS. al-Maidah:4)

Padahal yang namanya sariq adalah orang yang mengambil harta milik orang lain secara sembunyi-sembunyi, karena memang harta itu dalam keadaan terjaga (tersimpan), tidak tampak terlantar yang berpeluang hilang. Sedangkan tharar (pencopet) adalah orang yang mengambil harta orang lain dengan cara samar, sedang pihak korban dalam keadaan terjaga (sadar). Adapun Nabasy adalah orang yang menggali kubur untuk mengambil kain kafan si mayit.

b. Musykil
Lafazh musykil ialah:
ما خفي معناه بسبب فى ذات اللفظ
Suatu lafaz yang samar artinya, disebabkan oleh lafaz itu sendiri.
Ada definisi lain yang memberikan penjelasan terhadap definisi di atas, yaitu bahwa lafaz musykil itu dari segi sighatnya sendiri tidak menunjukkan maksud tertentu, oleh karenanya diperlukan qarinah dari luar yang menjelaskan apa yang dimaksud oleh lafaz tersebut.

Musykil adalah lafazh yang maknanya samar/kabur karena sesuatu sebab yang ada pada lafazh itu sendiri. Adapun perbedaan antara al-khafi dan al-musykil adalah bahwa al-khafi kesamaran makna bukan disebabkan oleh lafazh itu sendiri, tapi oleh penerapan segi cakupan lafazhnya. Sedangkan kekaburan makna itu timbul dari lafazhnya sendiri, dan apa yang dikehendaki oleh lafazh tidak dapat dipahami kecuali dengan memakai dalil dari luar. Contoh al-musykil adalah lafazh musytarak; yaitu lafazh yang menunjukkan dua arti atau lebih secara bergantian seperti kata ‘ainun (عين). Kata ini menunjukkan beberapa makna satu anggota badan yaitu mata (alat melihat), sumber air (mata air), essensi (dzat), dan mata-mata intel. Seperti contoh lafazh musykil lainnya adalah quru’ (قروء) yang terdapat pada firman Allah SWT:
والمطلقات يتربصن بأنفسهنّ ثلاثة قروء ولايحلّ لهنّ ان يكتمن ماخلق الله فى ارحامهنّ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya.” (QS. Al-Baqarah:228).

Dalam hal ini, Ulama Hanafiyah dan lainnya menafsirkan quru’ dengan haidh sedang ulama Syafi’iyah menafsirkannya dengan suci (al-thuhr). Masing-masing tafsiran dari kedua pendapat ini didasarkan atas dalil dari luar, yang memang lafazh itu sendiri dapat menerima kedua makna tersebut.

Adapun dalil ulama Hanafiyah dan para pengikutnya dalam menafsirkan kata al-Quru dengan haid ada empat:
Pertama: Sabda Rasulullah Saw:
طلاق الامة اثنان وعدتها حيضتان
“Talak bagi seorang budak wanita adalah sebanyak dua kali, dan masa iddahnya selama dua kali haidh.”

Kedua: Firman Allah SWT:
ولايحلّ لهنّ ان يكتمن ماخلق الله فى ارحامهنّ
“Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya.”
Apa yang diciptakan Allah dalam rahim itu adalah haid, bukannya suci (thuhr), maka yang sesuai bahwa al-Quru’ adalah haidh.
Ketiga, firman Allah SWT:
واللائى يئسن من المحيض من نساءكم ان ارتبتم فعدتهنّ ثلاثة اشهر
“Dan perempuan-perempuanmu yang putus dari haid jika kamu ragu-ragu tentang masa iddahnya-maka iddah mereka tiga bulan.” (QS. Al-Thalaq:4).

Lafazh (Asyhur) bulan di sana karena haidh terjadi rutin setiap bulan.
Keempat, sabda Rasulullah SAW:
دعى الصلاة ايام أقراءك
“ Tinggalkanlah shalat selama masa haidmu”.

Kewajiban meninggalkan shalat ketika haid. Sehingga quru’ di sana berarti haidh.

Adapun dalil yang dipakai Syafi’I pada tiga dalil:
Pertama: firman Allah SWT:
فطلّقوهنّ لعدّتهنّ
“Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat menghadapi iddahnya yang wajar (QS. Al-Thalaq:1).

Thalaq dalam iddah pengertiannya adalah tiada lain kecuali dalam keadaan suci, tidak dalam keadaan haid. Hal inilah yang menunjukkan bahwa iddah dihitung dengan suci.

Kedua bahwa menafsirkan al-quru dengan suci, secara etimology lebih dekat, karena arti al-quru adalah mengumpulkan (al-jam’u wadh-dhamm). Dan tak syak lagi bahwa masa haid merupakan masa memuntahkannya. Maka yang sesuai adalah menafsirfkan al-Quru’ dengan al-thuhr (suci).
Ketiga, bahwa berturut-turutnya suci menunjukkan atas bebasnya rahim dari kandungan. Hal inilah yang merupakan indikasi dari adanya iddah.

c. Mujmal
Lafazh mujmal adalah:
اللفظ الذى ينطوى معناه على عدة أحوال وأحكام قد جمعت فيه
“Lafazh yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberapa hukum yang terkumpul di dalamnya.”

Mujmal adalah bentuk ungkapan yang dalam maknanya tersimpan banyak ketentuan dan berbagai keadaan yang tidak mungkin diketahui secara pasti kecuali melalui pernyataan lain yang menjelaskan (mubayyin).

Al-Bazdawi dalam kitab ushul fiqhnya mendefinisikan bahwa mujmal ialah ungkapan yang di dalamnya terkandung banyak makna, namun makna mana yang dimaksud di antara makna-makna tersebut tidak jelas (kabur). Artinya, apa yang dimaksud tidak bisa diketahui begitu saja dari ungkapan itu sendiri, tapi harus ditafsiri, diteliti dan dipikir secara mendalam.
Dari sini terlihat dengan jelas perbedaan mujmal dengan musykil dan khafi, yakni bahwa mujmal tidak mungkin diketahui rinciannya dari lafazhnya sendiri atau melalui penafsiran ijtihad fiqh semata. Diantara contoh mujmal adalah perintah Allah untuk menunaikan shalat, haji, yang kemudian perintah shalat dan haji itu ditafsirkan oleh sabda Rasulullah SAW:
صلوّا كما رأيتمونى أصلىّ
“Lakukanlah shalat, dengan cara sebagaimana yang kalian lihat ketika aku shalat”

خذوا عنىّ مناسككم

“Ambillah dariku amalah-amalan haji kalian”.

Lafaz mujmal ini lebih samar (tidak terang) dibandingkan dengan lafaz sebelumnya karena dari segi sighatnya sendiri ia tidak menunjukkan arti yang dimaksud; tidak pula dapat ditemukan qarinah yang dapat membawa kita kepada maksudnya; tidak mungkin pula dapat dipahami arti yang dimaksud kecuali dengan penjelasan dari Syari’ (pembuat hukum) sendiri (dalam hal ini adalah Nabi).

Ketidakjelasan dalam lafaz mujmal itu disebabkan dari lafaz itu sendiri, bukan dari faktor luar; seperti lafaz-lafaz yang dinukilkan oleh Syari’ dari arti kata (lughawi) dan dialihkan menjadi istilah teknis hukum. Umpamanya lafaz shalat, zakat, shiyam, haji, riba dan sebagainya. Lafazh-lafazh tersebut sebenarnya lafaz yang terpakai dalam bahasa Arab secara arti kata, namun yang dimaksud oleh Nabi-sebagai pembuat hukum-bukan menurut apa yang dipahami oleh orang Arab dalam bahasa sehari-hari. Untuk maksud itu Nabi memberikan penjelasan dengan Sunnahnya.

Perbedaan antara lafaz mujmal dengan khafi dan musykil adalah bahwa lafaz mujmal tidak mungkin diketahui rincian maksudnya hanya semata-mata mengandalkan dari melihat pada lafaznya sebagaimana yang berlaku pada khafi dan tidak pula dengan semata-mata pada penalaran dan penafsiran lafaz sebagaimana berlaku pada musykil. Untuk memahami secara baik maksud lafaz mujmal menurut bentuknya yang berbeda itu serta juzunya yang bersamaan harus merujuk pada penjelasan resmi dari Nabi yang menjelaskan arti dan rinciannya.

Tentang bagaimana sifat mujmal yang sudah diberi penjelasan oleh Nabi, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa lafaz mujmal setelah mendapatkan penjelasan dari Nabi menjadi mufassar sehingga tidak mungkin dimasuki oleh ta’wil dan tidak dapat pula menerima takhsis.
d. Mutasyabih
Lafaz mutasyabih, secara bahasa (arti kata) adalah lafaz yang meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan. Dalam istilah hukum, lafaz mutasyabih adalah:
اللفظ الذي يخفى معناه ولا سبيل لأن تدركه عقول العلماء
“Lafaz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapai artinya.”

Mutasyabih adalah lafazh yang samar maknanya, dan tidak mungkin dijangkau oleh nalar ulama sekalipun, baik di dalam al-Quran maupun dalam hadits tidak ada penafsiran secara pasti (qath’i).

Berkaitan dengan lafazh mutasyabih, Allah SWT berfirman:
هو الذى انزل عليك الكتاب منه ايات محكمات هن امّ الكتاب وأخر متشابهات فأما الذين فى قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة وابتغاء تأويله وما يعلم تأويله فى العلم يقولون امنّا به كلّ من عند ربّنا وما يذّكّرالاّ اولوا الألباب
“Dialah yang menurunkan kepadamu al-Kitab, diantara isinya ada ayat-ayat muhkamat dan ada ayat-ayat mutasyabih. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihah daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari ta’wilnhya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ‘Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang -orang yang berakal.” (QS. Ali Imran:7).

Menurut Ibnu Hazm bahwa yang termasuk ayat-ayat mutasyabihat adalah potongan-potongan hurup di awal surat dan sumpah Allah dalam Al-Quran; seperti
Alif lam mim الم
Yasin يس
لا أقسم بيوم القيامة
“Aku bersumpah demi hari kiamat” (QS. Al-Qiyamah:1).
والشمس وضحها
“Demi matahari dan waktu dhuha. Demi bulan yang mengiringi (datang sesudah matahari). QS. Asy-Syams:1-2).

Ketidak jelasan lafaz mutasyabih ini adalah karena sighatnya sendiri tidak memberikan arti yang dimaksud, tidak pula qarinah yang akan menjelaskan maksudnya; sedangkan Syari’ membiarkan saja kesamaran tersebut tanpa ada penjelasan. Dalam hal ini akal (daya nalar) manusia tidak dapat berbuat sesuatu kecuali menyerahkan dan melimpahkannya kepada Allah sambil mengakui kelemahan dan kekurangmampuan manusia.


TA’WIL
Dalam al-Quran kata ta’wil terdapat dalam 17 tempat. Bila dianalisa antara satu dengan yang lainnya ada perbedaan maksudnya. Dari keseluruhan kemungkinan arti ta’wil dapat dikelompokkan kepada dua kelompok:
1. Arti yang mengarah kepada arti lughawi (bahasa) yang murni, ta’wil adalah al-ruju’, al-maal, al-‘aqibah, al-mashir.
2. Arti yang mengarah kepada arti istilah syar’i adalah; al-tafsir – al-bayan,

Abdul Wahab Khalaf memberi definisi sebagai berikut:
صر ف اللفظ عن ظاهره بدليل
“Memalingkan lafaz dari arti zhahirnya berdasarkan adanya dalil.”
نقل الكلام عن موضوعه الى ما يحتاج فى إثباته الى دليل لولاه ما ترك ظاهر اللفظ
“Mengalihkan ucapan dari maudhu’nya kepada apa yang diperlukan untuk menetapkannya kepada dalil, yang kalau tidak demikian, maka zhahir lafaz tidak akan ditinggalkan.”
نقل ظاهر اللفظ عن وضعه الأصلي الى ما يحتاج الى دليل
“Mengalihkan zhahir lafaz dari pemakaian asalnya kepada sesuatu yang diperlukan oleh dalil.”
إخراج اللفظ عن ظاهر معناه الى معنى أخر يحتمله
“Mengeluarkan lafaz dari lahir maknanya kepada makna lain yang ada kemungkinan untuk itu.”

Sebagaimana yang telah dipaparkan bahwa lafazh zhahir dan Nash dapat menerima ta’wil, adapun pengertian ta’wil adalah memalingkan lafazh dari maknanya yang zhahir ke makna yang lain yang tidak zhahir. Penerapan ta’wil hanya sah apabila memenuhi tiga syarat sebagai berikut:
a. lafazh tersebut menyimpan makna ta’wil walaupun sangat jauh. Artinya makna itu tidak asing sama sekali dari lafazhnya.
b. Harus ada faktor yang memaksa diterapkannya ta’wil.
c. Ta’wil tidak boleh tanpa sanad (sandaran).
Diantara contoh ta’wil adalah firman Allah Swt:
يد الله فوق ايديهم
“Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka” (QS. Al-Fath:10).
بل يداه مبسوطتان ينفق كيف يشاء
“Sebaliknya, kedua tangan-Nya tergelar (lebar), Dia berinfak bagaimana ia mau." (QS. Al-Maidah:64).
Dalam hal ini tangan dita’wil dengan kekuasaan.
Dan menta’wil kata bersemayam dengan berkuasa. Seperti firman Allah SWT:
الرحمن على العرش استوى
“Allah Yang Maha Penyayang bersemayam di atas ‘Arasy” (QS. Thaha:5).




2. Meninjau lafazh dari segi segi dalalahnya (dari segi ungkapan dan konotasinya)

Dalalah adalah pengertian yang diperoleh dari lafazh-lafazh nash hingga satu lafazh dapat menunjukkan beberapa pengertian yang saling berdekatan.

Para fuqaha madzhab Hanafi membagi cara peninjauan dilalah lafazh menjadi empat bagian:
a. Dilalah Ibarah
Dilalah Ibarah ialah makna yang dipahami dari lafazh yang jelas, yang didatangkan untuk makna itu sendiri. Seperti firman Allah yang berbunyi:
فاجتنبوا الرجس من الأوثان واجتنبوا قول الزور
“Maka jauhilah olehmu berhala-hala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. (QS. Al-Hajj:30).

Dengan dalalah ibarah ayat tersebut dapat dipahami bahwa perkataan dusta (saksi palsu) adalah dosa.
Firman Allah SWT:
وأحلّ الله البيع وحرّم الربا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah:275).

Dalalah ibarah dari ayat tersebut adalah: membedakan antara jual beli dengan riba dan menjelaskan akan halalnya jual beli dan haramnya riba.
Semua lafazh nash dapat dipahami berdasarkan dalalah ibarah.

b. Dalalah Isyarah
Dalalah Isyarah adalah suatu pengertian yang ditangkap dari suatu lafazh, sebagai suatu kesimpulan dari pemahaman terhadap suatu ungkapan (ibarah) dan bukan dari ungkapan itu sendiri. Misalnya firman Allah SWT.
فإن خفتم الاّتعدلوا فواحدة
“Kemudian apabila kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (QS. Al-Nisa:3).

Secara dalalah ibarah, ayat tersebut menunjukkan bahwa bagi seorang lak-laki yang yakin tidak akan mampu berbuat adil bila berpoligami, maka tidak halal baginya untuk berpoligami. Adapun secara dalalah isyarah dari ayat di atas adalah bahwa berbuat adil terhadap isteri adalah wajib secara mutlak, baik bagi suami yang berpoligami maupun yang monogami. Sebaliknya berbuat aniaya terhadap isteri adalah haram.
Contoh lain dalam firman Allah SWT:
ياايها الذين امنوا اذا تداينتم بدين الى اجل مسمّى فاكتبوه
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermua’malah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. (QS. Al-Baqarah:282).

Berdasarkan dalalah ibarah, ayat tersebut member sifat terhadap catatan dengan benar dan sesuai dengan kehendak orang yang mengimlakan. Dan secara isyarah dapat dipahami bahwa catatan itu daoat dijadikan argumentasi (data) bai orang yang mengimlakan, dimana ia dapat mengingkari terhadap apa-apa yang tertera dalam tulisan tersebut selama tidak didustakan.
Contoh lainnya adalah firman Allah SWT yang berbunyi:
وأمرهم شورى بينهم
“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” (QS. Al-Syura:38).

Secara ibarah ayat tersebut menjelaskan bahwa pemerintah yang islami adalah didasarkan atas musyawarah di antara umat Islam. Sebagai konsekwensi logisnya, umat Islam harus menunjuk sekelompok kaum muslimin yang selalu mengawasi dan menyertai pemerintah dalam melaksanakan pemerintahan dan undang-undang.

c. Dalalah Nash
Dalalah Nash adalah pengertian implisit tentang suatu hukum lain yang dipahami dari pengertian nash secara eksplisit (ibarah) karena adanya faktor penyebab yang sama.
Contohnya adalah firman Allah Swt:
ولاتقل لهما افّ
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduaorangtuamu perkataan ‘ah’.” (QS. Al-Isra:23).

Secara ibarah, ayat tersebut menjelaskan haramnya mengatakan ‘ah’ kepada kedua orang tua. Bila ucapan ‘ah’ kepada kedua orang tua saja diharamkan, maka memukul dan mencerca serta segala perkataan yang menyakitkan hati kedua orang tua tentu lebih diharamkan. Meskipun ayat tersebut hanya mengharamkan untuk mengatakan ‘ah’ kepada kedua orang tua, maka secara dilalah nash haram pula memukul orang tua. Karena memukul dengan mengatakan ‘ah’ ada faktor yang sama. Yaitu sama-sama menyakiti.

Contoh lain dalalah nash adalah larangan memusnahkan harta kekayaan anak yatim atau gegabah dalam menjaganya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT:
إنّ الذين يأكلون اموال اليتامى ظلما انما يأكلون فى بطونهم نارا وسيصلون سعيرا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. Al-Nisa:10).

Secara ibarah, ayat ini hanya mengharamkan untuk memakan harta anak yatim. Sedangkan secara dilalah nash, ayat tersebut mengharamkan untuk membakar dan memusnahkan harta anak yatim. Karena membakar atau memusnahkan dengan memakan memiliki alasan yang sama yaitu menghilangkan harta anak yatim.

Dalalah Nash ini disebut juga dengan mafhum muwafaqah atau disebut juga dengan qiyas jalli.

d. Dalalah Iqtidha
Dalalah Iqtidha adalah penunjukkan lafazh terhadap sesuatu, dimana pengertian lafazh tersebut tidak logis kecuali dengan adanya sesuatu tersebut. Misalnya, firman Allah SWT:
واسأل القرية التى كنا فيها
“Dan tanyakanlah negeri yang kami tadinya berada disitu” (QS. Yusuf:82)

Perintah bertanya kepada negeri tidak dibenarkan secara logika, sekiranya tidak dibubuhkan perkataan ahli (penduduk) sebelum lafazh qaryah. Dengan demikian tersusunlah rangkaian pengertian:
واسأل اهل القرية التى كنا فيها
Dan tanyakanlah kepada penduduk negeri yang kami tadinya berada di situ.
Sabda Rasulullah Saw:
رفع عن امتى الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه (رواه ابن حبّان)
“Diangkat dari umatku kesalahan, kelupaan dan sesuatu yang dipaksakan orang kepadanya.” (HR Ibnu Hibban).

Mengangkat/menghilangkan kesalahan, kelupaan dan paksaan sekali-kali tidak akan terjadi, karena ini perbuatan yang selau dilakukan oleh manusia. Oleh karena itu yang dihapus itu bukan perbuatannya tetapi ismu (dosa) karena salah, lupa dan dipaksa.

Adapun Imam Syafi’i berpendapat bahwa dalalah (bentuk ungkapan lafazh) terbagi kepada manthuq dan mafhum. Manthuq adalah petunjukan lafazh pada hukum yang disebut oleh lafazh itu sendiri. Manthuq dalam istilah ini sama dengan dalalah ibarah menurut pandangan Hanafiyah. Adapun dalalah mafhum ialah petunjukan lafazh pada suatu hukum yang tidak disebutkan oleh lafazh itu sendiri, melainkan datang dari pemahaman.

Mafhum terbagi kepada dua bagian:
a. Mafhum muwafaqah, dalam istilah Hanafiyah disebut dengan dalalah nash, yaitu suatu penunjukan lafazh pada hukum yang tertulis pada lafazh itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam illatnya (alasan). Mafhum muwafaqah terbagi kepada fahwal khitab dan lahn al-khitab, apabila hukum yang tidak tertulis lebih utama daripada hukum yang tertulis, maka disebut fahwal khitab. seperti hukum memukul orang tua (tidak tertulis) dengan hukum mengatakan ah (hukum yang tertulis) ada unsur yang sama yaitu sama-sama menyakiti hati orang tua. Adapun lahnul khitab apabila hukum yang tidak tertulis sama atau lebih rendah dari hukum yang tertulis. Seperti hukum membakar harta anak yatim (tidak tertulis) dengan hukum memakan harta anak yatim (tertulis).

b. Mafhum mukhalafah, adalah petunjukan lafazh pada hukum yang lahir dari lafazh berlaku bagi hukum yang tidak disebut dalam lafazh, yang hukum tersebut bertentangan dengan hukum yang lahir dari manthuqnya, karena tidak ada batasan yang berpengaruh dalam hukum.
Mafhum mukhalafah ada lima macam, yaitu:

Mafhum Mukhalafah Laqab
Mafhum laqab adalah menyebutkan suatu hukum yang ditentukan (ditakhsis) dengan jenis atau macamnya, sehingga hukum tersebut positif dalam masalah yang terdapat pada nash, dan negative (manfi) bagi masalah yang tidak disebutkan. Misalnya sabda Rasulullah Saw:

ليّ الواجد ظلم يحلّ عقوبته
“Memperlambat pembayaran hutang bai orang yang telah mampu membayarnya, adalah suatu perbuatan zalim yang halal (boleh) dikenakan sangsi (hukuman).

Hadits tersebut dapat diambil mafhum mukhalafah bahwa orang yang memperlambat pembayaran hutang karena belum mampu membayarnya, tidak termasuk dalam kategori zhalim yang boleh untuk dikenakan sangsi (hukuman).

Mafhum Mukhalafah Sifat
Mafhum sifat ialah menetapkan hukum dalam bunyi (manthuq) suatu nash yang dibatasi (qayid) dengan sifat yang terdapat dalam lafazh, dan jika sifat tersebut telah hilang, maka terjadilah kebalikan hukum tersebut, misalnya firman Allah Swt::
ومن لم يستطع منكم طولا ان ينكح المحصنات المؤمنات فمن ماملكت
أيمانكم من فتياتكم المؤمنات
“Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka yang beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki”. (QS. Al-Nisa:25).

Mafhum Mukhalafah Syarat
Mafhum syarat adalah menetapkan kebalikan suatu hukum yang tergantung pada syarat. Seperti firman Allah Swt::
وإن كنّ اولات حمل فأنقوا عليهنّ حتىّ يضعن حملهنّ
“Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka melahirkan.” (QS. Al-Thalaq:6).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa kewajiban memberikan nafkah kepada isteri yang telah dicerai dan tengah menjalani masa iddah itu dibatasi dengan keadaan hamil bagi isteri yang dicerai, maka suami wajib memberi nafkah kepada mereka. Dengan demikian dapat diambil mafhum mukhalafah, bahwa jika isteri yang dicerai tidak hamil, maka suami tersebut tidak wajib memberikan nafkah kepadanya.

Mafhum Mukhalafah Ghayah
Mafhum ghayah adalah menetapkan hukum yang berbeda di luar tujuan nash (ghayah), bila hukum tersebut dibatasi dengan tujuan (ghayah), misalnya firman Allah Swt:
وقاتلوهم حتى لاتكون فتنة ويكون الدين لله فإن انتهوا فلا عدوان
إلا على الظالمين
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan sehingga agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan lagi, kecuali terhadap orang-orang yang zhalim”. (QS. Al-Baqarah:193).

Ayat tersebut menjelaskan, bahwa peperangan diperbolehkan, karena ada tujuan yaitu mencegah timbulnya fitnah dalam agama. Jika fitnah dalam agama tersebut sudah tidak ada, maka peperangan tidak diperbolehkan lagi.

Mafhum Mukhalafah ‘adad
Mafhum ‘Adad adalah penetapan kebalikan hukum dari suatu hukum yang dibatasi dengan bilangan, ketika bilangan tersebut tidak terpenuhi. Seperti firman Allah Swt:
الزانية والزانى فاجلدوا كلّ واحد منهما مائة جلدة
“Wanita dan laki-laki yang berzina, maka deralah masing-masing mereka sebanyak seratus pukulan”. (QS. Al-Nur:2).

Dalam hukuman ini ditetapkan pukulan seratus kali, tidak boleh lebih atau kurang.

Imam Abu Hanifah menolak keras adanya mafhum mukhalafah ini sebagai salah satu penafsiran nash-nash syara’. Mereka beralasan bahwa banyak nash syara’ yang apabila diambil mafhum mukhalafahnya akan rusak pengertiannya, antara lain firman Allah Swt:
إنّ عدة الشهور عند الله اثنا عشر شهرا فى كتاب الله يوم خلق
السموات والأرض منها أربعة حرم
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas, dalam ketetapan Allah- waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah ketetapan agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam yang empat bulan itu.” (QS. Al-Taubah:36).

Apabila ayat tersebut diambil mafhum mukhalafahnya akan mempunyai arti bahwa berbuat zhalim diharamkan hanya pada empat bulan tersebut saja, sedangkan di luar itu tidak haram. Padahal berbuat zhalim itu diharamkan pada setiap saat.

Contoh lain, firman Allah Swt:
ولا تقولو لشيء انىّ فاعل ذلك غدا الاّ أن يشاء الله
“Dan janganlah sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, ‘sesungguhnya aku pasti mengerjakan itu besok pagi’ kecuali dengan menyebut Insya Allah." (QS. Al-Kahf:23-24).

Larangan untuk mengatakan ‘aku pasti mengerjakan itu’ dalam ayat tersebut dibatasi dengan waktu besok pagi, sehingga bila menggukanakan mafhum mukhalafah, maka seseorang boleh mengatakan ‘aku pasti mengerjakan itu dua hari besok lagi, atau tiga hari lagi, atau bulan depan tanpa diikuti ucapan insya Allah, padahal larangan tersebut adalah berlaku sepanjang masa, tidak hanya terbatas pada besok pagi saja.

3. Meninjau cakupan lafazh dan sasaran dalalahnya (muthlak dan muqayyad, amm dan khass).
Cakupan lafazh dalam hal ini adalah meliputi muthlaq - muqayyad dan ‘am –khas yang akan dijelaskan berikut ini:

Muthlaq-Muqayyad
Muthlaq adalah suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya.
Seperti lafazh raqabah yang terdapat padaf firman Allah SWT:
فتحرير رقبة من قبل ان يتماسّا
“Wajib memerdekakan budak sebelum kedua isteri itu bercampur.” (QS. Al-Mujadalah:3).

Lafazh raqabah (budak) merupakan lafazh muthlaq karena tidak dibatasi dengan sifat atau keadaan lainnya.

Sedangkan Muqayyad adalah suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu dengan dibatasi oleh sifat, keadaan atau jumlah. Seperti firman Allah SWT:
ومن قتل مؤمنا خطأ فتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلّمة الى أهله
“….Dan barang siapa membunuh seorang mu’min karena salah, hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya… “(QS. An-Nisa:92)

Lafazh raqabah di atas adalah muqayyad karena dibatasi dengan sifat yaitu wajib memerdekakan budak yang beriman.

Macam dan Hukum Muthlaq-Muqayyad
Muthlaq dan Muqayyad memiliki berbagai macam bentuknya, para ulama pada prinsipnya sepakat bahwa hukum muthlaq wajib diamalkan kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasi kemutlakannya. Begitu juga lafazh muqayyad wajib diamalkan berdasar pada kemuqayyadannya. Adapun macam-macam Muthlaq dan Muqayyad adalah:
1. Apabila hukum dan sebabnya sama, para ulama sepakat bahwa wajib mengamalkan muthlak kepada muqayyad. Seperti contoh firman Allah Swt:
حرّمت عليكم الميتة والدّم ولحم الخنزير
“Diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging babi.” (QS. Al-Maidah:3).

Darah (Dam) yang diharamkan oleh Surat al-Maidah di atas disebutkan dengan lafazh muthlak, tanpa dijelaskan sifat-sifat dari darah itu.
Kemudian di dalam Surat al-An’am:145 Allah menerangkan bahwa darah yang diharamkan itu adalah darah yang bersifat mengalir. Firman-Nya:

قل لا أجد فيما أوحي إليّ محرّما على طاعم يطعمه إلاّ أن يكون
ميتة أو دما مسفوحا أو لحم خنزير

“Katakanlah, ‘Tidak aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi.” (QS. Al-An’am:145)

2. Apabila hukum dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini, para ulama sepakat wajib memberlakukan masing-masing, muthlaq pada kemuthlakannya dan muqayyad pada kemuqayyadannya.

3. Hukum berbeda sedangkan sebabnya sama, ulama sepakat bahwa muthak harus dipahami pada kemuthalakannya dan muqayyada pada kemuqayyadannya. Contoh, hukum wudhu dan tayammum, dan sebabnya sama yaitu karena hadats. Sebagaimana firman Allah Swt:
فتيمّموا صعيدا طيّبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم منه
“Maka bertayammumlah dengan tanah yang bersih, sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al-Maidah:6).

Akan tetapi pada hukum wudhu Allah Swt berfirman:
يا أيها الذين أمنوا إذا قمتم الى الصلوة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم الى المرافق
“Hai orang-orang beriman, jika hendak mendirikan shalat, maka basuhlah muka mu dan kedua tanganmu sampai kedua siku. (QS. Al-Maidah:6)

4. Hukum sama sedangkan sebabnya berbeda, dalam hal ini ulama berselisih pendapat ada yang mengharuskan muthlaq dibawa kepada muqayyad dan ada yang mengharuskan muthlak dibawa kepada kemuthlakannya dan muqayyad juga dibawa kepada kemuqayyadannya. Contoh harus mendatangkan dua orang saksi dalam soal hutang piutang sebagaimana firman Allah Swt:
واستشهدوا شيهدين من رجالكم
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki” (QS. Al-Baqarah: 282).

Dua orang saksi tersebut disebutkan secara mutlak, akan tetapi dalam merujuk istri, harus mendatangkan dua orang saksi yang adil. Sebagaimana firman Allah Swt:
وأشهدوا ذوى عدل منكم

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu.” (QS. Al-Thalaq:2).



Amm dan Khass
Lafazh ‘Amm adalah suatu lafazh yang menunjukkan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Seperti ulama Hanafiyah mendefinisikan ‘amm dengan:
كلّ لفظ ينتظم جمعا سواء أكان باللفظ او بالمعنى
“Setiap lafazh yang meancakup banyak, baik secara lafazh maupun makna.”
Sedangkan ulama Syafi’iyah diantaranya al-Ghazali mendefinisikan:
اللفظ الواحد الدالّ من جهة واحدة على شيئين فصاعدا
“Satu lafazh yang dari satu segi menunjukkan dua makna atau lebih.”

Ulama al-Bazdawi pun mendefinisikan dengan:
اللفظ المستغرق جميع ما يصلح له بوضع واحد
“lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dengan satu kata.”

Adapun pengertian Khass adalah:
هو اللفظ الموضوع لمعنى واحد معلوم على الإنفراد
“Suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal.”

Sighat ‘amm ialah lafaz atau ucapan yang digunakan untuk umum. Para ulama berbeda pendapat dalam hal apakah ada lafaz tertentu yang digunakan untuk menunjukkan bahwa lafaz itu adalah ‘amm.
Abu Hasan al-As’ari dan pengikutnya berpendapat bahwa tidak ada sighat tertentu untuk menunjukkan ‘amm. Bahwa lafaz yang patut untuk dijadikan ‘amm atau khusus baru dapat dilafazkan untuk maksud ‘amm atau untuk maksud khusus bila ada yang memberi petunjuk untuk salah satu diantaranya. Sebelum ada petunjuk, kita harus tawaquf dengan menangguhkan dulu keumuman dan kekhususannya sampai menemukan dalil. Pendapat ini disetujui oleh Qadhi Abu Bakar al-Baqillani dan oleh ulama kalam Murji’ah.
Jumhur ulama fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali dan Zhahiri) berpendapat bahwa untuk menunjukkan ‘amm itu memang ada lafaz tertentu yang mengikutinya, tanpa ada petunjuk dari luar yang menunjukkkan keumumannya. Diantara lafaz-lafaz yang menunjukkan ‘amm adalah:
1. Lafaz كل ، الذي، التى ، أي ، متى ، حيثما، من ، جميع
2. Lafaz jamak yang menggunakan alif lam yang menunjukkan jinsiyah, seperti المؤمنون
3. Lafaz mufrad (kata tunggal) yang menunjukkan alif lam jinsiyah seperti lafaz السارق
4. Lafaz nakirah dalam bentuk meniadakan atau nakirah fi siyaqin nafyi, seperti la rajula

Pengamalan Hukum Amm (Umum)
Bila bertemu sebuah lafaz ‘amm yang menunjukkan secara mutlak bahwa ia mencakup semua afradnya, apakah boleh langsung menetapkan hukum atas keumumannya itu. Kemudian, apakah wajib berpegang pada kebenaran yang bersifat amm tersebut dan mengamalkan apa yang dituntut oleh lafaz ‘amm itu. Atau harus mencari dalil takhsis yang akan menjelaskannya sebelum mengamalkan lafaz ‘amm itu. Persoalan ini menjadi perbincangan di kalangan ulama.

Ulama Hanbali terdapat dua versi, pertama, wajib mengamalkan apa yang dituntut keumuman lafaz itu. Kedua, tidak wajib mengamalkan dengan lafaz ‘amm secara langsung di saat itu juga menurut keumumannya.

Ulama Syafiiyah mayoritas berpendapat bahwa harus menunggu dan mencari dalil takhsis dan sebelum itu tidak wajib beramal dengan apa yang dituntut dalil ‘amm.

Pengertian Khass
Al-Bazdawi mendifinisikan khass adalah:
كلّ لفظ وضع لمعنى واحد على الإنفراد وانقطاع المشاركة
“Setiap lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang musytarak.”

Al-Amidi mendefinisikan khass adalah:
هو اللفظ الواحد الذى لا يصلح لاشتراك كثيرين فيه
“Satu lafaz yang tidak patut digunakan bersama oleh jumlah yang banyak.”

Lafaz khas itu ditentukan untuk menunjukkan satu satuan secara perorangan seperti si Ali; atau satu satuan secara kelompok seperti laki-laki; atau beberapa satuan yang jumlahnya tidak terbatas seperti ‘kaum’; atau lafaz lain dalam bentuk satuan yang tak terbatas, tetapi tidak menunjukkan seluruh satuannya (yang masuk dalam pengertian ‘amm).

Khusus adalah keadaan lafaz yang mencakup sebagian makna yang pantas baginya dan tidak untuk semuanya. Dengan demikian dapat dibedakan antara khas dengan khusus, meskipun dalam pengertian bahasa Indonesia sering disamakan.

Pengertian khas adalah apa yang sebenarnya dikehendaki adalah sebagian yang dikandung oleh lafaz. Sedangkan pengertian khusus adalah apa yang dikhususkan menurut ketentuan bahasa, bukan berdasarkan kemauan.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa khas itu adalah apa yang mencapai kepada sesuatu yang tertentu melalui ketentuan bahasa, sedangkan khusus adalah apa yang mencapai sesuatu bukan yang lainnya, namun boleh mencapai yang lainnya itu.

Ketentuan lafaz khas dalam garis besarnya adalah:
1. Bila lafaz khas lahir dalam bentuk nash syara’ (teks hukum), ia menunjukkan artinya yang khas secara qath’i al-dalalah (penunjukkan yang pasti dan meyakinkan) yang secara hakiki ditentukan untuk itu. Hukum yang berlaku pada apa yang dituju oleh lafaz itu adalah qath’i. Seperti firman Allah Swt dalam surat al-Maidah (5):89.
فكفارته إطعام عشرة دراهم
Maka kaffarahnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin.
Hukum yang dapat diperoleh dari ayat tersebut adalah keharusan memberikan makan sepuluh orang miskin, tidak lebih dan tidak kurang.
2. Bila ada dalil yang menghendaki (pemahaman lain) dari lafaz khas itu kepada arti lain, maka arti khas itu dapat dialihkan kepada apa yang dikehendaki oleh dalil itu. Seperti sabda Rasulullah Saw:
فى كلّ اربعين شاة شاة
Untuk setiap empat puluh ekor kembing zakatnya satu ekor kambing.
Oleh ulama Hanafi zakat kambing dalam hadits itu dita’wilkan kepada yang lebih umum yang mencakup kambing dan nilai harganya.
3. Bila dalam suatu khusus hukumnya bersifat ‘amm dan ditemukan pula hukum yang khusus dalam kasus lain, maka lafaz khas itu membatasi pemberlakuan hukum ‘amm itu. Seperti firman Allah Swt:
والمطلقات يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء
Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah beriddah tiga kali quru’.

Keharusan menjalani ‘iddah selama tiga quru’ itu berlaku ‘amm, mencakup semua perempuan yang bercerai dari suaminya dalam keadaan apapun. Kemudian ada ketentuan iddah yang berlaku secara khusus bagi perempuan yang hamil dalam firman Allah,
واولات الاحمال أجلهن ان يضعن حملهنّ
“Perempuan-perempuan yang hamil, iddahnya bila telah lahir anaknya.” (QS. al-Thalaq (65):4).

Adanya ketentuan khusus ini menjelaskan bahwa perempuan bercerai yang harus beriddah 3 quru’ sebagaimana ditetapkan dalam surat al-Baqarah (2):228 itu adalah perempuan-perempuan yang ditalak dalam keadaan tidak sedang hamil; karena bagi yang sedang hamil sudah diatur secara tersendiri dengan lafaz khas (surat al-Thalaq (65):4).

Lafaz khas dalam hal ini membatasi atau mengurang afrad lafaz ‘amm. Inilah yang dinamakan ‘takhsis’.
4. Bila ditemukan perbenturan antara dalil khas dengan dalil ‘amm, terdapat perbedaan pendapat. Menurut ulama Hanafiya, seandainya kedua dalil itu bersamaan masanya, maka dalil yang khass mentakhsiskan yang ‘amm, karena tersedianya persyaratan untuk takhsis. Bila keduanya tidak bersamaan waktunya di sini ada dua kemungkinan; (1) bila lafaz ‘amm terkemudian datangnya, maka lafaz ‘amm itu menasakh lafaz khas; (2) bila lafaz khas yang terkemudian datangnya, maka lafaz khas itu menasakh lafaz ‘amm dalam sebagian afradnya.

Sedangkan menurut jumhur ulama, tidak tergambar adanya perbenturan antara dalil ‘amm dengan dalil khusus karena keduanya bila datang dalam waktu bersamaan maka yang khas memberi penjelasan terhadap yang ‘amm, karena yang umum itu adalah dalam bentuk zhahir yang tetap berkemungkinan untuk menerima penjelasan di samping untuk diamalkan menurut keumumannya hingga diketahui adanya dalil khas. Lafaz khas itulah yang menjelaskan lafaz ‘amm.

Menurut jumhur ulama (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) dilalah ‘amm kemungkinan besar ditakhsis, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas:

ليس فى القرأن عام إلاّ وخصّص إلا قوله تعالى : والله بكلّ شيء عليم
“Dalam al-Quran semua lafazh umum itu ada takhsisnya, kecuali firman Allah SWT., Dan Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu”.

Sesuatu yang menjadi perselisihan para ulama, apakah lafazh ‘amm dalam al-Quran dapat ditakhsis dengan dalil zhanni (hadits). Menurut ulama Syafi’iyah dan Ahmad apabila pertentangan antara lafazh khas yang terdapat pada khabar ahad dengan lafazh ‘amm al-Quran, maka khabar ahad itu dapat mentakhsis lafazh ‘amm al-Quran.

Pembagian Takhsis
Takhsis terdiri dari:
Takhsis al-Quran dengan al-Quran
Ulama telah sepakat menetapkan bolehnya al-Quran mentakhsis al-Quran. Seperti firman Allah Swt:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء
“Perempuan-perempuan yang bercerai dari suaminya hendaklah beriddah sampai 3 quru’. (QS. al-Baqarah (2):229).
Ayat ini ditakhsis dengan firman Allah Swt:
والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن أربعة أشهر وعشرا
“Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan isteri hendaknya iddah mereka menunggu sampai 4 bulan sepuluh hari.” (QS. al-Baqarah (2):234).
Takhsis al-Quran dengan Sunnah
Untuk sunnah yang kekuatannya mutawatir, para ulama tidak berbeda pendapat tentang bolehnya Sunnah itu mentakhsis al-Quran. Tetapi untuk Sunnah yang kekuatannya Ahad, para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya mentakhsis al-Quran. Imam mazhab yang empat (Syafii, Maliki, Hanafi dan Hanbali) berpendapat bolehnya mentakhsis al-Quran dengan khabar ahad. Seperti lafazh ‘amm dalam firman Allah SWT:
ولا تأكلوا مماّ لم يذكر اسم الله عليه وانّه لفسق
“Janganlah kamu semua makan (binatang sembelihan) yang belum disebut bismillah terhadap binatang tersebut (ketika disembelih), karena itu adalah perbuatan dosa.” (QS. Al-An’am:121).

Ayat tersebut ditakhsis dengan khabar ahad sebagai berikut:

المسلم يذبح على اسم الله سمّي او لم يسمّ
“Seorang muslim menyembelih dengan menyebut bismillah, sebutlah bismillah atau tidak.” (HR. Abu Daud).

Sedangkan menurut mayoritas ulama Hanafiyah bahwa khabar ahad tersebut tidak dapat mentakhsis lafazh ‘amm al-Quran di atas. Oleh karena itu, mereka tetap mengharuskan sekalipun kepada seorang muslim harus membaca bismillah ketika menyembelih hewan.
Takhsis Sunnah dengan al-Quran
Contoh:
Sabda Rasulullah Saw:
البكر بالبكر جلد مائة ونفي سنة
“Perempuan yang berzina dengan bujangan hukumannya adalah dipukul 100 kali dan dibuang setahun.”

Pengertian ‘amm hadits di atas ditakhsis oleh ayat al-Quran yang menjelaskan bahwa sanksi untuk hamba sahaya hanya separoh yang dikenakan kepada orang yang merdeka, firman Allah Swt:
فعليهنّ نصف ما على المحصنات من العذاب
“Atas mereka ditimpakan hukuman separoh dari apa yang dibebankan kepada perempuan muhsonat.” (QS. al-Nisa:25).

Takhsis Sunah dengan Sunnah
Contoh lain ‘amm yang ditakhsis adalah:

فيما سقت السماء والعيون او كان عثريا العشر وفيما سقى بالنضخ نصف العشر
“Zakat hasil bumi yang diairi sumber air atau air hujan adalah 10% sedangkan zakat yang diairi irigasi adalah 5%.” (HR. Bukhari dan Ashab al-Sunan).

Ditakhsis dengan sabda Rasulullah SAW:

ليس فيما دون خمسة اوسق صدقة
“Tidak ada zakat bagi yang kurang dari lima ausuq.”

Menurut jumhur lafazh takhsis disini sebagai penjelas terhadap ‘amm.

Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, zakat hasil bumi diwajibkan tanpa harus ada nishab, baik sedikit ataupun banyak, tetap wajib dizakati. Mereka berpegang kepada hadits yang ‘amm. Sedangkan pada hadits yang khas, mereka menyatakan bahwa hadits tersebut berlaku pada zakat perdagangan.

4. Meninjau bentuk tuntutan. (Bentuk taklif)
Sebagaimana telah diuraikan bahwa hukum taklifi ialah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa perintah maupun pilihan. Yang dimaksud perintah adalah perintah untuk dikerjakan dan perintah untuk ditinggalkan. Adapun pilihan ialah memperbolehkan seorang mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkan. Oleh karena itu dalam bentuk-bentuk taklif ini terdiri dari Ibahah, Amer dan Nahyi.


Ibahah
Hukum mubah dapat diketahui dalam tiga bentuk ungkapan sebagai berikut:
1. Nash yang menjelaskan tentang tiadanya perbuatan dosa dalam suatu perbuatan seperti lafazh ‘La Junaha’. Misalnya firman Allah Swt:
وان خفتم الايقيما حدود الله فلا جناح عليهما فيما افتدت به
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atau keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya’. (QS. Al-Baqarah:229).

2. Sesuatu yang menurut aslinya halal, berdasarkan firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah:
هو الذى خلق لكم ما فى الأرض جميعا
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (QS. Al-Baqarah:29).

3. Nash yang menggunakan kata-kata halal. Misalnya firman Allah Swt:
اليوم أحلّ لكم الطيبات وطعام الذين اوتوا الكتاب حلّ لكم وطعامكم حلّ لهم

“Pada hari ini, dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka”. (QS. Al-Maidah:5).

Amer
Amer adalah suatu lafazh yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi kedudukannya untuk menuntut kepada orang yang lebih rendah derajatnya agar melakukan suatu perbuatan. Pada umumnya amer menunjukan bahwa perbuatan yang dituntut itu adalah wajib/fardhu.
Dalam setiap kata amar mengandung tiga unsur, yaitu:
1. Yang mengucapkan kata amar atau yang menyuruh
2. Yang dikenai kata amar atau yang disuruh
3. Ucapan yang digunakan dalam suruhan itu.

Supaya amer dapat berlaku sebagai ‘perintah’, para ulama memperbincangkannya; Apakah kedudukan yang menyuruh dan yang disuruh dijadikan pertimbangan atau tidak? Apakah sikap dan bentuk ucapan suruhan menentukan atau tidak? Kalau perintah itu adalah untuk mengerjakan, apakah tidak berbuat apa-apa atau diam dapat disebut mengerjakan atau tidak?

Perbincangan mengenai hal tersebut menyebabkan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama Ushul dalam merumuskan definisi amer.
1. Diantara ulama, termasuk Mu’tazilah mensyaratkan kedudukan pihak yang menyuruh harus lebih tinggi dari pihak yang disuruh. Kalau kedudukan yang menyuruh lebih rendah dari yang disuruh, maka tidak disebut amar, tetapi disebut doa, seperti firman Allah sbb:
رب اغفر لى ولوالديّ
Ya ...Tuhanku, ampunilah aku beserta kedua orangtuaku. (QS. Nuh (71):28).
Kata amar itu muncul dari orang yang kedudukannya sama dengan orang yang dikenai kata amar, juga tidak disebut amar, tetapi ‘iltimas’, seperti ungkapan yang muncul dari antara dua sahabat, ‘Beri saya sepotong kue.’
Atas pandangan di atas mengenai persyaratan kata amar supaya menjadi perintah, maka secara sederhana definisi amar ialah:
هو طلب الفعل من الأعلى الى الأدنى
“Perintah mengerjakan yang datang dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah.”
2. Qadhi Abu Husein tidak mensyaratkan kedudukan yang menyuruh harus lebih tinggi, tetapi mensyaratkan sikap ketika menyuruh dalam aksen ucapan yang meninggi atau isti’la dengan menggunakan suara yang lebih keras. Pendapat ini diikuti oleh al-Amidi.
الأمر هو طلب الفعل على جهة الإستعلاء
“Perintah mengerjakan suatu perbuatan dengan meninggikan aksen suara.”
3. Sebagian besar ulama termasuk Qadhi Abu Bakar dan Imam Haramain mendefinisikan amar sebagai berikut:
هو القول المقتضى طاعة المأمور بفعل المأمور به
“Suatu ucapan yang menuntut kepatuhan dari yang menyuruh untuk mengerjakan suatu perbuatan yang disuruhnya.”

Dalam definisi di atas, digunakan kata ma’mur untuk membedakan antara kata amaar dengan yang lainnya dari macam-macam kalam, juga untuk memisahkan amar dari do’a dan iltimas.
Dari beberapa definisi di atas terlihat bahwa amar itu menghendaki adanya suatu kegiatan berbuat. Dengan demikian, maka sikap tidak berbuat apa-apa tentu tidak dapat dinamakan amar. Tetapi bagaimana seandainya untuk tidak berbuat apa-apa itu digunakan kata amar, seperti kata, ‘Diamlah,’ apakah tidak berbuat ini pun dapat dinamakan amar.
4. Dari perbedaan definisi di atas, Ibnu Subki mengambil jalan tengah bahwa definisi amar adalah:
هو إقتضاء فعل غير كفّ مدلول عليه بغير نحو كفّ
“Tuntutan untuk berbuat, bukan meninggalkan yang tidak memakai latar (tinggalkanlah) atau yang sejenisnya.”

Penggunaan kata إقتضاء فعل dalam definisi di atas, mengandung arti bahwa amar itu adalah tuntutan untuk berbuat dan tuntutan ini menggunakan kata yang sewajan (setimbang) dengan fi’il. Sedangkan kalimat lainnya dalam definisi itu mengandung arti bahwa boleh saja amar itu dalam bentuk tuntutan untuk meninggalkan sesuatu, asalkan lafaz yang digunakan untuk itu adalah dalam bentuk fi’il amar, ‘diamlah’, atau ‘tinggalkanlah’ atau jauhilah’ dan sebagainya yang sama artinya. Berdasarkan definisi ini, maka amar itu mencakup dua hal, yaitu: tuntutan untuk berbuat dalam arti sebenarnya atau secara aktif, dan berbuat dalam arti pasif.

Dalam beberapa bentuk lafazh amer terdiri dari:
1. Fi’il Amer. Seperti firman Allah Swt:
و اقيموا الصلاة واتوا الزكاة (البقرة 43)

2. Fi’il mudhari’ yang dimasuki lam-amer, misalnya firman Allah Swt:
ولتكن منكم امة يدعون الى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون (ال عمران 104)

3. Isim fi’il amer, seperti firman Allah Swt:
ياانها الذين أمنوا عليكم انفسكم لايضرّكم من ضلّ اذا اهتديتم (المائدة 105)

4. Menggunakan lafazd Amara/ya’muru, seperti
انّ الله يأمركم ان تؤدّوا الامانات الى اهلها (النساء 58)

5. Menggunakan lafazh kutiba, furidha,
قد علمنا ما فرضنا عليهم فى ازواجهم (الأحزاب 50)
كتب عليكم اذا حضر احدكم الموت ان ترك خيرن الوصية للوالدين والأقربين (البقرة 180)
6. Memberitakan suatu perbuatan, yang harus dilakukan oleh manusia bahwa perbuatan itu untuknya.
ولله على الناس حج البيت من استطاع اليه سبيلا (ال عمران 97)

7. Mensifati perbuatan itu adalah baik.
قل اصلاح لهم خير (البقرة 189)
ولكن البر من اتقى (البقرة 189)

8. Menjanjikan dengan suatu janji yang baik.
من ذا الذي يقرض الله قرضا حسنا فيضاعفه له اضعافا كثيرة (البقرة 245)

Petunjuk Lafadz Amer
Pada umumnya lafazh amer menunjukkan wajib, sebagaimana kaidah ushul:
Pada dasarnya, amer itu adalah untuk mewajibkan.
Tetapi ada petunjuk lain yang keluar dari makna ashlinya. Yaitu:
Nadb/Sunnah.
فكاتبوهم إن علمتم فيهم خيرا
“…… maka hendaklah kamu buat perjanjian mukatabah dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka…..” (QS. Al-Nur:33).

وكلوا واشربوا حتّى يتبيّن لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر
“……dan makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yakni fajar….” (QS. Al-Baqarah:187).

ربّنا أتنا فى الدنيا حسنة وفى الأخرة حسنة
Doa
“….. Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat…..” (Al-Baqarah:201).

Ta’jiz
فأتوا بسورة من مثله
“….Maka buatlah satu surat saja semisal al-Quran. (Al-Baqarah 23).

Tahdid
إعملوا ما شئتم
“…..Perbuatlah apa yang kamu kehendaki….” (Fushilat:40).




Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Amer.
الاصل فى الامر لا يقتضى التكرار

Pada dasarnya, perintah itu tidak mengandung pengulangan perkara yang diperintahkan.

Pendapat ini banyak dipegang oleh Fuqaha Hanafiyah dan mayoritas fuqaha Syafi’iyah dan Mu’tazilah. Karena pada dasarnya shigat amer itu sendiri tidak menuntut untuk dikerjakan berulang-ulang.
Contoh firman Allah Swt:
وأتموّا الحجّ والعمرة لله
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Alllah…. (Al-Baqarah:196).

Sedangkan menurut sebagian ulama lain

الاصل فى الامر يقتضى التكرار مدة العمر مع الامكان
Pada dasarnya perintah itu menuntut pengulangan untuk selama-lamanya di mana mungkin.

Ulama tersebut mengqiyaskan amer dengan tuntutan untuk meninggalkan perbuatan yang berlaku dalam shigat nahyi, yang mengandung pengertian untuk terus-menerus ditinggalkan. Karena keduanya, amer dan nahy sama-sama berupa tuntutan. Seperti kewajiban shalat yang harus terus dilakukan.

Ada sebagian ulama lain, yang mewajibkan amer itu harus adanya pengulangan yang diperintahkan apabila digantungkan dengan suatu syarat, seperti firman Allah Swt:
وان كنتم جنبا فاطهروا

“Dan jika kamu junub, mandilah… (Al-Maidah:6)

الزانية والزانى فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة

“Perempuan yang berzna dan laki-laki yang berzina, deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera….” (Al-Nur:2).

الاصل فى الأمر لايقتضى الفور
Pada dasarnya perintah itu tidak mengandung kesegaraan.

Qaidah ini banyak dipegang oleh fuqaha Hanafiyah, Syafi’iyah dengan alasan bahwa shigat amer itu diciptakan hanya semata-mata untuk menuntut dilakukan suatu perbuatan. Karena itu tidak ada petunjuk untuk segera dikerjakan atau ditundanya.
الاصل فى الامر يقتضى الفور
Pada dasarnya, perintah itu mengandung kesegeraan.
Qaidah ini banyak dipegang oleh fuqaha Malikikyah, Hanabilah yang mengqiyaskannya dengan shigat nahy yang mengandung arti segera ditinggalkannya. Hal ini didasarkan kepada firman Allah Swt:

وسارعوا الى مغفرة من ربكم وجنة عرضها السموات والأرض أعدت للمتقين

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surge yang luasnya seluas langit dan bumi.” (QS. Ali Imran:133).
الاصل فى الامر للوجوب ولو بعد النهي
Pada dasarnya, amer itu untuk mewajibkan, meskipun datang sesudah nahyi.
Qaidah ini dipegang oleh Imam Malik beserta rekan-rekannya dan Ibnu Hazm. Karena memang pada dasarnya amer itu wajib sekalipun dia datang setelah nahyi.
الامر بعد النهي يفيد الاباحة
Perintah yang didatangkan sesudah larangan itu member faedah ibadah.
Qaidah ini banyak dipegang oleh Imam Syafi’I dan kebanyakan para fuqaha dan mutakallimin. Seperti bolehnya berburu sebagaimana firman Allah Swt:
واذا حللتم فاصطادوا
“….. dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka berburulah….” (al-Maidah:2).

Firman ini datang setelah adanya larangan berburu.
ياايها الذين امنوا لا تقتلوا الصيد وانتم حرم
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram…” (Al-Maidah:95).

Nahyi
Nahyi ialah suatu lafazh yang digunakan untuk menuntut agar meninggalkan suatu perbuatan. Berikut ini definisi nahyi, yaitu:
هو طلب الترك من الأعلى الى الأدنى
“Tuntutan untuk meninggalkan dari pihak yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah.”

Adapun bentuk-bentuk lafazh nahyi adalah sebagai berikut:
1. Fi’il Mudhari’ yang disertai la nahiyah. Misalnya:
لا تفسدوا فى الأرض
Janganlah kamu merusak di muka bumi…. (Al-Baqarah:11).

2. Jumlah khabariyah yang menggunakan lafazh-lafazh seperti, Naha, la yahillu, Hurrima, misalnya:
وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي

….dan melarang dari perbuatan keji, munkar dan permusuhan. (Al-Nahl:90).

ولا يحلّ لكم أن تأخذوا مما اتيتموهنّ شيئا

Tidak halal bagi kamu mengambil sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka. (Al-Baqarah:229).

حرّمت عليكم امهاتكم وبناتكم

Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu. (Al-Nisa:23).

3. Uslub (Gaya bahasa) yang digunakan untuk menuntut untuk meninggalkan. Seperti la taqrabuhu atau ijtanibuhu.dzaru(tinggalkanlah). Misalnya:
ولا تقربوا الزنى
Janganlah engkau dekati zina(Al-Nur:….)

يايها الذين امنوا اجتنبوا كثيرا من الظنّ
Hai orang-orang yang beriman, Jauhkanlah kebanyakan dari prasangka….
وذروا ظاهر الإثم وباطنه
Dan tinggalkanlah dosa yang Nampak dan yang tersembunyi. (Al-An’am:120).

4. Mensifati bahwa perbuatan itu adalah jelek. Misalnya:
ولايحسبنّ الذين يبخلون بما اتاهم الله من فضله هو خيرا لهم بل هو شرّ لهم
Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka ari karunia-Nya, bahwa kebakhilan itu adalah baik bagi mereka. Tetapi kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka (Ali Imran :180).

5. Dijadikan suatu perbuatan itu sebagai sebab memperoleh dosa. Misalnya:
والذين يكنزون من الذهب والفضة ولاينفقونها فى سبيل الله فبشرهم بعذاب اليم
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka akan adanya siksa yang pedih. (Al-Taubah:34).

Petunjuk lafazh Nahyi
Para ulama berlainan pendapat tentang arti yang ditunjuk oleh lafazh nahyi sebagaimana mereka berbeda pendapat tentang arti yang ditunjuk oleh lafazh amer.
Menurut jumhur ulama bahwa:
الأصل فى النهي للتحريم
Pada dasarnya, larangan itu berarti mengharamkan.
Adapun sebagian ulama berpendapat:
الأصل فى النهي للكراهة
Pada dasarnya larangan itu memakruhkan.
Sebab sesuatu yang dilarang itu adalanya haram mengerjakannya dan adakalanya hanya makruh saja. Akan tetapi, diantara kedua hal tersebut yang sudah diyakini ialah yang makruh. Karena orang yang melarang sesuatu perbuatan dilakukan, paling minim ia tidak menyukai perbuatan itu dilakukan. Tidak menyukai itu bukan berarti mengharamkan.
Ada beberapa petunjuk lafazh larangan yang keluar dari makna aslinya, yaitu:

Karahah. Misalnya:

ولاتصلوّا فى أعطان الإبل (رواه أحمد والترمذي)

“Janganlah kamu bersembahyang di kandang unta” (HR. Ahmad dan Turmudzi).

Doa. Misalnya:

ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا (أل عمران 8)
“ Ya Tuhan kami, janganlah Kau jadikan hati kami cenderung kepada kesesatan setelah Engkau beri petunjuk kepada kami…. (QS. Ali Imran:8).
Irsyad. Misalnya:
ياايها الذين أمنوا لاتسألوا عن أشياء ان تبدلكم تسؤكم
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan memberatkan. (Al-Maidah:101).
Tahqir, (merendahkan), umpamanya firman Allah Swt:
“Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir).
Al-Ya’su (keputusasaan), seperti firman Allah berikut ini:
“Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari hari ini.” (QS. al-Tahrim:7).




Kaidah yang berkaitan dengan petunjuk lafazh nahyi adalah:

الأصل فى النهي المطلق يقتضى التكرار فى جميع الأزمنة
Pada dasarnya, nahyi yang mutlak itu mengandung petunjuk terus-menerus setiap waktu.

Perbedaan pendapat ulama dalam hal apakah amar mutlak menuntut melakukan perbuatan secara terus-menerus (selamanya), berlaku pula dalam hal apakah nahy itu berlaku untuk sepanjang masa atau tidak.
1. Ulama yang berpendapat bahwa amar tidak menunjukkan perintah mengerjakan untuk selamanya, berpendapat bahwa larangan juga tidak menunjukan berlakunya larangan itu untuk sepanjang masa. Tuntutan berlakunya untuk sepanjang masa tidak muncul dari lafaz itu sendiri, tetapi dari dalil lain yang menyertainya.
2. Ulama yang berpendapat bahwa amar menuntut perintah mengerjakan untuk selamanya, berpendapat bahwa nahy juga menunjut larangan sepanjang masa, namun dapat menerima pembatasan waktu jika ada dalilnya.

Thuruq Maknawiyah (Pendekatan Makna)
Thuruq Maknawiyah atau cara pendekatan terhadap makna-makna yang telah dipahami dari lafazhnya adalah peninjauan terhadap makna dengan Metode atau cara-cara dalam menggali hukum. Diantara cara-cara tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ijma’
Ijma’ menurut bahasa adalah kesepakatan terhadap sesuatu, berdasarkan firman Allah Swt:
فلمّا ذهبوا به وأجمعوا أن يجعلوه فى غيابت الجبّ وأوحينا اليه لتنبّئنّهم بأمرهم هذا وهم لا يشعرون

“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka memasukkan dia), dan (di waktu dia sudah ada di dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf, “Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi.” (QS. Yusuf:15)

Sedangkan ijma’ menurut istilah adalah kesepakatan para mujtahid muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasulullah Saw, terhadap suatu hukum syar’i mengenai suatu peristiwa.

Ijma’ ditinjau dari cara-cara terjadinya, terbagi kepada dua macam:
a. Ijma’ Sharih, yaitu persesuaian pendapat para mujtahid pada suatu masa terhadap hokum suatu peristiwa dengan jalan masing-masing dari mereka menyatakan pendapatnya dengan cara memfatwakannya atau mempraktekkannya. Yakni setiap mujtahid mengeluarkan perkataan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatnya.
b. Ijma’ Sukuti, yaitu sebagian mujtahid menyatakan pendapatnya dengan tegas dari hal hokum suatu peristiwa dengan memfatwakan dan mempraktekannya, sedang sebagian mujtahid yang lain tidak menyatakan persetujuannya.

Kedudukan Ijma’
Seluruh ulama sepakat bahwa ijma’ merupakan hujjah. Berdasarkan firman Allah Swt:
ياايها الذين أمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم
“Hai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya dan orang-orang yang memegang kekuasaan di antara kamu sekalian.” (QS. An-Nisa:59)

Sabda Rasulullah Saw:
لاتجتمع أمتى على ضلالة
“Umatku tidak sepakat untuk membuat kekeliruan.” (HR. Ibnu Majah)
مارأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن (رواه أحمد)
“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang muslim, di sisi Allah pun dipandang baik juga.”

Berdasarkan dalil-dalil di atas, Ijma’ memiliki kedudukan penting dalam sumber hukum Islam setelah al-Quran dan Sunnah.

Ijma’ dapat dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Ijma’ dilakukan oleh mujtahid
2. Seluruh mujtahid menyetujui hukum syara’ yang telah mereka putuskan.
3. Kesepakatan itu hendaknya dilahirkan oleh masing-masing dari mujtahid secara tegas terhadap peristiwa itu, baik lewat perkataan maupun perbuatan, seperti mempraktekannya dalam pengadilan.
4. Kesepakatan itu haruslah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid.

Contoh Ijma’
Ijma telah terjadi pada masa sahabat. Seperti Ijma’ para sahabat dalam memberikan 1/6 harta pusaka kepada seorang nenek baik nenek itu sendirian ataupun lebih dari seorang. Begitu juga ijma’ sahabat yang melarang seorang laki-laki berpoligami dengan bibi istri dari ayah atau ibu.

2. Qiyas
Qiyas menurut bahasa adalah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya. Sedangkan menurut istilah adalah mempersamakan hokum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hokum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran adanya persamaan ‘illat hukumnya dari kedua peristiwa itu.

Qiyas terdiri dari empat rukun:
a. Ashl (pokok) yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat mengqiyaskan.
b. Far’u (cabang) yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya.
c. Hukum Ashl, yaitu hokum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash.
d. Illat, yaitu sifat yang terdapat pada ashl. Dengan sifat itulah, ashl mempunyai suatu hokum.

Kedudukan Qiyas
Jumhur ulama berpendirian bahwa Qiyas itu adalah menjadi hujjah syar’iyah (sumber hukum syari’at) bagi hukum-hukum amal perbuatan manusia, dan berada pada tingkatan keempat dari dalil-dalil syari’at.

Dalil-dalil yang menunjukan kehujjahan qiyas adalah:
Firman Allah Swt:

ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبيّن له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نولّه ماتولىّ ونصله جهنّم وساءت مصيرا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(QS. An-Nisa: 115)

Contoh Qiyas pada kasus jual beli yang dilakukan pada saat shalat jumat, berdasarkan firman Allah

ياأيهاالذين أمنوا إذا نودي للصلوة من يوم الجمعة فاسعوا الى ذكر الله وذروا البيع
“Hai orang-orang yang beriman, bila telah diserukan untuk shalat pada hari jumat, segeralah berdzikir kepada Allah dan tinggalkanlah berjual beli. (QS. Al-Jumu’ah:9)

Illat hukum tidak diperbolehkan berjual beli pada waktu adzan Jum’at diserukan ialah karena perbuatan tersebut melalaikan shalat.

Kemudian peristiwa-peristiwa seperti mengadakan perikatan gadai-menggadai, perburuhan atau muamalah lainnya yang dilakukan pada saat diserukan adzan tidak diperbolehkan.

3. Istihsan
Istihsan secara bahasa diartikan dengan menganggap sesuatu baik atau mengikuti sesuatu yang baik.

Menurut istilah adalah meninggalkan qiyas yang nyata untuk menjalankan qiyas yang tidak nyata (samar-samar) atau meninggalkan hukum kulli untuk menjalankan hukum istisna (pengecualian) disebabkan ada dalil yang menurut logika membenarkannya.

Istihsan termasuk salah satu metode ijtihad yang diperselisihkan oleh para ulama, meskipun dalam kenyataannya, semua ulama menggunakannya secara praktis. Secara etimologi istihsan berarti ‘memperhitungkan sesuatu lebih baik’, atau ‘adanya sesuatu itu lebih baik’, atau ‘mengikuti sesuatu yang lebih baik’, atau ‘mencari yang lebih baik untuk diikuti’.

Sedangkan pengertian secara istilah, ada beberapa definisi yang dirumuskan oleh ulama ushul diantaranya adalah: Ibnu Subki,
عدول عن الدليل الى العادة للمصلحة
“Beralih dari penggunaan dalil kepada adat istiadat karena suatu kemaslahatan”. Atau
عدول عن قياس الى قياس أقوى منه
“Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat daripadanya (qiyas pertama).”

Ibnu Subki menjelaskan bahwa definisi pertama ada pihak yang menolaknya. Alasannya, bila dapat dipastikan bahwa adat istiadat itu baik karena berlaku seperti itu pada masa Nabi atau sesudahnya, dan tanpa ada penolakan dari Nabi atau dari yang lainnya, tentu ada dalil pendukungnya, baika dalam bentuk nash atau ijma’. Dalam bentuk seperti ini, adat itu harus diamalkan secara pasti. Namun bila tidak terbukti kebenarannya, maka cara tersebut tertolak secara pasti.

Sedangkan definisi kedua tidak diperdebatkan karena yang terkuat diantara dua qiyas harus didahulukan.

Jelasnya adalah sebagai berikut: Bila seorang mujtahid menghadapi suatu peristiwa yang tidak ada nash yang menetapkan hukumnya, sedang untuk mencari hukumnya terdapat dua jalan yang berbeda-beda, jalan yang satu adalah jelas dapat memberi ketetapan hukumnya dan jalan yang lain samar-samar, yakni dapat menetapkan hukumnya dan dapat pula menetapkan hukum yang lain, padahal pada diri mujtahid tersebut terdapat suatu dalil yang dapat digunakan untuk mentarjihkan jalan yang samar-samar, maka ia lalu meninggalkan jalan yang nyata tersebut untuk menempuh jalan yang samar-samar itu. Demikian juga bila ia mendapatkan suatu dalil kulli yang menetapkan suatu hukum, kemudian setelah ia mendapatkan dalil lain yang mengecualikan suatu hukum dari dalil kulli tersebut, maka ia menetapkan hukum lain yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan oleh dalil kulli. Kedua jalan itu disebut istihsan.
Dengan memperhatikan definisi di atas, jelaslah bahwa istihsan terdiri dari dua macam:
a. Mentarjihkan qiyas yang tidak nyata (samar-samar) atas qiyas yang nyata, berdasarkan suatu dalil. Ulama Hanafiyah menamakan istihsan semacam ini dengan istihsan qiyas atau qiyas khafi. Contohnya adalah:
Apabila seorang yang telah berwaqaf telah mewaqafkan sebidang tanah pertaniannya, maka menurut istihsan, hak-hak yang bersangkutan dengan tanah itu, seperti hak mengairi, hak membuat saluran air dan lorong di atas tanah tersebut sudah tercakup dalam pengertian waqaf secara langsung, biarpun hak-hak itu tidak disebutkan dengan terperinci pada saat waqaf diucapkan. Sedang menurut qiyas hak-hak itu tidak secara langsung dapat masuk ke dalamnya, kecuali kalau hak-hak itu dapat tercakup di dalamnya atas ketetapan nash, sebagaimana halnya dalam perikatan jual beli.

Adapun segi (wajah) istihsannya adalah bahwa tujuan berwaqaf itu adalah untuk memberikan manfaat sesuatu barang yang diwaqafkan kepada siapa yang diberi waqaf. Pemanfaatan tanah pertanian yang diwaqafkan sebagaimana dicontohkan di atas tidak akan tercapai, sekiranya hak-hak yang berpautan dengan pengolahan tanah itu tidak mengikuti hukum tanahnya. Oleh karena itu, biarpun hak-hak itu tidak disebutkan secara terperinci di kala waqaf diucapkan sudah mengikuti pada ketentuan waqaf, sebagaimana halnya yang berlaku dalam perjanjian sewa-menyewa tanah.
b. Mengecualikan hukum juziyah dari hukum kulliyah dengan suatu dalil. Istihsan macam kedua ini oleh ulama Hanafiyah disebut Istihsan Darurat. Sebab penyimpangan dari hukum kulli tersebut adalah karena darurat atau karena suatu kepentingan yang mengharuskan adanya penyimpangan dengan maksud untuk menghadapi keadaan yang mendesak atau menghindari kesulitan.
Contohnya adalah: Menurut aturan yang prinsip, syara’ melarang mengadakan perikatan dan memperjualbelikan barang-barang yang belum ada pada saat perikatan terjadi. Tetapi menurut istihsan syara’ memberikan rukhshah (kemurahan) mu’amalat tersebut dengan diperkenankan menjalankan salam (jual beli dengan pembayaran lebih dahulu, tetapi barangnya dikirim kemudian) dan istishna’ (memesan untuk dibuatkan sesuatu atau jual beli secara inden). Kedua-duanya adalah perikatan dalam lalu lintas perdagangan tetapi barang yang diperdagangkan belum berwujud pada saat perjanjian dibuat.
Hukum kullinya ialah tidak sahnya memperjualbelikan barang yang belum berwujud pada saat akad jual beli terjadi. Tetapi oleh karena perikatan itu sangat dibutuhkan dan sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat, maka dikecualikanlah dari hukum kulli tersebut suatu hukum juz’i yaitu masalah salam atau istishna’.

Dari beberapa definisi dan macam istihsan di atas terlihat ada bentuk istihsan yang diterima semua pihak dan untuk selanjutnya mempunyai kekuatan dalam ijtihad yaitu istihsan yang diartikan dengan mengamalkan yang terkuat diantara dua dalil. Adapun istihsan dalam arti beralih dari qiyas jali kepada qiyas khafi atau beralih dari dalil kepada adat kebiasaan, merupakan masalah yang kontroversial, yang dengan sendirinya menjadi kurang kekuatannya sebagai dalil secara umum. Imam Syafi’i termasuk ulama yang paling keras menolah istihsan dalam bentuk ini.

Penolakan Syafi’i terhadap istihsan ini terdapat dalam kitabnya al-Risalah, sewaktu ditanya, “Apakah Anda membolehkan seseorang berkata ‘lakukanlah istihsan tanpa menggunakan qiyas? Ia menjawab, ‘tidak boleh.’ Bahkan ia mengatakan, ‘Haram hukumnya seseorang berpendapat berdasarkan istihsan bila istihsan itu menyalahi qiyas.”

Meskipun Imam Syafi’i menolak dengan keras jenis istihsan dalam bentuk yang kontroversi tersebut, tetapi istihsan yang lainnya tidak ditolaknya, bahkan ia pun menggunakan istihsan seperti dalam masalah bersumpah dengan menggunakan mushaf (al-Quran); membuat akte (keterangan tertulis) pada waktu penebusan bagi kemerdekaan seorang hamba (katabah), dan begitu pula menetapkan kewajiban mut’ah sebanyak 30 dirham.

Ulama yang menggunakan istihsan adalah dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Dari ketiga kalangan ini, yang lebih banyak menggunakan istihsan adalah Hanafiyah. Bahkan ada ulama Hanafiyah yang beranggapan bahwa menggunakan istihsan lebih baik daripada qiyas. Hal ini didasarkan firman Allah Swt:
الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه
“Orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang baik diantaranya....” (QS. al-Zumar:18).
واتبعوا أحسن ما أنزل من ربكم
“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.” (QS. al-Zumar:55).

Ayat pertama di atas mengisyaratkan adanya sanjungan dan pujian bagi orang yang mengikuti ucapan yang paling baik, dan ayat kedua mengandung perintah untuk mengikuti yang terbaik dari apa yang diturunkan Allah. Seandainya mengikuti cara terbaik itu tidak mempunyai kekuatan dalam dalil, tentu Allah tidak mengisyaratkan dngan yang seperti itu. Hal ini berarti bahwa istihsan yang tiada lain adalah upaya untuk berbuat yang terbaik itu diakui kekuatannya dalam agama.

4. Maslahah Mursalah
Maslahah berasal dari kata shalaha yang memiliki arti baik lawan dari kata ‘buruk’ atau ‘rusak’ . ia bentuk mashdar yang memiki arti “manfaat” atau “terlepas dari padanya kerusakan.”

Pengertian maslahah berarti perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia. Dalam artinya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan keuntungan atau kesenangan; atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudharatan atau kerusakan. Jadi setiap yang mengandung manfaat patut disebut mashlahah. Dengan begitu mashlahah itu mengandung dua sisi yaitu menarik atau mendatangkan kemaslahatn dan menolak atau menghindarkan kemudharatan.
Sedangkan kata mursalah berasal dari kata rasala ( ) bentuk wajan arsala artinya “terlepas”, atau dalam arti mutlakah (bebas). Kata terlepas dan bebas disini dihubungkan dengan kata mashlahah maksudnya adalah ‘terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan.”
Ada beberapa rumusan definisi yang berbeda tentang mashlahah mursalah ini, seperti Imam Ghazali
ما لم يشهد له من الشرع بالبطلان ولا بالإعتبار نص معيّن
“Apa-apa (maslahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya.”
Imam Al-Syaukan:
المناسب الذى لا يعلم انّ الشارع الغاه أو اعتبره
“Maslahah yang tidak diketahui apakah Syari’ menolaknya atau memperhitungkannya.”
Ibnu Qudamah
ما لم يشهد له ابطال ولا إعتبار معيّن
“Maslahah yang tidak ada bukti petunjuk tertentu yang membatalkannya dan tidak pula yang memperhatikannya.
Yusuf Hamid al-Alim
ما لم يشهد الشرع لا لبطلانها ولا لاعتبارها
“Apa-apa (maslahah) yang tidak ada petunjuk syar’ tidak untuk membatalkannya, juga tidak untuk memperhatikannya.”
Jalal al-Din Abd Rahman
المصالح الملائمة لمقاصد الشارع ولا يشهد لها أصل خاصّ بالإعتبار او بالإلغاء
“Maslahah yang selaras dengan tujuan Syari’ (pembuat hukum) dan tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya.”

Maslahah Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’ suatu hukum untuk mewujudkannya dan tidak pula terdapat suatu dalil syara’ yang memerintahkan untuk memperhatikannya atau mengabaikannya.

Dari rumusan definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat dari maslahat mursalah, sebagai berikut:
1. Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia.
2. Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
3. Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan syara’ tersebut tidak ada petunjuk syara’ secara khusus yang menolaknya, juga tidak ada petunjuk syara’ yang mengakuinya.

Misalnya mengadakan lembaga pemasyarakatan (penjara), mencetak mata uang sebagai alat pertukaran resmi dari suatu negara dan lain-lain.

Maksud syari’at Islam itu tidak lain untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, yakni menarik manfaat, menolak kemudaratan dan menghilangkan kesusahan. Kemaslahatan manusia itu tidak terbatas macamnya dan terhingga jumlahnya. Ia selalu bertambah dan berkembang mengikuti situasi dan ekologi masyarakat.

Jumhur ulama menetapkan bahwa maslahah mursalah itu adalah sebagai dalil syara’ yang dapat digunakan untuk menetapkan suatu hukum. Alasan yang mereka kemukakan adalah sebagai berikut:
a. Kemaslahatan manusia terus berkembang dan bertambah.
b. Menurut penyelidikan bahwa hukum-hukum, keputusan-keputusan dan peraturan yang dikeluarkan oleh para sahabat dan tabi’in adalah untuk kemaslahatan bersama. Misalnya: Kebijakan yang dilakukan oleh Abu Bakar r.a dalam mengumpulkan al-Quran dan menuliskan seluruh ayat-ayatnya pada lembaran-lembaran mushaf.

Imam Malik beserta muridnya adalah kelompok yang secara jelas menggunakan maslahah mursalah sebagai metode ijtihad. Selain digunakan oleh penganut madzhab ini, maslahah mursalah juga digunakan oleh ulama non maliki sebagaimana diutarakan oleh al-Syatibi dalam kitab al-istiham.
Tentang pandangan ulama Hanafi terhadap maslahah mursalah ini terdapat penukilan yang berbeda. Menurut al-Amidi, banyak ulama yang beranggapan bahwa ulama Hanafi tidak mengamalkannya. Namun menurut Ibnu Qudamah, sebagian ulama Hanafi menggunakan maslahah mursalah. Tampaknya ulama yang beranggapan bahwa sebagian ulama Hanafiyah mengamalkan maslahah mursalah ini lebih tepat, karena kedekatan metode ini dengan istihsan.

Ulama Syafiiyah tidak menggunakan metode maslahah mursalah ini dalam berijtihad. Pendapat ini didukung oleh Al-Amidi dan Ibn Hajib. Imam Syafi’i sendiri tidak menyinggung metode ini dalam kitab standarnya al-Risalah. Namun ada ulama yang beranggapan bahwa maslahah mursalah ini berlaku di kalangan ulama Syafi’i. Bahkan al-Ghazali sendiri sebagai pengikut Syafi’i ada menukilkan satu versi pendapat yang mengatakan bahwa Imam Syafi’i yang menggunakan maslahah mursalah tersebut. Diterimanya maslahah mursalah sebagai metode ijtihad dengan syarat bahwa maslahah mursalah itu bersifat dharuri (menyangkut kebutuhan pokok dalam kehidupan), qath’i (pasti), dan kulli (menyeluruh) secara kumulatif. Ibnu Subki dan al-Razi membenarkan pendapat al-Ghazali tersebut.

Adapun syarat-syarat khusus untuk dapat berijtihad dengan maslahah murslah, diantaranya adalah:
a. Maslahah mursalah itu adalah maslahah yang hakiki dan bersifat umum, dalam arti dapat diterima oleh akal sehat bahwa ia betul-betul mendatangkan manfaat bagi manusia dan menghindarkan mudharat dari manusia secara utuh.
b. Yang dinilai akal sehat sebagai suatu maslahah yang hakiki sejalan dengan maksud dan tujuan syara’ dalam menetapkan stiap hukum.
c. Yang dinilai akal sehat sebagai suatu maslahah yang hakiki dan telah sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu tidak berbenturan dengan dalil syara’ yang telah ada, baik dalam bentuk nash al-Quran dan Sunnah, maupun ijma’ ulama terdahulu.
d. Maslahah mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan yang seandainya masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada dalam kesempitan hidup.

5. Urf
Urf atau adat kebiasaan ialah apa-apa yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan terus-menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Ahli bahasa ada yang menyamakan kata ‘adat dan ‘urf tersebut, kedua kata itu mutaradif (sinonim). Jika dilihat dari asal kata ‘adat akar katanya adalah ‘aada, ya’udu mengandung arti tikrar (pengulangan). Karena itu, sesuatu yang baru dilakukan satu kali, belum dinamakan ‘adat. Sedangkan kata ‘urf pengertian tidak melihat dari segi berulangkalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak. Adanya dua sudut pandang berbeda ini (dari sudut berulang kali, dan dari sudut dikenal) yang menyebabkan timbulnya dua nama tersebut. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsip karena dua kata itu pengertiannya sama, yaitu: suatu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan diakuo orang banyak.; sebaliknya karena perbuatan itu sudah dikenal dan diakui orang banyak, maka perbuatan itu dilakukan secara berulang kali.
Abu Zahrah memberikan pengertian ‘urf sebagai berikut:
ما اعتداه الناس من معاملات واستقامت عليه أمورهم
“Apa-apa yang dibiasakan oleh manusia dalam pergaulannya dan telah mantap dalam urusannya.”

Secara lebih lengkap, Badran memberikan definisi sebagai berikut:
ما اعتداه جمهور الناس وألقوه من قول أو فعل تكرّر مرّة بعد مرّة أخرى حتى تمكّن أثره فى نفوسهم وصارت تتلقاه عقولهم بالقبول
“Apa-apa yang dibiasakan dan diikuti oleh orang banyak, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan, berulang-ulang dilakukan sehingga berbekas dalam jiwa mereka dan diterima baik oleh akal mereka.”

Sebagai contoh adat kebiasaan yang berupa perkataan misalnya perkataan “walad” menurut bahasa hanya khusus untuk laki-laki saja, tetapi di dalam suatu masyarakat, anak perempuan juga sering disebut walad.

Contoh urf yang berupa perbuatan adalah jual beli dengan tanpa mengadakan ijab-qabul. Dalam suatu masyarakat sudah cukup dengan menyerahkan uang dan mengambil barang yang telah dibelinya tanpa harus mengatakan ijab dan qabul.

Urf terdiri dari dua macam:
a. Urf Shahih ialah kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertentang dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib. Misalnya adat kebiasaan yang berlaku dalam dunia perdagangan tentang indent, adat kebiasaan dalam pembayaran mahar, secara kontan atau hutang, adat kebiasaan seorang yang melamar seorang wanita dengan memberikan sesuatu sebagai hadiah, bukan sebagai mahar, dan lain sebagainya.
b. Urf Fasid ialah adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang, berlawanan dengan ketentuan syari’at karena membawa kepada menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib. Misalnya kebiasaan-kebiasaan dalam akad perjanjian yang bersifat riba dan lain sebagainya.
Pada waktu Islam masuk dan berkembang di Arab, di sana berlaku norma yang mengatur kehidupan bermuamalah yang telah berlangsung lama yang disebut adat. Kemudian Islam pun datang dengan seperangkat norma syara’ yang mengatur kehdiupan muamalah yang harus dipatuhi umat Islam sebagai konsekuensi dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagian adat lama itu ada yang selaras dan ada yang bertentangan dengan hukum syara’ yang datang kemudian. Adat yang bertentangan tentunya harus dihilangkan karena bertentangan dengan syariat dan mengandung kemudharatan bagi manusia. Sedangkan adat yang dipandang masih diperlukan dapat dilaksanakan oleh umat Islam. Dengan demikian ada 4 kelompok dalam penyeleksian adat itu bisa dilestarikan atau dihilangkan.
a. Adat yang lama secara substansial dan dalam hal pelaksanaannya mengandung unsur kemaslahatan. Atau unsur manfaat lebih besar dari mudharat. Adat dalam bentuk ini diterima dalam Islam. Contoh uang tebusan darah (diyat) yang harus dibayar oleh pihak pelaku pembunuhan kepada pihak keluarga yang terbunuh. Hukum ini berlaku di kalangan masyarakat Arab sebelum Islam datang dan dinilai dapat terus diberlakukan.
b. Adat yang lama yang secara substansial mengandung unsur maslahat, namun dalam pelaksanaannya tidak dianggap baik oleh Islam. Adat dalam bentuk ini dapat diterima dalam Islam namun dalam pelaksanaanya mengalami perubahan dan penyesuaian. Contoh zhihar yaitu ucapan suami yang menyamakan istrinya dengan punggung ibunya sendiri. Dalam adat Arab zhihar ini dilakukan oleh para suami yang ingin bercerai dengan isterinya. Karena mengakibatkan terputusnya hubungan suami isteri. Sedangkan dalam Islam, membenarkan kata zhihar itu namun tidak memutuskan hubungan suami istri, tetapi cukup membayar kifarat.
c. Adat yang lama yang pada prinsip dan pelaksanaannya mengandung unsur mafsadat (merusak). Maksudnya, yang dikandungnya hanya unsur perusak dan tidak memiliki unsur manfaatnya; atau ada unsur manfaatnya tetapi unsur perusaknya lebih besar. Seperti berjudi, minum-minuman yang memabukkan.
d. Adat atau ‘uruf yang telah berlangsung lama, diterima oleh orang banyak karena tidak mengandung unsur mafsadat (perusak) dan tidak bertentangan dengan dalil syara’, baik secara langsung atau tidak langsung. Contoh adat dalam bentuk ini jumlahnya banyak sekali dan menjadi perbincangan di kalangan ulama.

6. Istishab
Secara etimologi istishab berasal dari kata shahab dalam wajan istif’al yang berarti istimrar al-shahbah diartikan ‘selalu’ atau ‘terus menerus’, maka istishab itu secara artinya selalu menemani atau selalu menyertai.

Adapun secara istilah terdapat beberapa rumusan dari para ulama, dianataranya adalah:
Muhammad Ridha Mudzaffar dari kalangan Syi’ah
أبقاء ما كان
“Mengukuhkan apa yang pernah ada.”
Al-Syaukani
إنّ ما ثبت فى الزمان الماضى فالأصل بقاؤه فى الزمان المستبقبل
“Apa yang pernah belaku secara tetap pada masa lalu, pada prinsipnya tetap berlaku pada masa yang akan datang.
Muhammad Ubaidillah al-As’adi:
إبقاء حكم ثبت بدليل فى الماضى معتبر فى الحال حتى يوجد دليل غير دليل الأول يغيّره
“Mengukuhkan hukum yang yang ditetapkan dengan suatu dalil pada masa lalu dipandang waktu ini sampai diperoleh dalil lain yang mengubahnya.”

Istishhab adalah menetapkan hukum sesuatu menurut keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang merubahnya. Dengan ungkapan lain istishhab adalah menjadikan hukum satu peristiwa yang telah ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan hukum itu. Misalnya: Ahmad mengawini Badriah secara sah. Kemudian Ahmad meninggalkan istrinya tanpa proses perceraian selama 10 tahun. Jalal berhasrat hendak mengawini Badriah yang menurut realitanya tidak bersuami. Perkawinan Jalal dengan Badriyah ini tentu tidak dapat dilangsungkan, karena Badriyah menurut status hukumnya adalah istri dari Ahmad. Selama tidak ada bukti bahwa Badriyah telah dicerai secara sah oleh Ahmad, maka tetaplah Badriyah berstatus hukum sebagai istri Ahmad seperti semula.

Adapun berkenaan dengan kehujjahan Istishhab, menurut ulama Hanafiah bahwa istishhab itu dapat menjadi hujjah untuk menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum yang berbeda (kebalikan) dengan penetapan hukum semula, bukan untuk menetapkan suatu hukum baru. Misalnya seorang yang mafqud (orang yang hilang tidak diketahui beritanya, hidup atau matinya dan dimana domisilinya) secara hukum dia masih hidup berdasarkan keadaan semula yang sudah diketahui, yaitu hidup sewaktu bepergian, sampai ada dalil yang menunjukkan kematiannya. Istishhab yang menetapkan hukum bahwa si mafqud masih hidup adalah sebagai hujjah untuk menghukumi ia masih hidup dan sebagai penolakan untuk menghukumi ia sudah mati dan akibat hukum yang timbul sesudah dihukumi mati.

Imam al-Syaukani mengemukakan bentuk-bentuk istishab yaitu sebagai berikut:
a. ما دلّ العقل والشرع على ثبوته ودوامه
“Sesuatu yang ditunjukkan oleh akal atau syara’ tentang tetap dan berlakunya suatu hukum sampai ada dalil yang menentukan ketentuan lain dari hukum tersebut”
b. إستصحاب العدم الأصلي
"Tetap memberlakukan keadaan tidak ada (ketentuan hukum) menurut asalnya."
c. إستصحاب الحكم القلي
"Tetap memberlakukan hukum akal. (Pengertian al-hukmu al-‘aqliy menurut ulama Mu’tazilah ialah bahwa akal datap menetapkan suatu hukum syara’ sebelum datangnya wahyu berdasarkan kepada kemampuan akal untuk mengetahui hakikat buruk dan baik pada suatu perbuatan."
d. إستصحاب الحكم الثابت بالإجماع
"Mengukuhkan pemberlakuan hukum ijma’"

7. Syar’u man qablana
Syari’u man qablana adalah syariat orang-orang terdahulu sebelum kita, Al-Quran dan Sunnah Shahih menerangkan suatu hukum yang disyariatkan oleh Allah untuk umat Islam kemudian dijelaskan bahwa hukum tersebut diwajibkan pula kepada umat sebelumnya, maka tidak diperselisihkan lagi bahwa hukum tersebut adalah syari’at bagi kita dan umat sebelum kita, seperti firman Allah Swt:

ياأيها الذين أمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلّكم تتقون
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan bagimu berpuasa sebagaimana diwajibakan bagi orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Demikian juga apabila al-Quran atau Sunah menerangkan suatu hukum yang disyari’atkan kepada umat yang dahulu, kemudian datang dalil syara’ yang membatalkannya maka telah disepakati bahwa hukum itu bukanlah merupakan hukum syara’ buat kita. Seperti syari’at yang berlaku pada zaman Nabi Musa as. Bahwa seorang yang berbuat ma’shiat tidak akan diampuni dosanya kecuali bila ia membunuh dirinya dan pakaian yang kena najis tidak akan dapat disucikan kembali, sebelum dipotong bagian yang kena najis itu.

Dalil yang membatalkan cara-cara taubat yang dilakukan oleh umat Nabi Musa. Antara lain firman Allah Swt:
وأن استغفروا ربّكم ثمّ توبوا إليه
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya.” (QS. Hud:3)

Dalil yang membatalkan cara membersihkan pakaian yang kena najis. Firman Allah Swt:
وثيابك فطهّر
“Dan pakaianmu hendaklah kamu bersihkan.” (QS. Al-Mudatstsir:4)

Syar’u man qablana dalam pengertian di atas, dapat dibagi ke dalam 3 kelompok:
a. Syari’at terdahulu yang terdapat dalam al-Quran atau penjelasan Nabi yang disyariatkan untuk umat sebelum Nabi Muhammad dan dijelaskan pula dalam al-Quran atau hadits nabi bahwa yang demikian telah dinasakh dan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad. Umpamanya firman Allah dalam surat al-An’am:146
وعلى الذين هادوا حرّمنا كلّ ذى ظفر ومن البقر والغنم حرّمنا عليهم سخومهما
“Kami haramkan atas orang-orang Yahudi setiap (binatang) yang punya kuku, dan dari sapi dan kambing yang Kami haramkan pada mereka lemaknya.”
Ayat ini mengisahkan apa yang diharamkan Allah untuk orang Yahudi dahulu. Kemudian dijelaskan pula dalam al-Quran bahwa hal itu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad sebagaimana disebutkan dalam surat al-An’am:145
قل لا أجد فيما أوحي إليّ محرّما على طاعم يطعمه إلاّ أن يكون ميتة أو دما مسفوحا أو لحم خنزير
“Katakanlah aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang haram terhadap orang untuk dimakan kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi.”
b. Hukum-hukum dijelaskan dalam al-Quran maupun Hadits disyariatkan untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad Saw. Seperti kewajiban puasa dan contoh lain sabda Rasulullah Saw:
ضحّوا فإنها سنّة أبيكم إبراهيم (الحديث)
“Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunnah bapakmu, Ibrahim.” (al-Hadits)
c. Hukum-hukum yang disebutkan dalam al-Quran atau Hadits nabi, dijelaskan berlaku untuk umat sebelum Nabi Muhammad,namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak ada alasan bahwa hukum tersebut telah dinasakh.

Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah syari’at sebelum kita itu menjadi dalil dalam menetapkan hukum bagi umat Nabi Muhammad, pendapat mereka adalah sebagai berikut:
a. Jumhur ulama Hanafiyah dan Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah dan Malikiyah serta ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa hukum-hukum syara’ sebelum kita dalam bentuk ketiga tersebut tidak berlaku untuk kita.
b. Sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum yang disebutkan dalam al-Quran atau Sunnah meskipun tidak diarahkan untuk umat Nabi Muhammad, selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat Nabi Muhammad. Dari sini muncul kaidah:
شرع من قبلنا شرع لنا
“Syariat untuk umat sebelum kita berlaku untuk syari’at kita.”
Alasan yang mereka kemukakan adalah firman Allah Swt:
شرع لكم من الدين ما وصّى به نوحا والذى أوحينا إليك وما وصّينا به إبراهيم وموسى وعيسى أن أقيموا الدين ولا تتفرّقوا فيه
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: ‘Tegakkanlah agama dan jangn kamu berpecah belah tentangnya.” (QS. al-Syura:13).

8. Dzari’ah
Dzari’ah secara etimologi adalah jalan menuju sesuatu. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudharatan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, di antaranya Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, Dzari’ah itu terbagi kepada dua bagian, yaitu sadd al-dzari’ah (yang dilarang) dan fath al-dzari’ah (yang dianjurkan).

Pertama, Sadd al-Dzari’ah
Menurut al-Syatibi sadd al-dzari’ah adalah:

“Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan.”

Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sadd al-dzari’ah adalah perbuatan yang pada mulanya dibolehkan (mengandung kemaslahatan), tetapi berakhir dengan suatu kerusakan. Contohnya adalah: seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat, namun sebelum haul (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat.
Pada mulanya hibah adalah perbuatan baik yang mengandung kemaslahatan, akan tetapi, bila tujuannya tidak baik, misalnya untuk menghindarkan dari kewajiban zakat maka hukumnya dilarang.

Kedua, Fath al-dzari’ah
Fath al-dzari’ah adalah kebalikan dari sadd al-dzari’ah yaitu perbuatan yang pada mulanya mengandung kemafsadatan menuju pada suatu kemaslahatan. Seperti contoh, melihat aurat wanita adalah perbuatan yang pada mulanya mengandung kemafsadatan (dilarang) karena akan menimbulkan zina, tetapi karena untuk mengobati, maka perbuatan tersebut mengandung kemaslahatan.

Meskipun hampir semua ulama dan penulis ushul fiqh menyinggung tentang saddud al-dzari’ah, namun amat sedikit yang membahasnya dalam pembahasan khusus secara tersendiri. Ada yang menempatkan bahasannya dalam deretan dalil-dalil syara’ yang tidak disepakati oleh ulama.
Ditempatkannya al-dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum meskipun diperselisihkan penggunaannya, mengandung arti bahwa meskipun syara’ tidak menetapkan secara jelas mengenai hukum suatu perbuatan, namun karena perbuatan itu ditetapkan sebagai washilah bagi suatu perbuatan yang dilarang secara jelas, maka hal ini menjadi petunjuk atau dalil bahwa hukum washilah itu adalah sebagaimana hukum yang ditetapkan syara’ terhadap perbuatan pokok. Sebagai contoh firman Allah Swt:
ولا تسبّوا الذين يدعون من دون الله فيسبّوا الله عدوا بغير علم
“Janganlah kamu caci orang-orang yang menyembah selain Allah, karena nanti ia akan mencaci Allah secara memusuhi tanpa pengetahuan.”
Sebenarnya mencaci dan menghina penyembahan selain Allah itu boleh-boleh saja, namun karena perbuatan itu akan menyebabkan Allah akan dicaci oleh mereka, maka perbuatan itu menjadi dilarang.


UNSUR-UNSUR HUKUM ISLAM
Pengertian Mahkum Bih/Mahkum Fih
Mahkum Bih adalah perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dibebani suatu hukum (perbuatan hukum).

Telah menjadi ijma’ seluruh ulama bahwa tidak ada pembebanan selain pada perbuatan orang mukallaf. Oleh karena itu, apabila Syari’ mewajibkan atau mensunnatkan suatu perbuatan kepada seorang mukallaf, maka beban itu tak lain adalah perbuatan yang harus atau seyogianya dikerjakan. Demikian juga apabila Syari’ mengharamkan atau memakruhkan sesuatu, maka beban tersebut juga berupa perbuatan yang harus atau seyogianya ditinggalkan.

Perbuatan yang dibebankan (Mahkum Bih) kepada orang mukallaf itu mempunyai tiga syarat:
1. Perbuatan itu diketahui oleh orang mukallaf secara sempurna, sehingga ia dapat mengerjakannya sesuai dengan tuntutan.
2. Hendaklah diketahui bahwa pembebanan itu berasal dari yang mempunyai kekuasaan memberi beban dan dari pihak yang wajib diikuti segala hukum-hukum yang dibuatnya.
3. Perbuatan itu adalah perbuatan yang mampu dikerjakan atau ditinggalkan. Sehingga tidak dibenarkan memberi beban yang mustahil untuk dilaksanakan.
Manusia tidak diperintahkan mengerjakan perbuatan yang tidak mungkin (mustahil) dapat dilakukan sebagaimana firman Allah Swt:
لايكلّف الله نفسا إلا وسعها
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (QS. Al-Baqarah:286)

ما جعل عليكم فى الدين من حرج
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj:78).

Namun demikian, di dalam al-Quran dan Hadits terdapat keterangan yang menuntut suatu perbuatan di luar kemampuan manusia, seperti:
Berjihad dengan mengorbankan jiwa dan harta,
Bersabar dan tidak suka marah. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

لا تغضب
“Janganlah engkau suka marah”
تحابّوا ولاتباغضوا
“Saling cinta mencintai kamu sekalian dan jangan saling membenci".

Atau bahkan seluruh ibadah yang diperintahkan Allah akan terasa berat dan beban bagi manusia yang tidak mengenal hakikat hidup ini, dalam melaksanakan perintah-perintah tersebut pastilah akan kita jumpai berbagai macam masyaqqat, sebagaimana Rasulullah Saw bersabda:

خفت الجنة بالمكاره وخفت النار باشهوات
“Syurga diliputi oleh hal-hal yang dibenci, sedang neraka diliputi oleh hal-hal yang menyenangkan.”

Pengertian Mahkum ‘Alaih (Orang yang dibebani hukum)
Mahkum ‘Alaih ialah orang-orang mukallaf yang dibebani hukum. Adapun syarat-syarat sahnya seorang mukallaf menerima beban hokum itu ada dua macam. Yakni:
1. Sanggup memahami khitab-khitab pembebanan atau tuntutan syara’ yang terkandung dalam al-Quran dan Sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain. Oleh karena itu, orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk memahami khithab syar’I tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif (pembebanan)
2. Mempunyai kemampuan menerima beban. Dasar pembebanan hokum bagi seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.

Kemampuan seseorang untuk menerima kewajiban dan menerima hak oleh para ulama Ushuliyyun dibagi kepada dua macam:

1. Ahliyatul Wujub, yaitu kepantasan seseorang untuk diberi hak dan diberi kewajiban. Kepantasan ini ada pada setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, kanak-kanak maupun , kurang dan baik sehat maupun sakit.
Semua orang mempunyai kepantasan diberi hak dan kewajiban. Sebab dasar dari kepantasan ini adalah kemanusiaan. Artinya selama manusia itu masih hidup, kepantasan tersebut tetap dimilikinya.

2. Ahliyatul Ada’ (kemampuan berbuat) ialah kepantasan seseorang untuk dipandang sah segala perkataan dan perbuatannya. Misalnya bila ia mengadakan suatu perjanjian atau perikatan, tindakan-tindakan itu adalah sah dan dapat menimbulkan akibat hukum. Sehingga masa datangnya ahliyatul ada’ menurut syara’ adalah bersamaan dengan tibanya usia taklif yang dibatasi dengan aqil dan baligh.

Ahliyatul Ada’ terbagi kepada dua macam:
a. Ahliyatul Ada’ Sempurna (Tam) yaitu ketika seseorang yang telah berakal mencapai umur dewasa (baligh) dinisbahkan untuk hokum syara’ dan balighnya orang yang cakap dinisbahkan untuk muamalah harta (perdata).
b. Ahliyatul Ada’ tidak sempurna (Naqish) yaitu anak yang cakap atau semisalnya dinisbahkan untuk muamalah harta dan perikatan. Adapun taklif syara’ bagi anak yang cakap sama dengan anak yang tidak cakap. Seperti shalatnya anak kecil dianggap seperti orang yang tidak cakap (gila). Sedangkan dalam masalah masalah muamalah dianggap sah jual belinya.

Namun demikian, ada beberapa orang yang sudah dewasa dan pantas untuk melaksanakan hak dan kewajiban tetapi kondisi mereka tidak memungkinkan untuk melaksanakan semua itu, dikarenakan ada hal-hal yang menghalangi tersebut disebut dengan awaridh ahliyah.
Awaridh Ahliyah ada dua macam: yakni samawiyah dan kasabiyah.
Samawiyah ialah hal-hal yang berada di luar usaha dan ikhtiyar manusia. Halangan samawiyah ada 10 macam:
a. Keadaan belum dewasa
b. Sakit gila
c. Kurang akal
d. Keadaan tidur
e. Pingsan
f. Lupa
g. Sakit
h. Menstruasi
i. Nifas
j. Meninggal dunia
Kasabiyah adalah perbuatan-perbuatan yang diusahakan oleh manusia yang menghilangkan atau mengurangi kemampuan bertindak. Halangan kasabiyah itu ada 7 macam:
a. Boros
b. Mabuk
c. Bepergian
d. Lalai
e. Bergurau (main-main)
f. Bodoh (tidak mengetahui) dan
g. Terpaksa (ikrah)




IJTIHAD, ITTIBA’, TAQLID, TALFIQ, TARJIH

IJTIHAD
Ijtihad diambil dari akar kata dalam bahasa Arab ‘jahada’. Bentuk kata mashdarnya ada dua bentuk yang berbeda artinya.
1. Juhdun dengan arti kesungguhan atau sepenuh hati atau serius. Contohnya dapat kita temukan dalam firman Allah Swt:
“Mereka bersumpah dengan Allah sungguh-sungguh sumpah”
“Dan orang-orang yang tidak memperoleh selain sekedar kesanggupannnya, maka orang munafik itu menghina mereka.”
2. Ijtihad dari ijtahada, yajtahidu, mengandung arti mubalaghah (sangat).

Sedangkan secara istilah hukum Islam, para ulama banyak memberikan definisi tentang ijtihad, diantaranya adalah Imam al-Syaukani, bahwa ijtihad adalah:
بذل الوسع فى نيل حكم شرعي عملي بطريق الإستنباط
“Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syar’i yang bersifat amali melalui cara istimbath.”
Imam Subki lebih jelas lagi mendefinisikan bahwa ijtihad adalah:
إستفراغ الفقيه الوسع لتحصيل ظن بحكم شرعي
“Pengerahan kemampuan seorang ulama faqih untuk menghasilkan dugaan kuat tentang hukum syar’i.”

Kata zhan yang ditambahkan Ibnu Subki mengandung arti bahwa yang dicari dan dicapai dengan usaha ijtihad itu hanyalah dugaan kuat tentang hukum Allah, bukan hukum Allah itu sendiri,karena hanya Allah yang Maha Mengetahui maksudnya secara pasti, sedangkan Allah sendiri tidak mengungkapkan ketentuan hukum-Nya secara pasti. Kalau sdudah ada firman Allah yang pasti dan jelas tentang hukum, maka tidak perlu ada ijtihad lagi.

Setiap permasalahan dalam kehidupan ini beraneka ragam, suatu masalah yang terjadi pada jaman dahulu belum tentu terjadi pada jaman sekarang, atau masalah yang terjadi pada jaman sekarang belum tentu terjadi juga pada jaman dahulu. Hal ini bukan berarti permasalahan tersebut tidak ada hukumnya dalam al-Quran maupun hadits. Secara esensi setiap akar masalah dari suatu perkara pasti terdapat dalam al-Quran, sebagaimana firman Allah yang artinya tidak ada sesuatu pun yang terlewat dari al-Quran. Artinya setiap permasalahan yang berkembang secara esensi ada kemiripan dalam permasalahan yang ada hukumnya dalam al-Quran, oleh karena itu, Allah memberikan akal pada setiap manusia agar mereka berpikir, menggunakan pikirannya yang sesuai dengan kehendak syari’at-syari’at Allah. Dasar hukum untuk menggunakan akal pikiran adalah firman Allah SWT.

أفلا ينظرون الى الإبل كيف خلقت والى السماء كيف رفعت والى الجبال كيف نصبت والى الأرض كيف سطحت فذكر إنما انت مذكّر

Dalam penggunaan akal ada batasan-batasan tertentu yaitu hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah, oleh karena itu para sahabat dan mujtahid yang berijtihad selalu merendahkan diri tidak pernah merasa pendapatnya paling benar dan pendapat orang lain salah. Sebagaimana yang dikatakan Umar:

Apabila ijtihadku benar maka itu datang dari Allah, dan apabila itu salah, maka itu datang dari diriku sendiri. Janganlah pendapatku yang salah dijadikan sunnah yang harus diikuti.

Imam Malik mengatakan:
Janganlah engkau taqlid (mengikuti) pendapatku, dan jangan pula taqlid kepada Imam Malik, Imam Tsauri maupun Imam Auza’I, tetapi ambillah atau ikutilah dalil yang mereka gunakan.
Dari pendapat ini jelas, bahwa umat Islam dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam bukan mengikuti suatu pendapat para imam mazhab, tetapi yang harus diikuti adalah dalil-dalil al-Quran dan Sunnah yang mereka ambil (jadikan) dasar pengambilan hukum. Kita bukan mengikuti madzhab ulama-ulama tertentu tetapi kita berusaha mengikuti dalil-dalil al-Quran dan Sunnah yang menjadi dasar pengambilan hukum.

Imam Hanafi pun mengatakan:

“Jika pendapatku bertentangan dengan kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, maka tinggalkanlah jauh-jauh pendapatku itu.

Kita boleh berijtihad dan berpendapat dengan tidak bertentangan dengan hukum-hukum Allah Swt.

Imam Syafi’i memperumpamakan orang-orang yang taqlid terhadap suatu imam seperti ungkapan beliau:

“perumpamaan orang yang menuntut ilmu dengan tanpa mengetahui dalil (hujjah) seperti orang yang membawa kayu bakar yang membawa obor dan obor itu membakar kayu yang dibawanya, sedangkan dia tidak mengetahuinya.”

Hukum Ijtihad
Ijtihad secara bahasa diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan at-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam al-Quran disebutkan:
..... والذين لم يجدوا الا جهدهم
“Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan.” (QS. At-Taubah:79)

kata al-jahd juga menunjukan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi. Dalam pengertian inilah, Nabi Saw mengungkapkan kata-kata:

صلّوا عليّ واجتهدوا فى الدعاء
“Bacalah shalawat kepadaku dan bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”

Adapun definisi ijtihad secara terminology adalah:
عمليّة استنباط الأحكام الشرعية من أدلّتها فى الشريعة
“Aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istimbath) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syari’at.”

Dengan kata lain ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (ahli fiqh) untuk memperoleh pengetahuan tentang hokum sesuatu melalui dalil syara’ (agama). Dalam istilah inilah, ijtihad lebih dikenal dan digunakan oleh mayoritas ulama fiqh.

Ijtihad dapat dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hokum Islam. Dasar hukum yang menyatakan hal itu antara lain:
Firman Allah Swt:
إنّ فى ذلك لأيات لقوم يتفكّرون
“Sesungguhnya pada hal itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.” (QS. An-Nisa:105)

Sabda Rasul Saw yang membolehkan berijtihad,

إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد ثمّ أخطأ

“Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua, dan bila salah maka ia mendapat satu pahala.”

Dengan demikian, hukum ijtihad secara umum adalah wajib. Artinya, seorang mujahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’ dalam hal-hal syara’ sendiri tidak menetapkannya secara jelas dan pasti. Adapun dalil tentang kewajiban untuk berijtihad itu dapat dipahami darii firman Allah Swt:
فاعتبروا يا أولى الأبصار
“Maka ambillah i’tibar (pelajaran) hai orang-orang yang punya pandangan.” (QS. al-Hasyar:2).

Peranan dan Kedudukan Ijtihad
Seluruh ulama telah sepakat tentang peran ijtihad sebagai hujjah bila ijtihad itu berkaitan dengan nash-nash syari’at dari segi ketetapannya atau dalalahnya, keumumannya atau kekhususannya atau berkaitan dengan juz’iyat (dalil-dalil yang terperinci).

Ijtihad memiliki kedudukan yang penting dalam menggali hokum-hukum yang terdapat dalam al-Quran maupun Sunnah, sebagaimana hadits Rasul berkenaan dengan Muadz bin Jabal yang dikirim ke Yaman sebagai seorang hakim.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لمعاذ : بم تقضى؟ قال بما فى كتاب الله. فال فإن لم تجد فى كتاب الله قال أقضى بما قضى به رسول الله . قال فإن لم تجد فيما قضى به رسول الله؟ قال أجتهد برأيى ؟ قال ألحمد لله الذى وفق رسول رسوله

“Rasulullah Saw bertanya, “Dengan apa kamu menghukumi?” Ia menjawab, “Dengan apa yang ada dalam kitab Allah. Rasulullah bertanya, “Jika kamu tidak mendapatkan dalam kitab Allah?” Dia menjawab, “Aku memutuskan dengan apa yang diputuskan Rasulullah” Rasul bertanya lagi, “Jika tidak mendapatkan dalam ketetapan Rasulullah?” Berkata Muadz, “Aku berijtihad dengan pendapatku. Rasulullah bersabda, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah menyepakati utusan sari Rasul-Nya.”

Dari hadits di atas, ijtihad memiliki kedudukan yang penting setelah al-Quran dan Sunnah.

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah Nabi pernah melakukan ijtihad, dan apakah Nabi boleh berijtihad. Masalah ini timbul didasarkan firman Allah Swt:
وما ينطق عن الهوى إن هو إلاّ وحي يوحى
“Dan tidaklah ia berbicara dengan hawa nafsunya; ucapannya itu tiada lain dari wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. al-Najm:3-4)

Menurut Jumhur ulama bahwa Nabi boleh dan mungkin saja melakukan ijtihad. Mereka berargumen pada firman Allah, Sunnah dan argumen akal atau logika. Seperti firman Allah Swt dalam surat al-Hasyr:2.
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.”

Adapun dalil yang berasal dari hadits Nabi seperti Nabi sering menetapkan suatu keputusan, kemudian turun ayat yang membetulkan keputusan itu. Jika keputusan Nabi keliru, ayat itu meluruskan keputusan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang ditetapkan Nabi itu bukan atas dasar petunjuk wahyu, tetapi semata hasil ijtihad beliau sendiri.

Sedangkan menurut Asy’ariyah dan kebanyakan Mu’tazilah berpendapat bahwa tidak boleh dan tidak pernah Nabi Saw melakukan ijtihad dalam bidang hukum syara’. Mereka mengemukakan argumen firman Allah QS. al-Najm:3-4 di atas.

Karena ayat tersebut menunjukkan bahwa segala yang diucapkan Nabi itu adalah wahyu yang diwahyukan Allah dan bukan hasil ijtihadnya.

Meskipun menurut Asy’ariyah dan Mu’tazilah menolak ijtihad Nabi, namun suatu kenyataan bahwa Nabi telah melakukan ijtihad sehubungan dengan adanya pertanyaan sahabat yang dihadapkan kepadanya. Tentang bagaimana caranya dan metode apa yang digunakan Nabi dalam melakukan ijtihad itu, tampaknya jawaban yang diberikan Nabi adalah dalam bentuk ijtihad dengan mencari kesamaan dengan kasus yang telah ditemukan hukumnya dalam wahyu atau sunnah yang telah berlangsung. Cara seperti ini dalam ijthad disebut ‘qiyas’. Contohnya adalah sebagai berikut:
“Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan lainnya dari Ibnu Abbas menerangkan bahwa seorang perempuan dari suku Juhainah datang kepada Nabi Muhammad Saw dan berkata, “Ibu saya bernazar untuk melakukan haji. Ia belum pernah melakukan haji yang dinazarkan itu sampai ia meninggal. Perempuan itu bertanya, “Apakah boleh saya menghajikannya?” Nabi menjawab, “Ya, hajikanlah. Bagaimana pendapatmu seandainya ibumu berhutang apakah engkau akan membayarkannya? Bayarkanlah hutangnya kepada Allah, karena hutang kepada Allah itu lebih layak untuk dibayarkan.”

Pada masa sahabat, ijtihad sering dilakukan bahkan pada saat Nabi masih hidup pun, mereka juga berijtihad, seperti ijtihad ‘Amr bin Ash yang bertayammum padahal waktu itu ada air, karena ia merasa khawatir jika berwudhu dengan air akan sakit, sebab cuaca sangat dingin. Tindakan ini dilakukan karena Amr bin Ash menemukan kesukaran saat berwudhu.

Oleh karena itu, mereka pun senantiasa berijtihad ketika Rasul telah tiada. Berikut ini contoh ijtihad yang dilakukan para sahabat.
1. Ketika Nabi baru wafat, timbul masalah siapa yang akan memimpin umat pengganti kedudukan beliau. Nabi sendiri tidak memberi petunjuk apa-apa dan wahyu yang berkenaan dengan pergantian pemimpin pun tidak ada yang secara tegas dan jelas menerangkannya.
2. Ijtihad para sahabat dalam mengumpulkan al-Quran dalam satu mushaf.
3. Pada waktu Umar menjadi khalifah, beliau merasa perlu membentuk dewan-dewan dalam pemerintahannya; mencetak uang sebagai alat tukar dalam perdagangan; membentuk pasukan tentara yang tetap untuk membela agama Islam dan kaum muslim.
Macam-macam Ijtihad
Dr. Dawalibi yang dikutip oleh Rachmat Syafei membagi ijtihad kepada tiga bagian, yaitu:
1. Ijtihad al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hokum-hukum syara’ dari nash.
2. Ijtihad al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadpa permasalahan yang tidak terdpat dalam al-Quran dan Sunnah dengan menggunakan metode qiyas.
3. Ijtihad al-Istishlah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Quran dan Sunnah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.

Muhammad Abu Zahrah membagi ijtihad dari segi bentuk karya ijtihadnya kepada dua bagian:
1. Ijtihad Istimbathi, yaitu kegiatan ijtihad yang berusaha menggali dan menemukan hukum dari dalil-dalil yang telah ditentukan. Ini disebut juga ijtihad paripurna dan secara khusus berlaku dikalangan sekelompok ulama yang berfungsi mencari hukum furu’ yang amaliah dari dalilnya yang terinci.
2. Ijtihad tathbiqi, yaitu kegiatan ijtihad yang bukan untuk menemukan dan menghasilkan hukum, tetapi menerapkan hukum hasil temuan imam mujtahid terdahulu kepada kejadian yang muncul kemudian. Masalah hukum dalam kejadian yang muncul kemudian tersebut ditetapkan hukumnya dengan menghubungkannya kepada hukum yang telah ditetapkan imam terdahulu. Dalam hal ini tidak menghasilkan hukum yang baru atau orisinil serta tidak menggunakan dalil syara’ yang mu’tabar sebagai bahan rujukan, tetapi hanya merujuk kepada hukum-hukum yang telah ditemukan mujtahid terdahulu.
Menurut Ibnu Subki, ijtihad tatbiqi (yang menerapkan hasil ijtihad mujtahid terdahulu) di atas, terbagi kepada dua:
a. Takhrij al-Ahkam, yaitu menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang baru dengan cara menghubungkannya kepada hukum yang pernah ditetapkan oleh imam mujtahid terdahulu. Dengan adanya usaha takhrij, maka hukum hasil temuan seorang imam mujtahid menjadi berkembang di tangan para pengikutnya yang juga melakukan ijtihad. Generasi berikutnya yang menemukan hukum dalam satu masalah, maka menjadi bervariasi, sehingga kadang-kadang menimbulkan keraguan di kalangan pengikutnya mengenai pendapat mana yang secara praktis patut diikuti.
b. Tarjih, yaitu usaha untuk menemukan kejelasan sebagai pegangan di kemudian hari bagi para pengikut seorang imam mujtahid dengan memilih dan memilah mana yang terkuat di antara pendapat yang berkembang di antara berbagai pendapat ulama mujtahid untuk diikuti dan dijalankan.

Syarat-Syarat bagi Mujtahid
Tidak semua manusia mampu melakukan ijtihad untuk menetapkan suatu hokum yang sesuai dengan ketentuan syara’, tentunya memiliki syarat-syarat tertentu untuk melakukan ijtihad. Secara umum syarat-syarat tersebut adalah:
1. Menguasai bahasa Arab dan ilmu yang berkaitan dengannya.
2. Mengetahui Nasikh dan Mansukh
3. Mengerti Sunnah Rasul Saw
4. Mengerti letak ijma’ dan khilaf
5. Mengetahui qiyas
6. Mengetahui maksud-maksud hukum

Hukum melakukan Ijtihad
Menurut para ulama, bagi seseorang yang sudah memenuhi persyaratan ijtihad di atas, ada empat hokum yang bias dikenakan pada orang tersebut berkenaan dengan ijtihad, yaitu:
1. Fardhu ‘ain, berijtihad apabila ada permasalah yang menimpa dirinya, dan harus mengamalkan hasi dari ijtihadnya dan tidak boleh taqlid kepada orang.
2. Fardhu Kifayah apabil permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada orang lain selain dirinya yang sama-sama memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid.
3. Sunnah apabila berijtihad terhadap permasalahan baru baik ditanya maupun tidak.
4. Haram apabila berijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara qath’i, sehingga hasil ijtihadnya itu bertentangan dengan dalil syara’.

TAQLID
Kata taqlid memiliki kata qaladah yang artinya adalah kalung. Menurut asalnya, qaladah itu digunakan untuk sesuatu yang diletakkan membelit leher seekor hewan; dan hewan yang dikalungi itu mengikuti sepenuhnya kemana saja kalung itu ditarik orang. Jika yang dijadikan ‘kalung’ itu adalah ‘pendapat’ atau perkataan’ seseorang, maka berarti orang yang dikalungi itu akan mengikuti ‘pendapat’ orang itu tanpa mempertanyakan lagi kenapa pendapat orang tersebut demikian.
Secara istilah, banyak ulama yang memberikan definisi tentang taqlid sebagai berikut:
1. Al-Ghazali memberikan definisi sebagai berikut:
قبول قول بلا حجة
“Menerima ucapan tanpa hujjah”
2. Ibnu Subki,
التقليد هو أخذ القول من غير معرفة دليل
“Taqlid ialah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil.”
3. Al-Asnawi,
التقليد هو الأخذ بقول غيره من غير دليل
“Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil”

Dari penjelasan dan analisis tentang definisi-definisi di atas, dapat dirumuskan hakikat taqlid, yaitu:
1. Taqlid itu adalah beramal dengan mengikuti ucapan atau pendapat orang lain.
2. Pendapat atau ucapan orang lain yang diikuti itu tidak bernilai hujjah.
3. Orang yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui sebab-sebab atau dalil-dalil dan hujjah dari pendapat yang diikutinya itu.
Adapun hukum bertaqlid adalah dilarang didasarkan kepada firman Allah Swt:
وإذا قيل لهم اتبعوا ما أنزل الله قالوا بل نتبع ما وجدنا عليه أياتنا
“Bila dikatakan kepada mereka ikutilah apa-apa yang telah diturunkan Allah mereka berkata: bahkan kami mengikuti apa-apa yang kami temukan bapak-bapak kami melakukannya.” (QS. Luqman:21).

Kebolehan bertaqlid tergantung pada peringkat dalam pengelompokan tersebut. Orang yang telah sampai ke tingkat mampu berijtihad tetapi baru sampai tingkat zhan disamakan kedudukannya dengan mujtahid penuh oleh Ibnu Subki. Kelompok orang dalam peringkat ini dalam melakukan taqlid dipisahkan lagi oleh al-Razi pada dua keadaan:
1. Ia bertaqlid kepada mujtahid lain dalam masalah yang sama yang hasil ijtihadnya berbeda dengan hasil ijtihadnya sendiri.
2. Dalam masalah yang ia taqlidi, ia belum pernah melakukan ijtihad.
Dalam hal pertama al-Razi mengemukakan ijma’ ulama yang menetapkan tidak bolehnya mujtahid bertaqlid kepada mujtahid yang lain. Alasannya bahwa dengan bertaqlid itu ia akan mengikuti dan beramal dengan sesuatu yang bertentangan dengan pendapatnya sendiri. Hal ini adalah suatu tindakan yang salah, karena ia beramal dengan sesuatu yang menyalahi keyakinannya sendiri.

ITTIBA’
Ittiba’ adalah mengikuti pendapat orang lain dengan mengemukakan argumentasi-argumentasi dari pendapat orang yang diikuti. Dalil yang berkenaan dengan ittiba’ adalah firman Allah Swt:

وإذا قيل لهم اتبعوا ما أنزل الله قالوا بل نتبع ما ألفينا عليه أباءنا أولو كان أباؤهم لايعقلون ولا هم يهتدون

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah.” Mereka menjawab: “Tidak, kami hanya mengikuti apa yang kami peroleh dari nenek moyang kami.” Apakah mereka akan mengikuti juga sekalipun nenek moyang mereka tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapat petunjuk?” (QS. Al-Baqarah:170)

Berhubungan dengan perintah untuk ittiba’ ini para Imam Mujtahid berpesan agar tidak mengikuti pendapat mereka tanpa mengadakan penelitian lebih lanjut. Pengertian Taqlid Taqlid ialah mengikuti mengetahui sumber dan cara pengambilannya.

TALFIQ
Talfiq berasal dari kata lafaqa yang artinya mempertemukan menjadi satu.
Dalam literatur ushul fiqh sulit ditemukan pembahasan secara jelas tentang definisi talfiq. Namun hampir semua literatura menyinggung masalah ini dalam pembahasan tentang beralihnya orang yang minta fatwa kepada imam mujtahid lain dalam masalah yang lain. Perpindahan madzhab ini mereka namakan talfiq dalam arti: ‘beramal dalam urusan agama dengan berpedoman kepada petunjuk beberapa madzhab’.

Talfiq adalah mengambil pendapat dari seorang mujtahid lain, baik dalam masalah yang sama maupun berbeda. Sebagai contoh mengambil pendapat dari dua orang mujtahid dalam masalah yang sama seperti seseorang mengerjakan sembahyang dengan membaca basmalah sewaktu membaca al-Fatihah karena mengambil dari pendapat Imam Syafi’i. Kemudian pada saat lain ia sembahyang dengan tidak membaca basmalah karena mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah.

Ada pula yang memahami talfiq itu dalam lingkup yang lebih sempit, yaitu dalam satu masalah tertentu. Umpamanya talfiq dalam masalah persyaratan sahnya nikah, yaitu dengan cara: mengenai persyaratan wali nikah mengikuti satu madzhab tertentu, sedangkan mengenai persyaratan penyebutan mahar mengikuti madzhab yang lain.

Para ulama memperbincangkan masalah hukum talfiq tersebut. Tentunya masalah ini tidak menjadi bahan perbincangan bagi kalangan ulama yang tidak mengharuskan seseorang untuk mengikatkan dirinya kepada satu madzhab, atau kepada seorang mujtahid (mufti) tertentu. Demikian juga bagi kalangan ulama yang mengharuskan bermadzhab dan tidak boleh berpindah madzhab. Mereka merasa tidak perlu memperbincangkan masalah ini karena talfiq itu sendiri pada hakikatnya adalah pindah madzhab. Bagi kedua kalangan ulama tersebut, talfiq sudah jelas hukumnya. Karena itu, perbincangan tentang talfiq itu muncul di kalangan ulama yang membolehkan berpindah madzhab dalam masalah tertentu.

Sebagian ulama menolak talfiq dengan tujuan untuk mencari-cari kemudahan atau tattabi’ al-rakhas. Kemudian Ibnu Subki menukilkan pendapat Abu Ishaq al-Marwazi yang beda dengan itu (yaitu membolehkan) kemudian diluruskan pengertiannya oleh al-Mahalli yang menyatakan fasik melakukannya; sedangkan Ibnu Abu Hurairah menyatakan tidak fasik.

Jika pendapat di atas kita bandingkan dengan pandangan al-Razi dalam kitab al-Maushul dan syarahnya yang mengutip persyaratan yang dikemukakan al-Royani dan komentar Ibn ‘Abad al-Salam, dapat disimpulkan bahwa boleh tidaknya talfiq tergantung kepada motivasi dalam melakukan talfiq tersebut. Motivasi ini diukur dengan kemaslahatan yang bersifat umum. Kalau motivasinya adalah negatif, dengan arti mempermainkan agama atau mempermudah-mudah agama, maka hukumnya tidak boleh. Umpamanya seorang laki-laki menikahi seorang perempuan tanpa wali, tanpa saksi dan tanpa menyebutkan mahar, padahal untuk memenuhi ketiga syarat itu tidak susah. Maka jelas bahwa orang tersebut menganggap enteng ajaran agama dan mempermainkan hukum syara’.

Bila talfiq dilakukan dengan motivasi maslahat yaitu menghindarkan kesulitan dalam beragama talfiq dapat dilakukan. Inilah yang dimaksud al-Razi dengan ucapan, ‘terbuka hatinya waktu mengikuti madzhab yang lain itu’ dalam memahami tattabiu’ al-rakhas yang harus dihindarkan dalam bertalfiq.
Bila talfiq dilakukan oleh suatu negara dalam pembentukan suatu peraturan yang akan dijalankan umat Islam, maka tidak ada alasan untuk menolaknya karena suatu negara dalam berbuat untuk umatnya berdasarkan pada kemaslahatan umum. Untuk tindakan berhati-hati dalam melakukan talfiq adalah relevan untuk mengikuti persyaratan yang dikemukakan al-Alai yang diikuti oleh al-Tahrir adalah sebagai berikut;
1. Pendapat yang dikemukakan oleh madzhab lain itu dinilainya lebih bersikap hati-hati dalam menjalankan agama.
2. Dalil dari pendapat yang dikemukakan madzhab itu dinilainya kuat dan rajih. 6



TARJIH
Tarjih adalah usaha memilih dalil yang terkuat atau menjadikan sesuatu lebih kuat atau mempunyai kelebihan daripada yang lain. sedang ulama Hanafiyah membuat batasan tarjih ialah menyatakan salah satu dari dua dalil yang sama dengan suatu sifat yang menjadikan lebih utama dilihat dari yang lain.
Syarat-syarat tarjih terdiri dari dua macam. Yaitu:
1. Adanya persamaan antara dua dalil tersebut tentang ketsubutannya (status ketetapan dalilnya).
2. Adanya persamaan dalam kekuatannya.
Adapun jalan untuk mentarjih dua dalil yang tampaknya berlawanan itu adakalanya dengan:
Meneliti keadaan sanadnya
Tarjih dari segi sagi sanad dapat berupa:
Mendahulukan nash (Hadits) yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih tsiqah (terpercaya) daripada perawi yang kurang tsiqah.
Mendahulukan periwayatan orang yang menerima Hadits atau mengetahui peristiwa secara langsung daripada orang yang menerimanya tidak langsung.
Mendahulukan periwayatan orang yang banyak bergaul dengan nabi daripada orang yang tidak banyak bergaul.
Mendahulukan periwayatan orang yang masih kuat hafalannya daripada orang yang sudah rusak hafalannya lantaran lanjut usia.
Mendahulukan periwayatan sahabat besar daripada sahabat kecil.
Mendahulukan Hadits yang ditakhrijkan oleh Bukhari dan Muslim daripada yang ditakhrijkan oleh selainnya.
Mendahulukan Hadits yang banyak diriwayatkan orang orang.

Meneliti keadaan matannya.
Tarjih dari segi matan antara lain mentarjih dalil yang lebih jelas atau kuat dalalahnya daripada yang kurang kuat. Seperti mendahulukan lafazh haqiqat daripada lafazh majaz, lafazh sharih daripada lafazh kinayah, lafazh muhkam daripada lafazh mufassar, lafazh mufassar daripada lafazh nash, lafazh nash daripada lafazh zhahir dan lafazh khafi daripada lafazh musykil. Dari segi kuatnya dalalah isyarat, dalalah isyarat daripada dalalatud-dalalah, dan dalalatud dalalah lebih kuat daripada dalalatul iqtidha.

Hukum Ittiba’, Taqlid, Talfiq dan Tarjih
Hukum Taqlid, Taqlid tidak diperbolehkan bagi mereka yang sudah memiliki kemampuan untuk berijtihad atau melakukan penelitian terhadap pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para mujtahid.

Sedangkan bagi mereka yang belum mengerti (orang awam) diperboleh taqlid kepada pendapat yang dikemukan oleh para mujtahid.

Ulama Jumhur mengklasifikasi hukum talfiq kepada dua macam, yakni:

Talfiq yang diperbolehkan, yakni mengambil yang teringan di antara pendapat-pendapat para mujtahid (madzhab) dalam beberapa masalah yang berbeda-beda. Misalnya seorang berwudhu tanpa niat menurut Imam Abu Hanifah sah, sebab wudhu itu termasuk ibadah yang ma’qul ma’na, karenanya niat bukan menjadi syarat sahnya. Kemudian dia shalat qashar sewaktu dalam perjalanan baik jauh maupun dekat menurut ahli Zhahir boleh sekalipun jaraknya dekat. Yang demikian itu boleh, karena ia mengambil keringanan bukan pada satu masalah melainkan pada dua masalah yang berbeda. Talfiq yang tidak diperbolehkan. Yaitu mengambil yang teringan dari pendapat-pendapat para Mujtahid dalam satu masalah. Misalnya seorang mengadakan akad nikah tanpa menggunakan wali menurut madzhab Abu Hanifah dan tanpa memakai dua orang saksi menurut madzhab Imam Malik. Akad nikah yang mereka lakukan adalah fasid (batal) dari dua jurusan. Ia tidak boleh beralaskan bahwa agama itu mudah tidak menyulitkan.

QAIDAH USHULIYAH DAN QAIDAH FIQHIYAH
Pengertian
Secara etimologi, qaidah adalah asas (dasar), yaitu yang menjadi dasar berdirinya sesuatu. Bisa juga diartikan sebagai dasar sesuatu dan pondasinya (pokoknya). Sedangkan secara istilah, para ulama ushul memberikan beberapa definisi:

قضيّة كلّية منطبق على جميع جزئيّاتها

“Ketentuan universal yang bersesuaian dengan bagian-bagiannya (juz-juznya).”

قضيّة كليّة يتعرّف منها أحكام جزئيّاتها

“Ketentuan pernyataan universal yang memberikan pengetahuan tentang berbagai hukum dan bagian-bagiannya.”

القضايا الكلّية التى يعرّف بالنظر فيها قضايا جزئية

“Ketentuan universal yang bisa menemukan bagian-bagiannya melalui penalaran.”

الأمر الكليّ الذي ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم أحكامها منها

“Ketentuan universal yang bisa bersesuaian dengan bagian-bagiannya serta bisa dipahami hukumnya dari perkara tersebut.”

Qaidah ushuliyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyah pada umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafazh atau kebahasaan. Sedangkan qaidah fiqhiyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Perbedaan mendasar dari qaidah ushuliyah dan qaidah fiqhiyah adalah qaidah ushuliyah berkaitan dengan hukum dan aspek bahasa sedangkan qaidah fiqhiyah berkaitan dengan perbuatan mukallaf.

Contoh- Contoh kaidah Ushuliyah
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Yang dipandang dasar (titik tolak) adalah petunjuk umum dasar lafazh bukan sebab khusus.

Maksudnya adalah dalam menggali suatu hukum yang dipandang dasar adalah petunjuk dasar lafazh bukan sebab khusus. Seperti kasus ahli waris laki-laki dua bagian perempuan secara lafazh berdasarkan firman Allah. Lidzakari mitslu hadzil untsayain. Bukan dipandang dari latar belakang ayat ini. Yaitu latar belakang tersebut karena pada pra-Islam, wanita sama sekali tidak mendapat warisan. Oleh karena itu Islam datang dengan memberinya satu bagian dan bagi seorang laki-laki dua bagian.

اذا اجتمع المقتضى والمانع قدم المانع
“Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka didahulukan dalil yang melarang”.

Maksudnya adalah jika seseorang ragu terhadap hukum sesuatu, apakah ini diharamkan atau dibolehkan, maka yang dipilih adalah yang diharamkan, sehingga harus ditinggalkan dan tidak diperbuat.

لا عبرة للدلالة فى مقابلة التصريح
“Makna mplicit tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit”

maksudnya adalah mafhum tidak boleh bertentangan dengan manthuq, makna tersirat tidak boleh bertentangan dengan makna tersurat.

النكرة فى مقام النفي تفيد العموم
“Lafazh nakirah dalam kalimat negatif (nafyi) mengandung pengertian umum”.

Maksudnya adalah la linafyil jinsi. Seperti la ilaha illa Allah” tidak ada tuhan manapun yang layak disembah kecuali Allah SWT.

الامر يفيد الوجوب
“petunjuk perintah (amr) menunjukkan wajib”

maksudnya adalah setiap fi’il amer menunjukan kewajiban.

لا مساغ للإجتهاد فى مورود النصّ
“Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya”.

Maksudnya adalah tidak dibolehkan berijtihada terhadap nash yang memang sudah dijelasan dalam nash.

المطلق يحمل بالمقيّد
“Dalalah lafazh muthlaq dibawa pada dalalah lafazh muqayyad”.

Dibahas pada masalah muthlaq dan muqayyad.

الأمر بالشيء نهي عن ضدّه
“Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya.”

Maksudnya adalah perintah untuk shalat berarti larangan untuk meninggalkan shalat.

Contoh-Contoh Kaidah Fiqhiyah
Qaidah Fiqhiyah terdiri dari qaidah asas dan far’u, setiap qaidah asas memiliki qaidah far’u, qaidah asas terdiri dari lima kaidah pokok.

Qaidah Pertama:
الأمور بمقاصدها
“Setiap pekerjaan itu bergantung pada maksudnya”

Maksud dari qaidah ini adalah setiap perkara bergantung pada tujuan, motif dan niatnya, dengan kata lain, niat, motif dan tujuan terkandung dalam hati seseorang sewaktu melakukan suatu perbuatan menjadi riteria yang menentukan nilai dan status hukum ama yang ia lakukan.
Qaidah ini didasarkan kepada firman Allah Swt:

وما امروا الا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء
“Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus.”

Rasulullah pun bersabda:

إنما الإعمال بالنيات وانما لكلّ امرئ ما نوى
“Sesungguhnya segala amal bergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya bagi seseorang hanyalah apa yang ia niati”.

Adapun cabang-cabang dari kaidah ini adalah:

مالا يشترط التعرّض له جملة وتفصيلا إذا عيّنه وأخطأ لم يضرّ
“Sesuatu amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara rinci atau global, bila dipastikan dan ternyata salah, maka kesalahannya tidak membahayakan (tidak membatalkan).

Seperti pada kasus ketika seseorang salah mengucapkan jumlah rakaat dalam niat shalat, seperti maghrib niat 4 rakaat.

وما يشترط فيه التعرّض فالخطأ فيه مبطل
“Suatu amal yang disyaratkan penjelasannya, maka kesalahannya membatalkan perbuatan tersebut”.

Atau

وما يجب التعرّض له جملة ولا يشترط تعيينه تفصيلا إذا عيّنه فأخطأ ضرّ
“Sesuatu amal yang harus dijelaskan secara global dan tidak disyaratkan secara terperinci, karena apabila disebutkan secara terperinci dan ternyata salah maka kesalahannya membahayakan/membatalkan.”

Maksud dari kedua kaidah ini adalah ketika seseorang salah dalam niat shalat maghrib dengan menyebut shalat isya, maka kesalahannya itu membatalkannya.

Qaidah Kedua,

اليقين لا يزال بالشكّ
“Keyakinan tidak hilang dengan keraguan”

Maksud dari qaidah tersebut adalah keyakinan itu tidak bisa hilang dengan keraguan. Qaidah ini, kalau diteliti secara seksama erat kaitannya dengan masalah aqidah dan persoalan-persoalan dalil hukum dalam syari’at Islam.

Namun demikian, suatu yang diyakini keberadaannya tidak bisa hilang, kecuali berdasarkan dalil rgument yang pasti (qath’i), bukan semata-mata oleh rgument yang hanya bernilai saksi/tidak qath’i.
Qaidah ini bersumber dari firman Allah Swt:

وما يتبع اكثرهم الا ظناّ إنّ الظنّ لا يغنى من الحقّ شيئا
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS. Yunus:36).


Rasulullah Saw bersabda:

إذا وجد احدكم فى بطنه شيئا وأشكل عليه أخرج منه شيئ ام لا فلا يخرج من المسجد حتىّ يسمع صوتا او يحج ريحا
“Apabila seseorang di antara kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya kemudian sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka janganlah keluar masjid sehingga mendapatkan baunya. (HR. Muslim).

Qaidah-Qaidah Cabang
الأصل بقاء ما كان على ما كان
“Asal itu tetap sebagaimana semula, bagaimanapun keberadaannya”


الأصل براءة الذمة
“Asal itu bebas dari tanggungan”

الأصل العدم
“Asal itu tidak ada”

Maksud dari kaidah tersebut adalah pada asalnya, sesuatu itu belum terjadi, tidak ada. Seperti pada kasus, seseorang apakah sudah shalat atau belum, maka kembali kepada kaidah ini adalah dia belum shalat, atau seorang ragu wudhunya sudah batal atau belum, maka berdasar kaidah ini wudhunya belum batal.

الأصل فى كلّ حديث تقدّره بأقرب الزمان
“Asal dalam setiap kejadian, dilihat dari waktunya yang terdekat”.

Maksud dari kaidah ini adalah seperti pada kasus seorang yang ragu apakah sudah tiga rakat atau dua rakaat, maka berdasar kaidah ini diambil yang dua rakaat.

Qaidah Ketiga,
المشقّة تجلب التيسير
“Suatu kesusahan mengharuskan adanya kemudahan”.

Maksud dari kaidah ini adalah suatu kesusahan mengharuskan adanya kemudahan. Maksudnya, suatu hukum yang mengandung kesusahan dalam pelaksanaannya, baik kepada badan, jiwa ataupun harta seorang mukallaf, diringankan sehingga tidak memadaratkan lagi. Keringanan tersebut dalam Islam dikenal dengan rukhsah.
Qaidah ini didasarkan kepada firman Allah Swt:

يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر
“Allah SWT, menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah:185).

وما جعل لكم فى الدين من حرج
“Dan Dia tidak menjadikan untukmu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj:78).

Dalam sabda Rasulullah sabda:

الدين يسر أحبّ الدين الى الله الحنيفيّة السمحة
“Agama itu memudahkan, agama yang disenangi oleh Allah SWT adalah agama yang benar dan mudah.” (HR. Bukhari).

Qaidah-Qaidah Cabang.

إذا ضاق الأمر إتسع وإذا اتسع الأمر ضاق
“Apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas, sebaliknya jika suatu perkara itu luas, maka hukumnya menjadi sempit”

maksud dari kaidah ini adalah pada umumnya suatu perkara yang sempit dalam arti sulit, maka hukumnya menjadi luas, seperti orang yang berpuasa dalam keadaan susah maka hukum puasa itu menjadi luas, ia boleh untuk tidak berpuasa, dan menggantikan puasa di hari lain. Juga jika perkara itu luas, hukumnya menjadi terbatas. Seperti pada kasus ibadah haji yang termasuk perkara yang luas karena dapat dilaksanakan pada tahun-tahun yang dikehendaki, tetapi hukumnya menjadi sempit dan terbatas hanya untuk orang-orang yang mampu.

كلّ ما تجاوز حدّه انعكس الى ضدّه
“Semua yang melampaui batas, maka hukumnya berbalik kepada kebalikannya.”

Seperti dibolehkan makan, tetapi jika berlebihan maka makan menjadi tidak dibolehkan.

الرخص لا تناط بالمعاصى

“Rukhsah itu tidak dapat disangkutpautkan dengan kemaksiatan.”

Maksudnya adalah rukhsah tidak bisa dilakukan dalam hal kemaksiatan, seperti tidak dibolehkan jamak atau qashar pada perjalanan yang mengandung kemaksiatan.

Kaidah keempat

الضرر يزال
Kemudharatan dapat dihilangkan

Maksud dari kaidah ini adalah suatu kerusakan atau kemafsadatan itu dihilangkan. Artinya kerusakan tidak dibolehkan dalam Islam.
Qaidah ini didasarkan kepada firman Allah Swt:

ولا تمسكوهنّ ضرارا لتعتدوا
“Janganlah kamu rujuk mereka untuk memadaratkan.”

Rasulullah Saw bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Malik

لا ضرر ولا ضرار من ضرّ ضرّه الله ومن شقّ شقّ الله عليه (رواه الامام مالك)
“Tidak boleh memadaratkan dan dimadaratkan, barang siapa yang memadaratkan maka Allah Swt akan memadaratkannya, dan siapa saja yang menyusahkan, maka Allah akan menyusahkannya.”

من حسن المرء اسلام المرء تركه مالا يعنيه
“Diantara kebaikan seorang muslim adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat.”

Qaidah-Qaidah Cabang

الضرورة تبيح المحظورات
“Kemadharatan membolehkan yang madarat (dilarang).”

Maksud dari kaidah ini adalah, dikarenakan madharat, sesuatu yang dilarang menjadi dibolehkan. Seperti darah karena madharat dapat dibolehkan.

ما ابيح للضرورة يقدّر بقدرها
“Sesuatu yang dibolehkan karena madarat diperkirakan sewajarnya atau menurut batasan ukuran kebutuhan minimal.”

Maksudnya adalah, sesuatu yang dibolehkan karena madharat itu dibolehkan sekedarnya, tidak boleh berlebih-lebihan.

الضرر لا يزال بالضرر
“Kemadharatan tidak bisa hilang dengan kemadaratan lain.”

Maksudnya adalah madharat tidak bisa hilang dengan kemadharatan lain. Seperti pada kasus madharat karena tidak dapat makan dan minum, lalu ia hilangkan kemadharatan itu dengan membunuh dirinya sendiri.

درء المفاسد مقدّم على جلب المصالح
“Menolak kemafsadatan didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.”

Seperti pada kasus, seseoarang yang ingin mengambil manfaat dari suatu lahan, tetapi akan terjadi kerusakan alam sekitarnya, maka manfaat tersebut tidak perlu diambil dengan mendahulukan kerusakan alam.

Qaidah Kelima

العادة محكة
“Suatu adat dapat dijadikan hukum”

artinya suatu kebiasaan dapat dijadikan patokan hukum. Kebiasaan dalam istilah hukum sering disebut sebagai urf atau adat. Meskipun banyak ulama yang membedakan diantara keduanya. Namun, menurut kesepakatan jumhur ulama, suatu adat atau ‘urf bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut:
1. tidak bertentangan dengan syari’at
2. tidak menyebabkan kemafsadatan dan menghilangkan kemaslahatan
3. telah berlaku pada umumnya orang muslim
4. telah berlaku pada umumnya orang muslim;
5. tidak berlaku dalam ibadah mahdhah.
6. Urf tersebut sudah memasyarakat.

Qaidah ini bersumber dari firman Allah SWT:

وما جعل عليكم فى الدين من حرج
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj:78).
Dan Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Al-Bajjar, dan Ibnu Mas’ud:

ما رأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رأه المسلمون سيّئا فهو عند الله سيّئ (رواه أحمد والبزار والطبرانى فى الكبير عن ابن مسعود)

“Apa yang dipandang baik oleh orang Islam, maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang baik, dan apa yang dipandang buruk oleh orang Islam, maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk.”

Cabang-Cabang Qaidah

لا ينكر تغيير الأحكام بتغيير الأزمنة والأمكنة
“Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat”.

المعروف عرفا كالمشروط شرطا
“Yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.”
الثابت بالمعروف كالثابت بالنص
“Yang ditetapkan melalui urf sma dengan yang ditetapkan melalui nash.”

Contoh contoh dari qaidah-qaidah tersebut adalah menjual buah di pohon adalah tidak boleh menurut qiyas karena tidak jelas jumlahnya, tapi karena sudah menjadi kebiasaan (adat) maka ulama membolehkannya.

Mereka yang mengajarkan al-Quran dibolehkan menerima gaji, hal itu antara lain agar al-Quran tetap eksis di kalangan umat Islam. Dan adat-istiadat lainnya yang berkembang di masyarakat.

Contoh lain, menurut kebiasaan yang berlaku yang disuguhkan kepada tamu, boleh dimakan tanpa membayar. Tetapi jika ada ketentuan lain, hendaknya ada keterangan lebih dahulu baik dengan menyodorkannya daftar harga maupun dengan pengumuman.

Atau kasus lain, seorang minta tolong kepada seorang makelar untuk menjualkan kendaraan bermotornya tanpa menyebutkan upahnya. Jika telah laku maka orang yang menyuruh menjualkan barangnya harus memberikan komisi kepada makelar yang menjualkannya menurut kebiasaan yang berlaku, yaitu 2 % dari harga penjualannya. Kecuali ada perundingan yang lain.


DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khalaf, Ushul al-Fiqh, Dar al-Qalam, Cairo, 1978
Abu Ishaq Ibrahim al-Khami, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Juz 1-4, Dar al-Fikr.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Jakarta:Kencana, 2008.
Hasbi al-Shidiqi, Filsafat Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1990
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Penerjemah Saefullah Ma’shum, dkk, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994
Mukhtar Yahya Dkk Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung:Al-Ma’aarif, 1986
Muhlish Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar dalam istimbath hukum Islam, Jakarta: RajaGrafindo, 1996.
Tajuddin Ibn al-Subki, Jam’ul Jawami’, Musthafa al-Babi al-Halabi, Mesir, 1937.


H. HASBIYALLAH, MAg




ILMU FIQH/USHUL FIQH

1 komentar:

  1. alhamdulillah enyampaian materi dg menggunakan it efektif sekali pak.
    mdah mudahan saya mendapatan ilmu yang bermanfaat.

    BalasHapus