Kamis, 23 September 2010

materi Fiqh

PENDIDIKAN FIQH









PENULIS :
H. HASBIYALLAH, M. Ag



























FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
BANDUNG
2010









PENDIDIKAN FIQH

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah atas segala nikmat yang Allah Swt berikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan modul (buku bahan ajar) ini, shalawat serta salam juga tak lupa penulis sampaikan kepada Baginda Rasulullah Saw, keluarga dan para sahabat dan pengikut beliau yang setia sampai akhir jaman.

Pendidikan Fiqh MI adalah upaya untuk memberikan pengetahuan kepada guru dan calon guru Fiqh MI seputar Fiqh dan permasalahannya agar memahami bahan ajar tersebut dan memahami pula bagaimana cara mengajarkannya kepada peserta didik.

Dengan penuh harap kepada Allah SWT semoga memberikan kemudahan kepada kita dalam menempuh dan mengamalkan ajaran-ajaran yang telah dibawa oleh Rasul-Nya. Amin ya Rabbal ‘alamin.

Penulis,





H. Hasbiyallah, M. Ag







PENDIDIKAN FIQH
H. Hasbiyallah, M.Ag



OUTLINE
KATA PENGANTAR 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 3
B. Deskripsi Singkat 4
C. Relevansi/Manfaat 5
Pendidikan Thaharah 6
Pendidikan Shalat 31
Pendidikan Puasa 62
Pendidikan Zakat 85
Pendidikan Haji 98
Pendidikan Makanan dan Minuman 108
Pendidikan Qurban dan Aqiqah 115
Pendidikan Jual Beli dan Riba 129
Pembelajaran Efektif dan E-Learning 138
Pembelajaran Fiqh 141
Penelitian Tindakan Kelas Fiqh 150
Model Pembelajaran Efektif 154
Contoh RPP Fiqh 159
Daftar Pustaka 165
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqh merupakan bagian dari bahan ajar atau bidang studi bagi siswa di Madrasah. Materinya mencakup ibadah dan muamalah yang diliputi dengan berbagai perselisihan pendapat para ulama. Oleh karena itu dibutuhkan seorang guru yang handal dan profesional dalam menyikapi berbagai pendapat tersebut.

Bahan ajar Fiqh MI ini memuat materi-materi bahan ajar fiqh sebagai pegangan bagi guru-guru ataupun calon guru dalam memahami segala aspek-aspek seputar ibadah seperti thaharah dan permasalahannya, shalat dan permasalahannya, puasa dan haji disertai permasalahan-permasalahan yang berkembang di Indonesia. Hal ini perlu dipahami oleh mahasiswa sebagai calon guru fiqh tentang berbagai pendapat ulama seputar ibadah yang berkembang di Indonesia. Sehingga terhindar dari sifat taklid buta terhadap pendapat salah satu madzhab. Oleh karena itu, bahan ajar ini dapat dijadikan rujukan oleh mahasiswa ataupun guru fiqh dalam memahami fiqh ibadah secara komprehensif.

Selain itu, bahan ajar ini juga diberikan tatacara bagaimana mengajarkan mata pelajaran fiqh ini sehingga memudahkan para siswa memahami apa yang disampaikan oleh seorang guru dan bagaimana pembelajaran fiqh ini menjadi menarik diajarkan kepada para siswa.

Demikianlah latar belakang buku ini, semoga kita semua dapat meraih manfaat dari bahan ajar ini. Hanya pengharapan kepada Allah-lah yang akan mencapaikan segala keinginan kita semua menjadi khaira ummat.


B. Deskripsi Singkat
Fiqh secara bahasa adalah pemahaman, karena itu, banyak dipahami berbeda-beda oleh para ulama. Di Indonesia kita mengenal empat madzhab yakni Hanafiyah, Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, juga berkembanga madzhab lain seperti Madzhab Wahabi dan lain sebagainya. Meskipun demikian, perbedaan antara para ulama itu pada seputar masalah-masalah furu’iyah (cabang) agama, bukan pada masalah-masalah ushuliyah (pokok). Sehingga perbedaan tersebut dapat dibenarkan tergantung logika pemikiran para ulama juga dilatarbelakangi oleh masyarakat tempat mereka berpendapat, contohnya adalah imam Syafi’i memiliki pendapat qaul qadim dan qaul jadid.

Buku ini juga memaparkan perbandingan pendapat para ulama madzhab yang tidak perlu untuk diperselisihkan, contohnya perbedaan mereka tentang hadits/sabda Rasululullah Saw sebagai berikut:
“Sesungguhnya wudhu tidak wajib (wudhu lagi) kecuali bagi yang tidur terlentang (mudhthaji’)”. (HR. Bukhari)
Hadits ini dipahami berbeda-beda oleh ulama empat madzhab. Menurut Syafi’iyah misalnya bahwa tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang terlentang, karena makna mudhtaji’ itu sendiri adalah terlentang. Menurut Hanafiyah bahwa tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur dalam tiga kondisi, pertama terlentang, kedua duduk bersandar dan ketiga duduk kepala diatas lutut. Karena ketiga kondisi ini dikategorikan sebagai mudhtaji’ (terlentang). Pendapat yang berbeda pula diungkap oleh Malikiyah bahwa tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang berkualitas, tidak memandang kondisi tidurnya. Jika tidur dalam keadaan duduk tetapi berkualitas tidurnya, maka membatalkan wudhunya. Sebaliknya jika tidur berbaring tetapi tidak berkualitas tidak membatalkan wudhu. Sedangkan Hanabilah berpendapata yang berbeda pula bahwa tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur dari segi kwantitas. Jika tidur sebentar tidak membatalkan wudhu. Tetapi jika tidur duduk dan dalam waktu yang lama akan membatalkan wudhu.

Selain itu, buku ini juga mengungkap strategi dan metodologi bagaimana mengajarkan bahan ajar fiqh sebagai masukan bagi mahasiswa (calon guru) agar mudah dipahami dan menjadi bahan ajar yang menyenangkan dalam proses belajar mengajar. Calon guru Fiqh MI menguasai bahan ajar fiqh dan sekaligus mengetahui bagaimana pembelajaran fiqh dengan penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, metodologi Pembelajaran Fiqh, Prinsip pembelajaran Fiqh dan mampu mengenal baik kepribadian para siswa.

Selain itu, Mata kuliah Fiqh dan Pembelajarannya merupakan matakuliah yang akan membekali mahasiswa calon guru Fiqh MI tentang pengetahuan dan ketrampilan dalam merencanakan proses pembelajaran Fiqh yang efektif di MI. Matakuliah ini akan menguraikan tentang Pokok-pokok umum metode khusus pembelajaran Fiqh, Prinsip-prinsip dan beberapa jenis metode mengajar, pengorganisasian belajar dan beberapa sistem penyampaian dalam pembelajaran Fiqh MI, disamping itu akan diprkatekkan mengenai tehnik mengelola pembelajaran dan mengelola kelas.

C. Relevansi/Manfaat
Bahan ajar ini bermanfaat bagi mahasiswa agar:
1. Menguasai materi fiqh ibadah seputar permasalahan thaharah, shalat, puasa, zakat dan haji dan pembelajarannya.
2. Menguasai seputar permasalahan-permasalahan ibadah yang berkembang di Indonesia disertai dengan dalil yang dijadikan dasar pegangan pendapat ulama madzhab.
3. Menjadi bahan kajian mahasiswa sebagai calon guru agama (fiqh) dalam rangka peningkatan penguasaan materi pembelajaran Fiqh dan Pembelajarannya.
4. Dengan berbekal materi Mata kuliah Pendidikan Fiqh MI diharapkan jika mahasiswa itu sudah menjadi seorang guru, bisa memahami berbagai aspek yang terkait Pendidikan Islam serta mampu mengembangkannya dalam tataran operasional metodologis. Dengan demikian akan mendukung keberhasilan proses belajar mengajar.


BAB I
THAHARAH


Thaharah secara bahasa adalah bersih dari najis dan kotoran baik secara inderawi maupun maknawi . Lawan dari thaharah adalah najasah yaitu sesuatu yang kotor baik secara inderawi maupun maknawi. Secara istilah thaharah menurut ulama Hanafiyah adalah bersih dari hadats dan khubuts (kotoran). Ulama Malikiyah: thaharah adalah sifat hukum yang menjadi keharusan untuk dibolehkannya shalat dengan pakaian dan tempat yang digunakan shalat. Menurut ulama Syafi’iyah bahwa thaharah mencakup dua pengertian. Pertama: melakukan sesuatu yang dibolehkannya shalat, seperti wudhu’, mandi, tayammum dan menghilangkan najis. Kedua, thaharah berarti menghilangkan hadats atau najis seperti tayammum dan mandi-mandi sunat. melakukan sesuatu dalam dua pengertian, baik untuk shalat atau untuk sesuatu aktivitas. Seperti tayammum, mandi sunnah, wudhu, sedangkan menurut Hanabilah, thaharah adalah menghilangkan hadats dan apa yang serupa dengannya serta menghilangkan najis dan apa yang dihukumi najis.

Secara lengkap, Sayid Sabiq mendefinisikan thaharah adalah bersuci dengan air dan secara dan bisa juga dengan tanah seperti tayammum.

Dari pengertian di atas, bahwa ada kesamaan dalam perbedaan pendapat di atas bahwa thaharah dapat dilakukan dengan wudhu, mandi, tayammum dan menghilangkan najis. Tujuan dari wudhu dan mandi adalah menghilangkan atau membersihkan hadats, sedangkan menghilangkan najis adalah menghilangkan khubuts. Hadats terbagi kepada hadats kecil dan hadats besar. Hadats kecil adalah sesuatu yang membatalkan wudhu, seperti keluar sesuatu dari dubur dan kubul. Sedangkan hadats besar adalah suatu perkara yang mewajibkan mandi, seperti setelah memasukan hasyafah ke dalam farji, haid dan nifas. Khubuts adalah najis yang dapat dihilangkan dengan membasuhnya.
Diantara dalil tentang thaharah adalah firman Allah Swt:
انّ الله يحبّ التوابين ويحبّ المطهّرين
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang bersuci.” (QS. Al-Baqarah: 222).

Benda-Benda Khubuts (Najis) dan Macamnya
Khubuts (najis) adalah sesuatu yang kotor atau menjijikan, khubuts ini harus dibersihkan ketika hendak shalat. Adapun benda-benda khubuts adalah:
1.Bangkai, daging babi dan darah
Tiga jenis ini termasuk yang diharamkan oleh Allah Swt untuk dimakan, karena mengandung unsur najis yang harus dibersihkan ketika hendak menunaikan shalat. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt:
“Katakanlah aku tidak jumpai di dalam wahyu yang disampaikan kepadaku makanan yang diharamkan kecuali bangkai, atau darah yang mengalir/memancar, atau daging babi, karena itu adalah najis.” (QS. Al-An’am: 145).

Bangkai meliputi bangkai binatang darat yang memiliki darah mengalir ketika disembelih, bukan bangkai binatang belalang dan bukan bangkai binatang laut. Karena Rasulullah secara tegas bersabda:
هو الطهور ماءه والحلّ ميتته (اخرجه البخارى)
“Dia (air laut) itu suci dan halal bangkainya.” (HR. Bukhari).

Juga termasuk bangkai binatang yang tidak mempunyai dari mengalir seperti semut, lebah dan lain-lain, maka ia adalah suci. Jika ia jatuh ke dalam suatu dan mati di sana, maka tidaklah menyebabkan bernajis.
احلّ لنا ميتتان ودمان : اما الميتتان فالحوت والجراد، واما الدمان فالكبد والطحال (رواه أحمد والشافعى وابن ماجه والبيهقى والدارقطنى).
“Dihalalkan kepada kita dua macam bangkai dan darah, adapun dua bangkai ialah bangkai ikan dan belalang, sedang mengenai darah ialah hati dan limpa.” (HR. Ahmad, Syafi’i, Ibnu Majah, Baihaqi dan Daru Quthni).

Menurut ulama Malikiyah bahwa darah yang masfuh adalah najis tanpa kecuali, sekalipun darah dari ikan, masfuh itu adalah darah yang mengalir dari hewan. Adapun jika darah itu tidak mengalir seperti darah yang sudah menyatu dengan daging itu menjadi suci. Menurut ulama Syafi’iyah bahwa semua darah adalah najis kecuali empat jenis darah. Pertama, susu yang dimakan yang keluar berwarna merah darah. Kedua, mani yang keluar dengan warna merah seperti darah, ketiga, telur yang mungkin keluar dengan warna darah dengan syarat bentuknya tetap seperti telur, dan keempat, darah hewan yang menggumpal dengan syarat hewan tersebut dari jenis hewan yang suci.

2.Anjing dan Babi dan hewan yang dilahirkan dari keduanya.
Adapun dalil najisnya anjing adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Nabi Saw bersabda:
اذا ولخ الكلب فى إناء احدكم فليرقه ثم ليغسله سبع مرات

Terrmasuk benda najis juga adalah suatu yang asalnya suci tetapi karena terkena jilatan atau keringat dari anjing maupun babi.

3.Potongan daging dari anggota badan binatang yang masih hidup
Mengambil sebagian daging dari anggota badan binatang yang masih hidup adalah najis. Hal ini didasarkan kepada hadits dari Abu Waqid al-Laits yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw telah bersabda:
“Sesuatu yang dipotong dari seekor binatang, sedang ia masih hidup maka potongan tersebut adalah bangkai juga.”

4.Muntah, air kencing dan kotoran manusia.
Semua ulama sepakat bahwa muntah, air kencing dan kotoran manusia adalah najis. Kecuali jika muntahnya itu sedikit, maka dimaafkan.
Menurut ulama Hanafiyah bahwa muntah termasuk najis mughalladzah apabila penuh di mulut yang sekiranya tidak mungkin untuk ditahan. Sekalipun sekali keluar dan sekalipun dari mulut seorang bayi yang sedang disusui. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw:
اذا قاء احدكم فى صلاته او قلس فلينصرف وليتوضأ
“Apabila muntah salah seorang diantara kamu dalam keadaan shalat, maka hendaklah keluar dari shalatnya dan berwudhulah.”

Ulama golongan Malikiyah memberikan pengertian tentang muntah, yaitu makanan yang keluar dari perut dan mereka menghukuminya dengan najis, dengan syarat makanan tersebut telah berubah dari keadaan aslinya, berbeda dengan qalas yaitu air yang keluar dari perut karena kepenuhan, mereka menghukuminya dengan tidak najis, kecuali jika bercampur dengan makanan.

Ulama Syafi’iyah menghukumi najis terhadap muntah sekalipun tidak berubah, seperti keluar dalam keadaan aslinya, baik makanan ataupun air, dengan syarat keluarnya dari dalam perut.

Sedangkan ulama Hanabilah mengatakan bahwa qalas dan muntah keduanya adalah najis dengan tanpa memberikan perincian .

Begitu pula diberi keringanan terhadap kencing bayi yang belum diberi makan kecuali air susu ibunya, maka cara membersihkannya cukup dengan memercikkannya dengan air. Berdasarkan sebuah hadits Ummu Qais bahwa ia datang kepada Rasulullah dengan membawa seorang bayi yang belum diberi makan bayi tersebut kencing dalam pangkuan Nabi. Maka Nabi pun meminta air lalu memercikkannya dan cukup mencucinya sekali-kali. (Disepakati oleh ahli hadits).
Dan dari Ali r.a berkata:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : بول الغلام ينضح عليه، وبول الجارية يغسل : قال قتادة : وهذا مالم يطعما فان طعما غسل بولهما
Rasulullah Saw bersabda: “Kencing bayi laki-laki diperciki air, sedangkan kencing bayi perempuan hendaklah dicuci.” Qatadah berkata: “Ini selama kedua mereka ini belum diberi makan, jika sudah, maka kencing mereka hendaklah dicuci.” (HR. Ahmad)
5.Wadi, Madzi dan Mani
Wadi adalah air yang berwarna putih, kental, sedikit berlendir yang keluar mengiringi keluarnya air kencing dikarenakan kelelahan. Sedang madzi adalah air yang berwarna putih juga, bergetah yang keluar karena kuatnya dorongan syahwat, akan tetapi keluarnya tidak diserta kenikmatan.
Keluar wadi dan madzi tidak diwajibkan mandi junub, tetapi cukup membersihkan kemaluannya dan berwudhu, hal ini didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:
“Dari Ali bin Abi Thalib berkata: Saya kerapkali mengeluarkan madzi, sedang saya sendiri malu menanyakannya kepada Rasulullah Saw, karena putrinya menjadi isteriku, maka saya menyuruh Miqdad untuk menanyakannya. Miqdad pun menanyakannya kepada beliau. Beliau menjawab “Hendaklah ia basuh kemaluannya, dan berwudhulah.”
Adapun mani sebagian ulam berpendapat bahwa ia adalah suci, tetapi disunatkan mencucinya bila ia basah, dan mengoreknya bila kering. Aisah berkata: “Kukorek mani itu dari kain Rasulullah saw bila ia kering, dan kucuci bila ia basah.” (Riwayat Daruquthni, Abu Uwanah dan al-Bazzar).
Dan dari Ibnu Abbas ra berkata:
سئل النبي صلى الله عليه وسلم عن المني يصيب الثوب فقال : انما هو بمنزلة المخاط والبصاق ، وانما يكفيك ان تمسحه بخرقة او بإذرة (رواه الدارقطنى والبيهقى والطحاوى)
Nabi Saw ditanya orang mengenai mani yang mengenai kain. Maka jawabnya: “Ia hanyalah seperti ingus dan dahak, maka cukuplah bagimu menghapusnya dengan secarik kain atau dengan daun-daunan.” (Riwayat Daruquthni, Baihaqi dan Thawawi).
6.Khamar
Khamar salah satu yang diharamkan oleh Allah Swt berdasarkan firman-Nya:
“Hai orang-orang beriman, sesungguhny khamar, judi, berhala dan mengundi nasib itu adalah najis, termasuk pekerjaan syaithan.” (QS. Al-Maidah:90)

Berdasarkan ayat ini, menurut mayoritas ulama bahwa kata rijs sama dengan najis. Akan tetapi diriwayatkan bahwa Rabi’ dan Daud Azh-Zhahiri bahwa khamar tidak najis dzatnya, meskipun haram untuk diminum. Mereka menyatakan bahwa kata rijs berarti najis maknawi (bukan hakiki), mengingat bahwa hal-hal yang disebutkan di dalamnya di samping khamr (yaitu perjudian, berhala dan mengadu nasib dengan panah) tidak mungkin berkaitan dengan najis hakiki atau inderawi.

Allah Swt telah menjelaskan dalam ayat lain untuk tidak mendekati shalat dalam keadaan mabuk sampai mereka memahami apa yang mereka katakan . Ayat ini yang juga dipegang oleh mayoritas ulama untuk tidak shalat jika ada makanan atau minuman yang diharamkan itu menempel di pakaian atau tempat shalat.

Cara-cara menghilangkan Khubuts
Ada beberapa cara yang dilakukan untuk menghilangkan khubuts atau najis, pertama dengan menggunakan air suci lagi mensucikan. Dalam hal ini, air terdiri dari tiga macam, air suci mensucikan ghair makruh seperti air mutlak, air suci yang mensucikan tetapi makruh pemakaiannya jika digunakan untuk menyucikan badan dan tidak makruh untuk menyucikan pakaian, yaitu seperti ma musyammas (air panas akibat sinar matahari) dan air yang terkena benda najis . Kedua, berubahnya benda najis menjadi sesuatu yang baik, seperti perubahan khamar menjadi cuka dan darah ghazal (kijang) menjadi minyak misik (parfum). Ketiga, membakar benda najis dengan api. Pendapat ini dipegang teguh oleh ulama Hanafinyah. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa membakar benda najis dengan api tidak dapat mensucikan benda tersebut. Mereka beralasan bahwa debu dan asapnya itu adalah najis. Begitu juga ulama Malikiyah yang berpendapat bahwa api tidak dapat mensucikan benda najis. Keempat, menyamak kulit hewan yang najis. Setiap hewan yang najis sebab penyamakan. Baik hewan yang halal dimakan dagingnya maupun hewan yang tidak halal dimakan dagingnya, jika disamak kulitnya, kulit itu boleh digunakan untuk shalat karena telah suci dengan sebab penyamakan . Hal ini didasarkan kepada hadits Maimunah r.a ketika ia ditanya oleh Nabi Muhammad Saw perihal kambingnya.
لو أخذتم اهابها ! فقالوا : انها ميتة . فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم يطهره الماء والقرط.
“Andaikata kamu ambil kulitnya, tentu lebih bagus? Para sahabat berkata: kambing ini bangkai. Rasulullah Saw berkata: kulitnya itu boleh disucikan dengan air dan daun salam.”
Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas r.a
اذا دبغ الاهاب فقد طهر
“Apabila kulit bangkai itu sudah disamak, maka ia menjadi suci.” (HR. Muslim).
Ada beberapa keterangan dari Rasulullah Saw ketika membersih najis, diantaranya adalah membersihkan pakaian yang terkena air kencing bayi laki-laki yang masih menyusui yaitu cukup dengan memercikkan air di atasnya dan tidak perlu dicuci. Rasulullah juga memerintahkan untuk mencuci bejana yang terkena jilatan anjing, dibasuh tujuh kali, yang pertama atau salah satunya dengan tanah. Boleh juga menggantikan tanah dengan sabun atau pembersih lain yang kuat.

Bagaimana dengan bejana yang tersentuh babi? Menurut sebagian besar ulama Syafi’iyah mengqiyaskan babi dengan anjing, dan karenanya mewajibkan penyucian bejana yang tersentuh atau terjilat babi, sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan air bercampur tanah. Tetapi An-Nawawi (dari madzhab Syafi’i juga) menegaskan bahwa ditinjau dari segi dalilnya, cukup mencucinya satu kali saja tanpa tanah.

Hadats dan macam-macamnya.
Hadats adalah sesuatu yang mewajibkan wudhu dan mandi. Sesuatu yang mewajibkan wudhu disebut hadats kecil dan sesuatu yang mewajibkan mandi disebut hadats besar. Adapun sesuatu yang mewajibkan wudhu adalah meliputi sesuatu yang membatalkan wudhu. Pertama, sesuatu yang keluar dari dua jalan (dubur atau kubul) seperti kencing, buang air besar, haid, nifas. Air mani, madzi dan wadi. Berdasarkan firman Allah Swt:
..........أو جاء أحد منكم من الغائط ...... سورة النساء 43
“Atau apabila salah seorang di antaramu, keluar dari kakus”, maksudnya sindiran terhadap buang air, baik kecil maupun besar.
فيه الوضوء ولقول ابن عباس رضي الله عنهما اما المني فهو الذي منه الغسل واما المذي والودي فقال أغسل ذكرك أو مذاكيرك وتوضا وضوءك للصلاة (رواه البيهقى فى السنن)
"Dikarenakan harus berwudhu, karena perkataan Ibnu Abbas ra mengenai mani, itulah yang diwajibkan mandi karenanya. Adapun madzi dan wadi, maka hendaklah kamu basuh kemaluanmu atau sekitarnya, kemudian berwudhulah yakni wudhu untuk shalat”.
Kedua, sesuatu yang tidak keluar dari dua jalan dubur dan qubul, yaitu:
Hilang akal, seperti gila, pingsan, tidak sadar disebabkan khamar, ganja, morfin dan tidur. Yang menjadi perselisihan ulama adalah tidur. Bagaimana tidur yang menyebabkan batal wudhu’. Rasulullah Saw bersabda:
ان الوضوء لا يجب الا على من نام مضطجعا فانه اذا اضطجع استرخت مفاصله (رواه ابو داود والترمذى)
“Sesungguhnya wudhu itu tidak wajib kecuali bagi orang yang tidur terlentang, sebab apabilah tidur terlentang, akan terbuka jalan lubang kubul.” (HR. Abu Daud dan Tumudzi).

Hadits di atas dipahami oleh para ulama mazhab bermacam-macam, seperti:
Ulama Hanabilah: tidur yang mebatalkan wudhu adalah tidur dalam setiap keadaan dengan waktu yang cukup lama, jika tidur sebentar dalam keadaan terlentang tidak membatalkan wudhu. Sehingga mudhtaji’an di sana adalah tidur yang lama.
Ulama Syafi’iyah: tidur yang membatalkan wudhu adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasul yaitu tidur terlentang, tidur duduk tidak membatalkan, sekalipun tidurnya lama.
Ulama Malikiyah: tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang pulas sebentar atau lama dalam setiap keadaan, duduk, sujud, berbaring. Tidur dengan terlentang dalam keadaan lama tetapi gelisah tidak pulas tidak membatalkan wudhu tetapi disunnatkan wudhu’.
Ulama Hanafiyah: tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur dalam tiga keadaan: tidur terlentang, tidur bersandar ke dinding, dan tidur duduk dengan kepala di atas lutut. Selain dari tiga keadaan tidur ini tidak membatalkan wudhu. (Al-Jaziri: Madzahib al-Arba’ah: Juz I: 73)

Menyentuh seorang wanita dengan syahwat.
Menurut Imam Syafi’I menyentuh wanita membatalkan wudhu sekalipun tanpa kenikmatan dan laki-laki atau perempuannya sudah tua dengan syarat tidak ada penghalang. Imam Hambali, wudhu batal karena menyentuh wanita dengan syahwat tanpa penghalang baik orang lain, mahram, hidup dan mati, tua-muda, kecil besar selagi dengan syahwat. Imam Malikiyah : wudhu batal dengan syarat: bagi yang menyentuh sudah baligh dan bermaksud untuk mendapat kenikmatan sekalipun tidak dapat. Syarat bagi yang disentuh jika dia telanjang atau tertutup dengan kain tipis, jika kain tebal tidak batal. Imam Hanafiyah: tidak batal karena menyentuh sekalipun telanjang. Suami dan isteri yang tidur dengan telanjang tidak batal wudhunya. Kecuali dalam dua keadaan: keluar sesuatu dan bersentuhan dua parji.
Menyentuh kemaluan dengan tanpa penghalang
Menurut tiga imam seperti Imam Syafi’i, Maliki dan Hambali bahwa menyentuh kemaluan dengan tanpa penghalang adalah membatalkan wudhu. Berdasarkan usabda Rasulullah Saw:
من مس ذكره فليتوضأ
“Barang siapa yang menyentuh kemaluannya, maka hendaklah berwudhu.”

Tetapi menurut Imam Hanafiyah menyentuh zakar tidak membatalkan wudhu sekalipun dengan syahwat. Tetapi disunnahkan berwudhu. Dalil yang digunakan oleh Imam Hanafiyah adalah sabda Rasulullah Saw:
ان النبي صلى الله عليه وسلم سئل من رجل يمس ذكره فى الصلاة فقال : (هل هو الا بضعة منك)
“Sesungguhnya Nabi Saw ditanya tentang seorang laki-laki yang menyentuh kemaluannya dalam shalat. Rasul pun menjawab: Tidaklah zakar (kemaluan) itu kecuali seperti anggota tubuh darimu.”

Menyentuh zakar sama dengan menyentuh telinga, pipi, dan anggota tubuh lainnya, sehingga tidak membatalkan wudhu. Menurut Imam Hanafi dalil yang digunakan oleh ketiga Imam di atas adalah anjuran untuk mencuci tangan, bukan berwudhu.)ِAl-Jaziri, Madzahib al-Arba’ah: Juz I: 78)

Adapun hadats besar adalah sesuatu yang mewajibkan mandi. Ada beberapa hal yang mewajibkan mandi besar. Yaitu:

Berjimak, baik keluar mani maupun tidak. Sabda Rasulullah Saw:
اذا التقى الختانان فقد وجب الغسل وان لم ينزل (رواه مسلم)
“Apabila dua khitan bertemu, maka sesungguhnya telah diwajibkan mandi, meskipun tidak keluar mani." (HR. Muslim).

Keluar mani. Sabda Rasulullah Saw:
عن ام سلمة ان ام سليم قالت يا رسول الله ان الله لا يستحيى من الحق فهل على المرأة الغسل اذا احتلمت؟ قال نعم اذا رأت الماء (متفق عليه)
“Dari Ummi Salamah. Sesungguhnya Ummi Sulaim telah bertanya kepada Rasulullah Saw. “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu mempertanyakan yang hak. Apakah perempuan wajib mandi apabila bermimpi? Jawab beliau, “Ya (wajib atasnya mandi), apabila ia melihat air mani." (Muttafaq ‘alaih).
Mati
Orang yang mati pun diwajibkan mandi, tentunya dimandikan oleh kerabat atau orang khusus yang biasa memandikan mayat, kecualit orang yang mati syahid.

Haid /Nifas
Haid adalah darah yang keluar dari kemaluan kaum hawa yang rutin setiap bulan, minimal darah haid adalah setetes (sekecretan) dan maksimalnya adalah lima belas hari. Lebih dari itu adalah darah penyakit yang disebut darah istihadhah. Atau jika keadaan keluar darahnya secara terputus-putus, misalnya dua hari haid dan dua hari suci, kemudian keluar lagi dan berhenti lagi, maka seluruh hari haid dan hari suci dijumlah sehingga mencapai lima belas hari. Setelah itu, apabilah masih keluar juga, maka ia dianggap darah istihadhah (darah penyakit).

Nifas adalah darah yang keluar dari rahim karena melahirkan walaupun dalam keadaan keguguran). Lamanya tidak dapat ditentukan. Adakalanya sebentar saja, tetapi pada umumnya selama empatpuluh hari, dan paling lama enampuluh hari. Darah nifas pada hakikatnya adalah kumpulan darah haid karena pada masa kehamilan selama Sembilan bulan seorang wanita hamil tidak mengalami haid.
Bagi wanita yang keluar haid/nifas ini diwajibkan mandi. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لفاطمة بنت ابى حبيش اذا اقبلت الحيضة فدعى الصلاة واذا ادبرت فاغتسلى وصلّى (رواه البخارى)
“Beliau berkata kepada Fatimah bin Abi Hubaisy, “Apabila dating haid itu, hendaklah engkau tinggalkan shalat, dan apabila habis haid itu, hendaklah engkau mandi dan shalatlah." (HR. Bukhari).

Setelah melahirkan seorang ibu pun diwajibkan mandi, bukan mandi karena keluar darah haid, tetapi mandi setelah melahirkan untuk menyegarkan dan menyehatkannya setelah melahirkan seorang anak.

Wudhu dan Permasalahannya.
Salah satu cara menghilangkan hadats kecil adalah dengan berwudhu. Wudhu adalah membasuh wajah, kedua tangan sampai siku, menyapu kepala dan membasuh kedua kaki sampai mata kaki. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt:
ياايها الذين امنوا اذا قمتم الى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وايديكم الى المرافق وامسحوا برؤسكم وارجلكم الى الكعبين
“Hai orang-orang beriman, apabilah hendak menegakkan shalat maka basuhlah wajahmu, kemudian kedua tanganmu sampai siku, dan usapkanlah kepalamu, dan basuhlah kedua kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah:6)
Rukun Wudhu
Berdasarkan ayat di atas, menurut al-Jaziri (2004:52-59) bahwa ulama madzhab berbeda pendapat dalam menetapkan rukun wudhu. Menurut Imam Hanafiyah bahwa rukun wudhu ada empat yaitu membasuh wajah, kedua tangan sampai siku, menyapu kepala dan membasuh kaki sampai mata kaki.
Imam Malikiyah berpendapat bahwa rukun wudhu tidak sesingkat itu, mereka menyatakan bahwa rukun wudhu ada tujuh (7) yaitu: Niat, membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai siku, menyapu seluruh kepala, membasuh kaki sampai mata kaki, muwalat (segera jangan sampai kering) dan menyela-nyela anggota wudhu seperti kuku dan rambut.
Imam Hanabilah tidak memasukkan niat ke dalam rukun, sehingga rukun wudhu menurut mereka ada enam (6). Yaitu: Membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai siku, menyapu seluruh kepala. Membasuh kedua kaki, muwalat dan tertib. Sedangkan menurut Imam Syafi’iyah yang banyak dipegang oleh mayoritas orang Indonesia bahwa rukun wudhu ada enam 6. Yaitu: Niat, membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai siku, menyapu sebagian kepala, membasuh kedua kaki sampai mata kaki, dan tertib.
Dari urain di atas, yang memasukkan niat sebagai rukun adalah Imam Malikiyah dan Imam Syafi’iyah, hal ini bukan berarti Imam Hanafiyah dan Imam Hanabilah tidak penting dengan niat, mereka berpendapat selain rukun (fardhu) ada lagi sesuatu yang harus dipenuhi dalam wudhu, mereka menyebutnya dengan syarat. Sehingga mereka memasukkan niat ke dalam syarat-syarat wudhu. Sedangkan Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa rukun dengan syarat tidak ada perbedaan. Keduanya sama-sama harus dipenuhi. Niat menjadi sesuatu yang harus dipenuhi dalam segala aktivitas ibadah, termasuk wudhu. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw:
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: انما الأعمال بالنيات وانما لكل امرئ ما نوى . . . الحديث (رواه الجماعة)
“Bahwa Rasulullah Saw bersabda: semua perbuatan itu adalah tergantung kepada niat, dan setiap manusia akan mendapat sekedar apa yang diniatkannya….(HR. Jama’ah).

Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa menyapu seluruh kepala, sedangkan Syafi’iyah dan Hanafiyah cukup menyapu sebagian kepala. Perbedaan mereka tersebut memiliki alasan yang rasional. Menurut Imam yang berpendapat bahwa menyapu kepala keseluruhan adalah dari hadits Abdullah bin Zaed:
ان النبي صلى الله عليه وسلم مسح رأسه بيديه فأقبل بهما وأدبر، بدأ بمقدّم رأسه ثم ذهب بهما الى قفاه ثم ردّهما الى المكان الذى بدأ منه (رواه الجماعة)
“Bahwa Nabi Saw menyapu kepalanya dengan kedua tangannya, maka ditariknya dari muka ke belakang, dimulainya dari bagian depan kepalanya lalu ditariknya kedua tangannya itu kea rah pundak, kemudian dibawanya kembali ke tempat ia bermula tadi. (HR. Jama’ah).

Sedangkan alasan Syafi’iyah dan Malikiyah adalah meninjau bentuk lafazh masaha yang merupakan bentuk muta’addi. Seperti lafazh masaha zaedun ra’sahu (Zaed telah menyapu kepalanya). Lafazh masaha tidak memerlukan hurup jar seperti ba. Sebagaimana firman Allah Swt:
وامسحوا برؤسكم
Sehingga mengusap pada ayat di atas berkonotasi sebagian kepala.

Dalam hadits-hadits Rasulullah Saw yang menceritakan kaifiyat wudhu ada beberapa lafazh yang menggunakan masaha ra’sahu dan masaha bi ra’sihi.
Walaupun demikian, Syafi’iyah menghukumi Sunnah menyapu keseluruhan kepala dan tetap menganggap sah mengusap sebagian kepala sepertiga atau seperempat dari kepala.

Kepala adalah tempat dimana tumbuhnya rambut. Sehingga yang harus disapu adalah kepala bukan rambut. Tidak sah menyapu rambut tanpa menyentuh kepala seperti orang yang panjang rambutnya.

Muwalat adalah turut-temurut dalam membasuh seluruh anggota wudhu. Setelah membasuh wajah tidak dibolehkan berhenti untuk melakukan aktivitas lain yang kemudian membasuh kedua tangannya. Inilah yang bukan termasuk muwalat. Oleh karena itu muwalat dimasukkan ke dalam rukun wudhu oleh Imam Malikiyah dan Imam Hanabilah, imam madzhab lainnya menghukumi Sunnah muwalat ini. Sunnah menurut para imam madzhab adalah perbuatan yang hampir tidak pernah ditinggalkan oleh mereka.

Tertib adalah mendahulukan sesuatu yang harus didahulukan dan mengakhirkan sesuatu yang seharusnya diakhirkan. Menurut Imam Syafi’iyah dan Imam Hanabilah tertib termasuk rukun dalam wudhu karena wawu athaf pada ayat wudhu menunjukkan demikian. Berbeda dengan mereka adalah Imam Hanafiyah dan Malikiyah bahwa sah berwudhu dengan pertama kali membasuh kedua tangan kemudian wajah. Walaupun demikian mereka menghukumi Sunnah melakukan tertib dalam berwudhu.

Sunnah-Sunnah Wudhu
Adapun Sunnah-Sunnah wudhu meliputi:
1.Membaca Basmalah ketika memulai berwudhu.
2.Bersiwak. Pada zaman Rasul bersiwak dilakukan untuk membersihkan gigi, menguatkan gusi dan dapat menghilangkan bau mulut dengan menggunakan kayu arak yang berasal dari Hijaz (Sayid Sabiq: 72). Pada zaman sekarang ini, fungsi tersebut dapat digantikan dengan sikat gigi dan pasta gigi yang memiliki tujuan yang sama. Lebih bagus keduanya dapat digunakan. Namun kayu yang digunakan itu jarang didapat atau didapat tetapi hamper tidak berfungsi dalam menghilangkan bau mulut. Anda dapat bandingkan hasil sikat gigi dengan siwak dalam memberikan kenyamanan pada mulut Anda. Sunnah bersiwak berdasarkan hadits dari Abu Hurairah r.a:
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لولا أن أشق على أمتى لأمرتهم بالسواك عند كلّ وضوء (رواه مالك والشافعى والبيهقى والحاكم).
“Bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Kalau tidak akan memberatkan umatku, tentulah aku perintahkan umatku untuk bersiwak setiap kali berwudhu’”. (HR. Malik, Syafi’i, Baihaqi dan Hakim).
3.Membasuh kedua telapak tangan sampai ke pergelangan, sebanyak tiga kali. Kedua telapak tangan adalah anggota wudhu yang membantu anggota wudhu lainnya. Seperti membasuh wajah tidak akan sempurna kecuali dibantu dengan kedua telapak tangan. Oleh karena itu dalam membersihkan wajah tentunya kedua telapak tangan harus terlebih dahulu dibersihkan. Mencuci dua telapak tangan sebelum wudhu ini didasarkan pada hadits Aus bin Aus ats-Tsaqfi r.a katanya:
رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم توضأ فاستوكف ثلاثا (رواه أحمد والنسائى)
“Aku melihat Rasulullah Saw berwudhu, maka dibasuhnya telapak tangannya tiga kali.” (HR. Ahmad dan Nasa’i).
4.Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung. Berkumur-kumur untuk melengkapi siwak. Mungkin dengan siwak ada makanan yang nyangkut di gigi tidak mampu dikeluarkan dengan berkumur-kumur dapat dikeluarkan. Atau dapat menambah wangi aroma siwak atau pasta gigi. Sedangkan memasukkan air ke dalam hidung adalah berfungsi membersihkan kotoran-kotoran yang mengganggu terhirupnya udara dari lubang hidung. Lubang hidung terdapat bulu-bulu hidung yang dapat menahan kotoran dan dibersihkan dengan menghirupkan air ke dalam hidung. Memasukkan air ke dalam hidung ini juga dapat terhindar dari penyakit flu atau filek. Adapun dasar berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung adalah hadits dari Abdullah bin Zaed r.a:
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم تمضمض واستنشق من كف واحد فعل ذلك ثلاثا، وفى رواية: تمضمض واستنثر بثلاث غرفات متفق عليه.
“Bahwa Rasulullah Saw berkumur-kumur dan istinsyak dari satu tangan. Ia kerjakannya tiga kali.” Dan menururt riwayat lain “berkumur-kumur dan menghembuskan air ke hidung dari tiga saukan.” (Muttafaq ‘alaih).

5.Mendahulukan yang kanan daripada yang kiri. Sudah menjadi tradisi atau kebiasaan baik yang dilakukan Rasulullah Saw yaitu selalu mendahulukan yang kanan atas yang kiri. Anggota kanan selalu digunakan untuk perkara-perkara yang baik, sebaliknya anggota kiri selalu digunakan untuk perkara yang tidak baik. Seperti makan dengan tangan kanan dan membersihkan kotoran dengan tangan kiri. Mendahulukan yang kanan daripada yang kiri didasarkan pada hadits Aisyah r.a:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يحبّ التيامن فى تنعله وترجله وطهوره وفى شأنه كله (متفق عليه)
“Nabi Saw menyukai tayammum baik dalam mengenakan sandal, bersisir atau bersucinya dalam semua urusan.” (Muttafaq ‘alaih).
ان النبي صلى الله عليه وسلم قال: اذا لبستم واذا توضأتم فابدؤا بأيمانكم (رواه أحمد وابو داود والترمذى والنسائى)

“Jika kamu mengenakan pakaian atau berwudhu, mulailah dengan yang sebelah kanan.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi dan Nasa’i).
6.Menyela-nyela anggota wudhu seperti jenggot dan kuku. Tempat tumbuhnya jenggot adalah di bagian wajah, dan kuku di bagian tangan. Wajah dan tangan adalah anggota yang wajib dibasuh ketika wudhu’. Kumis atau kuku tidak boleh menghalangi air dalam membasuh anggota wudhu tersebut. Hal ini didasarkan kepada hadits Anas r.a:
ان النبي صلى الله عليه وسلم كان اذا توضأ أخذ كفا من ماء فأدخله تحت حنكه فخلل به، وقال: هكذا أمرنى ربي عز وجلّ (رواه ابو داود والبيهقى والحاكم)
“Bahwa Nabi Saw bila berwudhu, disauknya air dengan telapak tangan, kemudian dimasukkannya ke bawah dagunya lalu digosok-gosoknya seraya berabda: Beginilah cara yang disuruh oleh Tuhanku ‘Azza wa jalla.” (HR. Abu Daud, Baihaqi dan Hakim).

7.Membasuh tiga kali. Kenapa tiga kali, karena Allah menyukan yang ganjil, kenapa tidak lima, tujuh atau Sembilan, karena Islam membenci boros atau berlebih-lebihan, kenapa tidak satu, karena dikhawatirkan kurang sempurna. Membasuh tiga kali didasarkan kepada hadits:
ان النبي صلى الله عليه وسلم توضأ ثلاثا ثلاثا (رواه احمد ومسلم والترمذى)

“Bahwa Nabi Saw berwudhu’ tiga kali-tiga kali.” (HR. Ahmad, Muslim dan Turmudzi).

8.Muwalat, artinya berturut-turut membasuh anggota demi anggota, jangan sampai orang yang berwudhu itu menyela wudhunya dengan pekerjaan lain yang menurut kebiasaan dianggap telah menyimpang daripadanya. (Sayid Sabiq:79).

9.Menyapu kedua telinga. Menurut Sunnah ialah menyapu bagian dalamnya dengan kedua telunjuk, serta bagian luar dengan kedua ibu-jari, yakni dengan memakai air untuk kepala, karena ia termasuk bagian daripadanya. Sebagaimana deterima dari al-Miqdam bin Ma’diyakriba r.a:
أن رسول الله صلىّ الله عليه وسلم مسح فى وضوءه رأسه واذنيه ظاهرهما وباطنهما وأدخل اصبعيه فى صماخى اذنيه (رواه ابو داود والطحاوى)
“Bahwa ketika berwudhu, Rasulullah Saw menyapu kepala serta kedua telinganya baik luar maupun dalam, dan memasukkan dua buah jarinya ke dalam lobang telinganya.” (HR. Abu Daud dan Thahawi).

10.Menggosok-gosok anggota wudhu ketika membasuhnya, agar lebih bersih.
11.Selesai berwudhu, menghadap kiblat dan berdoa:
اشهد ان لا اله الا الله وحده لاشريك له واشهد ان محمدا عبده ورسوله، اللهمّ اجعلنى من التوابين واجعلنى من المتطهّرين
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah yang Maha Esa, yang tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusannya. Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertobat dan jadikanlah aku termasuk dalam orang-orang yang bersuci.”
Perkara Yang Membatalkan Wudhu:
1. Sesuatu yang keluar dari dubur atau kubul.
2. Tidur nyenyak hingga tidak sadar dan tidak tetap tempat duduknya.
3. Hilang akal, baik karena gila, pingsan, mabuk, atau disebabkan minum obat-obatan, baik kadar obat tersebut sedikit maupun banyak. Karena hilangnya kesadaran yang diakibatkan oleh minum obat-obatan lebih dahsyat berbanding sewaktu tidur. Inilah pendapat yang telah disepakati para ulama.
4. Menyentuh kemaluan tanpa alas karena berdasarkan hadits Basrah binti Shafwan r.a
عن يسرة بنت صفوان رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم، قال: من مس ذكره فلا يصلّ حتى يتوضأ
“Nabi Saw bersabda, ‘Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya maka janganlah ia mengerjakan shalat sehingga ia wudhu terlebih dahulu.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi seraya menyatakan kesahihan hadits ini.)

Sesuatu yang sering dianggap membatalkan wudhu
Di atas telah dibahas sesuatu yang membatalkan wudhu, namun ada beberapa hal yang sering kali disangka membatalkan wudhu padahal tidak membatalkan wudhu. Antara lain:
1. Keluar darah tidak melalui dua jalan dubur dan kubul, seperti karena luka, mimisan dan berbekam. Demikian pula muntah baik sedikit ataupun banyak, tidak membatalkan wudhu. Hal ini bukan berarti darah dan muntah boleh dibawa shalat, darah dan muntah termasuk benda najis yang tidak boleh dibawa ketika shalat, sehingga orang yang berwudhu kemudian berdarah atau muntah, tetap harus membersihkan pakaian atau anggota tubuhnya yang terkena darah dan ia tidak perlu mengulangi wudhunya. Oleh karena darah dan muntah harus dibersihkan ketika hendak shalat, maka golongan Hanafiyah menganggap keluarnya darah melalui apapun juga, demikian pula muntah, dapat membatalkan wudhu.
2. Memandikan mayat tidak membatalkan wudhu.
3. Menyentuh isteri tanpa pembatas atau penghalang. Karena berdasarkan hadits Aisyah r.a
عن عائشة رضي الله عنها أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قبلها وهو صائم وقال: إنّ القبلة لا تنقض الوضوء ولا تفطر الصائم
“Rasulullah Saw pernah menciumnya, sedangkan pada saat itu beliau berpuasa. Nabi Saw bersabda, ‘Sesungguhnya ciuman ini tidaklah membatalkan wudhu dan tidak pula membatalkan puasa.” (HR. Ishak bin Ruwaih)
Perkara yang Wajib dilakukan dengan Berwudhu
Seseorang diwajibkan berwudhu untuk mengerjakan tiga perkara, yaitu sebagai berikut:
Pertama, shalat apapun juga bentuknya, baik shalat fardhu maupun shalat sunat, termasuk juga bila ingin mengerjakan shalat jenazah. Kedua, thawaf di Baitullah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a:
عن ابن عباس رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : الطواف صلاة إلا أن الله أحلّ فيه الكلام، فمن تكلّم فلا يتكلّم إلاّ بخير (رواه الترمذى)
“Nabi Saw bersabda, Thawaf itu merupakan shalat, hanya saja Allah menghalalkan berbicara sewaktu mengerjakannya. Oleh karenanya, barangsiapa yang ingin berbicara ketika mengerjakan thawaf, maka hendaklah ia membicarakan hal-hal yang baik-baik.”
Ketiga, menyentuh mushaf berdasarkan riwayata Abu Bakar bin Muhammad bin Ammar bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya r.a:
عن ابن حزم عن أبيه عن جدّه رضي الله عنهم أن النبي صلى الله عليه وسلم كتب الى اهل اليمن كتابا وكان فيه : لا يمس القران إلاّ طاهر)
“Nabi Saw menulis sepucuk surat kepada penduduk Yaman yang diantara isinya adalah: al-Quran tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang sudah suci.” (HR. Nasai, Daruquthni, Baihaqi, dan AlAtsram).

Mandi dan Permasalahannya.
Mandi yang dikenal dengan mandi junub adalah mandi yang bertujuan menghilangkan hadats besar seperti, keluar mani/ sperma, setelah jimak dan keluar darah haid/nifas. Hal ini didasarkan kepada firman Allah Swt:
وان كنتم جنبا فاطهروا
“Dan jika kamu junub, maka mandilah.” (Al-Maidah:6).
ويسألونك عن المحيض قل هو اذى فاعتزلوا النساء فى المحيض ولا تقربوهن حتى يطهرن، فاذا تطهرن فأتوهنّ من حيث أمركم الله، ان الله يحب التوابين ويحب المتطهّرين
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid, jawablah bahwa itu adalah kotoran, karena itu jauhi istrimu di waktu haid, dan jangan dekati mereka hingga suci. Maka bila mereka telah suci, boleh kamu mencampuri mereka, sebagaimana diperintah oleh Allah. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang suci”. (QS. Al-Baqarah:223).

Perkara yang Mewajibkan Mandi
Mandi menjadi wajib disebabkan adanya lima perkara, yaitu sebagai berikut: pertama, keluar mani disertai syahwat, baik pada waktu tidur maupun ketika bangun, laki-laki maupun wanita. Disini ada beberapa persoalan yang sering terjadi sebagai berikut:
1. Jika mani keluar tanpa syahwat, tetapi karena sakit atau cuaca dingin, maka ia tidak mewajibkan mandi.
2. Jika seorang bermimpi, tetapi tidak menemukan bekas air mani maka ia tidak wajib mandi.
3. Bila seorang bangun tidur, lalu menemukan basah tetapi tidak ingat bahwa ia bermimpi, maka ia wajib mandi jika ia yakin bahwa itu adalah mani. Karena pada zhahirnya, air mani itu keluar disebabkan mimpi.
4. Jika seorang merasakan hendak keluarnya mani pada saat memuncaknya syahwat, tetapi ia menahan kemaluannya hingga ia tidak keluar, maka orang tersebut tidak wajib mandi.
5. Jika melihat mani pada kainnya, tetapi tidak mengetahui waktu keluarnya dan kebetulan sudah shalat, maka ia wajib mengulangi shalat dari waktu tidurnya yang terakhir, kecuali bila ada keyakinan bahwa keluarnya sebelum itu sehingga ia harus mengulangi dari waktu tidur yang terdekat di mana mani itu mungkin keluar.
Kedua, hubungan kelamin, yaitu memasukan alat kelamin pria ke dalam alat kelamin wanita, walau tidak sampai keluar mani, karena berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan jika kamu junub, maka mandilah....” (QS. al-Maidah [5]:6)
Menurut Syafi’i, bahwa hakikat junub adalah hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan, walaupun tanpa disertai orgasme.”
Ketiga, haid dan nifas jika sudah berhenti, berdasarkan firman Allah SWT:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah suatu kotoran. ‘Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintah Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. al-Baqarah [2]:222).
Keempat, mati. Jika seorang menemui ajal kematiannya, maka ia wajib dimandikan berdasarkan ijma’ ulama. Dan kelima, orang kafir jika sudah masuk Islam. Ia juga wajib mandi.
Fardhu (Rukun) Mandi
Menurut al-Jaziri (2004:100-102) bahwa para ulama mazhab berbeda pendapat dalam menetapkan fardhu/rukun mandi.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa fardhu mandi ada tiga. Pertama berkumur-kumur, kedua, memasukkan air ke hidung dan ketiga, membasuh seluruh badan dengan air.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa fardhu mandi ada lima, pertama, niat, kedua, meratakan badan (zhahir) dengan air, ketiga, muwalat. Keempat, menggosok-gosok seluruh badan dengan air, dan kelima menyela-nyela anggota badan seperti rambut.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa fardhu mandi ada dua. Pertama, niat. Dan kedua meratakan seluruh anggota badan dengan air.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa fardhu mandi cukup meratakan seluruh badan dengan air termasuk berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung.

Sunnah-Sunnah Mandi
Seseorang yang mandi harus memperhatikan perkara-perkara yang pernah dilakukan Rasulullah Saw., pada saat mandi, yaitu sebagai berikut:
1. Mulai dengan mencuci kedua tangan sebanyak tiga kali.
2. Kemudian membasuh kemaluan.
3. Lalu berwudhu secara sempurna seperti halnya wudhu pada saat ingin mengerjakan shalat. Ia juga boleh menangguhkan membasuh kedua kaki hingga selesai mandi, bila ia mandi di tempat tembaga dan sebagainya.
4. Kemudian menuangkan air ke atas kepala sebanyak tiga kali sambil menyela-nyela rambut agar air dapat membasahi urat-uratnya.
5. Lalu mengalirkan air ke seluruh badan dengan memulai sebelah kanan, lalu sebelah kiri tanpa mengabaikan dua ketiak, bagian dalam telinga, pusar, dan jari-jari kaki serta menggosok anggota tubuh yang dapat digosok.

Pendapat Ulama Madzhab terhadap hal yang diharamkan bagi yang berjunub.
Menurut mayoritas ulama seorang yang berhadats besar (junub) diharamkan melakukan shalat dan thawaf di sekitar ka’bah, memegang dan membawa mushaf al-Quran. Kecuali dalam keadaan darurat; untuk menyelamatkannya atau mengembalikannya ke tempatnya semula, setelah terjatuh dan sebagainya.

Namun al-Jaziri mengungkapkan perbedaan para ulama madzhab berkaitan dengan membaca al-Quran dan berdiam diri di masjid bagi orang yang berhadats besar sebagai berikut:
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa orang yang berjunub tidak boleh membaca al-Quran kecuali dua syarat. Pertama: membaca suatu yang mudah dan kedua: membaca dalam dua situasi, pertama: dengan tujuan menjaga dari musuh, kedua: untuk menunjukkan hokum syara’. Juga tidak dibolehkan masuk masjid, kecuali dua keadaan: pertama: tidak air untuk mandi kecuali di masjid tetapi diharuskan bertayammum sebelum masuk masjid. Kedua: tidak ada tempat penampungan dari bahaya kecuali di masjid.

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa orang yang berjunub diharamkan membaca al-Quran sedikit atau banyak. Kecuali dalam dua keadaan: pertama: untuk mengawali setiap urusan dengan membaca basmalah. Kedua: membaca ayat-ayat pendek untuk berdoa. Juga diharamkan bagi yang berjunub masuk masjid kecuali dharurat. Seperti tidak ada air untuk mandi kecuali di masjid, tetapi diharuskan bertayammum terlebih dahulu.

Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa orang yang berjunub diharamkan membaca al-Quran sekalipun satu hurup jika bermakud untuk membaca. Tetapi jika bermaksud untuk berdzikir tidak diharamkan. Juga tidak dibolehkan diam di masjid kecuali hanya sekedar lewat itupun jika dirasa aman untuk tidak mengotori masjid.

Ulama Hanabilah berpendapat bahwa orang yang berjunub dibolehkan membaca al-Quran pada ayat-ayat pendek tidak boleh lebih dari itu. Boleh juga diam di masjid jika dirasa aman untuk tidak mengotori masjid.

Pada intinya pendapat para ulama madzhab di atas adalah untuk menjaga kesucian kitab suci dan tempat ibadah, sehingga orang yang berjunub tidak dibolehkan membaca al-Quran dan diam di masjid. Adapun dalil yang mereka gunakan adalah sabda Rasulullah Saw:
رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم توضأ ثم قرأ شيئا من القرأن ثم قال: هكذا لمن ليس بجنب، فاما الجنب فلا. ولا أية. (رواه أحمد وابو يعلى وهذا لفظه قال البيهقى رجاله موثقون).

“Saya lihat Rasulullah Saw berwudhu kemudian membaca sesuatu dari al-Quran. Lalu ia bersabda: “Ini adalah bagi orang yang tidak berjunub. Adapun orang yang berjunub, maka tidak boleh, bahkan satu ayat.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la dan beginilah susunan kata-katanya. Menurut Hatami: perawi-perawinya dapat dipercaya).
دخل رسول الله صلى الله عليه وسلم صرحة هذا المسجد فنادى باعلى صوته: ان المسجد لا يحلّ لحائض ولا لجنب (رواه ابن ماجه والطبرانى).
“Rasulullah Saw masuk ke halaman masjid dan berseru sekeras suaranya: “Sesungguhnya masjid tidak dibolehkan bagi orang haidh maupun junub.” (HR. Ibnu Majah dan Thabrani).
Jika tujuan diharamkan masuk masjid untuk menjaga kebersihan masjid, maka jika dirasa aman tidak akan mengotori masjid dibolehkan berdiam di masjid, karena jaman sekarang sudah banyak alat-alat pengaman seperti softek dan lainnya. Pendapat ini menurut penulis hanya didasarkan pada logika tanpa pertimbangan dalil naqli. Orang junub bukan hanya wanita yang haid atau nifas, tetapi lelaki yang keluar mani juga disebut junub juga sama tidak dibolehkan untuk masuk masjid. Jelasnya adalah bagi orang yang junub baik karena haid atau keluar mani sama-sama tidak dibolehkan masuk masjid. Sekalipun mereka merasa yakin tidak akan mengotori masjid.

Permasalahan mandi wajib
Ada beberapa hal yang sering dipertanyakan sekitar mandi wajib, antara lain sebagai berikut:
1. Seorang yang telah melaksanakan mandi wajib, tidak perlu lagi berwudhu sesudahnya. Karena niat menghilangkan hadats besar dianggap sudah meliputi hadats kecil. Pada hakikatnya Rasulullah Saw telah menyarankan sebelum mandi wajib untuk berwudhu terlebih dahulu, berwudhu di sana tentunya untuk menghilangkan hadats kecil, kemudian mandi junub untuk menghilangkan hadats besar. Sehingga tidak perlu lagi berwudhu setelah mandi. Sekalipun jika tidak berwudhu sebelum mandi, tidak diharuskan mandi dengan syarat tidak melakukan yang membatalkan wudhu seperti menyentuh kemaluan. Tetapi menurut penulis sebaiknya berwudhu lagi setelah mandi. Dengan alasan firman Allah Swt yang mengharuskan berwudhu setiap kali keluar dari WC atau kamar mandi dan wudhu adalah sesuatu yang baik yang harus sering dilaksanakan.
2. Cukup mandi satu kali saja, meliputi mandi janabat, mandi hari Jumat, dan mandi hari raya, apabila ia meniatkan itu semua ketika memulai mandinya tersebut. Berbeda kondisinya, jika mandi junub dilakukan di pagi hari, kemudian di siang hari dalam keadaan bau yang akan mengganggu orang di sekitarnya, hendaknya mandi lagi yang ke dua kalinya untuk menunaikan shalat Jum’at.
3. Tidak ada larangan aas seorang junub atau wanita yang sedang haid, memotong kuku, menghilangkan bulu atau rambut, keluar rumah dan sebagainya.
Tayammum dan Permasalahannya.
Tayammum secara bahasa adalah al-Qashd, sebagaimana firman Allah Swt: AlBaqarah:267
ولا تيمموا الخبيث منه تنفقون
“Janganlah kamu bermaksud terhadap perkara yang buruk untuk kamu infakkan.”
Sedangkan secara istilah adalah : menyapu wajah dan kedua tangan dengan debu yang suci atas jalan yang tertentu. Sebagaimana firman Allah Swt: (QS. Al-Maidah: 6)
وان كنتم مرضى او على سفر او جاء احد منكم من الغائط او لمستم النساء فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وايديكم منه ما يريد الله ليجعل عليكم من حرج ولكن يريد ليطهّركم وليتمّ نعمته عليكم لعلكم تشكرون
“Dan apabila kamu sekalian sakit atau dalam perjalanan, atau sehabis buang air besar, atau bercampur dengan perempuan (isteri), kemudian kamu tidak mendapatkan air (untuk bersuci), maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (suci). Sapulah muka dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS. Al-Maidah:6)

Sebab dilakukannya tayammum
Adapun sebab-sebab disyariatkannya tayammum adalah:
1. Tidak ada air sama sekali atau ada air tetapi tidak cukup untuk dipakai bersuci, berdasarkan hadits Imran bin Husein ra katanya:
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم رأى رجلا معتزلا لم يصل مع القوم ، فقال ما يمنعك يا فلان ان تصلى فى القوم؟ فقال يا رسول الله اصابتنى جنابة ولا ماء. فقال عليك بالصعيد فانه يكفيك. (رواه بخارى ومسلم).
“Bahwa Rasulullah saw melihat seorang laki-laki yang memencil dan tidak shalat bersama kaumnya. Kemudian Rasul bertanya: Kenapa Anda tidak shalat? Ujarnya: “Saya dalam keadaan junub, sedang tidak ada air.” Maka Nabi bersabda: “Pergunakanlah tanah, demikian itu cukup bagi Anda.” (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Jika seseorang mempunyai luka atau ditimpa sakit, dan ia khawatir dengan memakai air itu penyakitnya jadi bertambah atau lama sembuhnya, baik hal itu diketahuinya sebagai hasil pengalaman atau atas nasihat dokter yang dapat dipercaya berdasarkan hadits Jabir r.a katanya:
“Suatu ketika kami pergi untuk perjalanan. Kebetulan salah seorang diantara kami ditimpa sebuah batu yang melukai kepalanya. Kemudian orang itu bermimpi, lalu menanyakan kepada teman-temannya: “Menurut tuan-tuan, dapatkah saya ini keringanan untuk bertayammum?” ujar mereka: “Tak ada bagi Anda keringanan, karena anda bisa mendapatkan air.” Maka orang itupun mandilah dan kebetulan meninggal dunia. Kemudian setelah kami berada di hadapan Rasulullah saw kami sampaikan peristiwa itu kepadanya. Maka ujarnya: “Mereka telah membunuh orang itu, tentu mereka dibunuh pula oleh Allah! Kenapa mereka tidak bertanya jika tidak tahu?
Obat bodoh tidak lain hanyalah dengan bertanya! Cukuplah bila orang itu bertayammum dan mengeringkan lukanya, atau membalut lukanya dengan kain lalu menyapu bagian atasnya, kemudian membasuh seluruh tubuhnya.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Daruquthni serta dishahihkan oleh Ibnu Sikkin).
3. Jika air terlalu dingin dan keras dugaannya akan timbul bahaya disebabkan menggunakannya, dengan syarat ia tak sanggup memanaskan air tersebut, walau hanya dengan jalan diupahkan. Atau jika seseorang tidak mudah masuk kamar mandi, berdasarkan hadits Amar bin ‘Ash ra bahwa tatkala ia dikirim dalam pertempuran berantai, maka katanya, “Pada waktu malam yang amat dingin saya bermimpi. Saya khawatir akan mati jika saya terus juga mandi, maka sayapun bertayammum lalu shalat shubuh bersama para sahabat lainnya.
Kemudian tatkala kami telah pulang kepada Rasulullah saw hal itupun mereka sampaikan kepadanya. Maka Rasulullah Saw bersabda:
يا عمرو صليت باصحابك وانت جنب؟ فقلت ذكرت قول الله عز وجل (ولا تقتلوا انفسكم ان الله كان بكم رحيما) فتيممت ثم صليت. فضحك رسول الله ولم يقل شيئا (رواه احمد وابو داود والحاكم والدارقطنى وابن ماجه وابن حبان وعلقه البخارى)
“Hai Amar! Betulkah anda melakukan shalat bersama para sahabat padahal ketika itu Anda dalam keadaan junub?”
Jawabku: “Aku teringat akan firman Allah Azza wa jalla: “Janganlah kamu sekali membunuh dirimu! Sungguh allah maha penyayang terhadap kamu sekalian (An-Nisa:29). Maka akupun bertayammum lalu shalat.” Rasulullah hanya tertawa dan tidak mengatakan apa-apa." (HR. Ahmad, Abu Daud, Hakim, Daruquthni, dan Ibnu Hibban, sementara Bukhari mengatakan hadits ini muallaq).
4. Apabila air yang tersedia hanya sedikit sekali, dan diperlukan di waktu sekarang atau masa depan yang dekat-untuk minumnya atau minum orang lain, atau binatang (walaupun seekor anjing) atau untuk memasak makanannya, atau mencucui pakaian shalatnya yang terkena najis.
Rukun-Rukun Tayammum
1. Niat
2. Debu yang suci, menurut pendapat empat madzhab yang diuraikan oleh al-Jaziri (139) adalah:
Menurutu ulama Syafi’iyah yang dimaksud al-sha’id al-thahur adalah debu yang memiliki ghibar (ngebul).
Ulama Hanabilah adalah sha’id adalah jenis debu yang suci.
Ulama Hanafiyah adalah segala macam yang termasuk dari jenis bumi. Seperti pasir, batu, kerikil dan lain sebagainya.
Sedangkan ulama Malikiyah adalah segala yang ada di atas bumi.
3. Menyapu seluruh wajah
4. Menyapu kedua tangan sampai siku, menurut ulama Malikiyah dan hanabilah wajib menyapu tangan hanya sampai pergelangan. Adapun sampai ke dua siku adalah Sunnah.
Kaifiyat Tayammum
Menurut Sayid Sabiq (139) Hendaklah orang yang bertayammum berniat lebih dahulu, kemudian membaca basmalah dan memukulkan kedua telapak tangan ke tanah yang suci, lalu menyapukannya ke muka, begitupun kedua belah tangannya sampai pergelangan tangan.
Mengenai hal ini tak ada keterangan yang lebih sah dan lebih tegas dari hadits Umar ra, katanya:
“Aku junub dan tidak mendapatkan air, maka aku bergelimang dengan tanah lalu shalat, kemudian kuceritakan hal itu kepada Nabi Saw, maka beliau bersabda: “Cukup bila Anda lakukan seperti ini: dipukulkannya kedua telapak tangannya ke tanah, lalu dihembusnya dan kemudian disapukannya ke muka dan kedua telapak tangannya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut Sayid Sabiq (140) bahwa tayammum sama dengan wudhu, tidak disyaratkan masuknya waktu, serta bagi orang yang telah bertayammum dibolehkan melakukan beberapa shalat baik fardhu maupun sunnah sebanyak yang dikehendaki. Hal ini didasarkan dari Abu Dzar ra:
“Bahwa Nabi saw bersabda: “Tanah itu mensucikan orang Islam, walau ia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Maka seandainya ia telah mendapatkan air, hendaklah dibasuhkannya ke kulitnya, karena demikian lebih baik.” (HR. Ahmad dan Turmudzi yang menyatakannya shahih).
Tayammum menjadi batal oleh sesuatu yang membatalkan wudhu’. Begitupun ia batal disebabkan adanya air. Tetapi bila seseorang melakukan shalat dengan tayammum kemudia ia menemukan air, maka ia tidak wajib mengulang shalatnya walaupun waktu shalat masih ada. Hal ini didasarkan dari Abu Said al-Khudri r.a katanya:
“Dua orang laki-laki pergi melakukan suatu perjalanan. Maka datanglah waktu shalat sedang mereka tidak membawa air, maka mereka bertayammum dengan tanah yang baik kemudiann mengerjakan shalat. Kemudian tidak lama, mereka menemukan air. Maka yang seorang mengulangi wudhu dan sembahyang, sedang yang seorang lagi tidak mengulangnya. Lalu mereka dating kepada Nabi Saw dan menceritakan peristiwa itu. Nabi Saw pun bersabda kepada orang yang tidak mengulang: “Anda telah berbuat sesuai dengan Sunnah, dan shalat Anda telah terpenuhi”.
Dan bersabda pula kepada orang yang mengulang wudhu dan shalatnya: “Anda mendapat ganjaran dua kali lipat.” (HR. Abu Daud dan Nasai).
Tetapi bila menemukan air itu, atau dapat menggunakannya setelah mulai shalat tapi belum selesai, maka tayammum jadi batal dan ia harus mengulangi bersuci dengan memakai air.
Dan seandainya orang junub atau perempuan haid bertayammum kemudian shalat, tidaklah wajib ia mengulangnya. Hanya ia wajib mandi bila telah dapat menemukan air.
Mengusap di atas pembalut (Perban atau Plaster)
1. Seorang penderita luka yang khawatir jika menggunakan air dalam wudhu atau mandi – akan menambah parah lukanya itu atau memperlambat kesembuhannya, dibolehkan mengusap (dengan tangan yang basah) anggota tubuhnya yang terluka. Apabila hal itu membahayakan, hendaknya ia menutup luka itu dengan perban atau pembalut lain. Sebagai pengganti bagian tubuhnya yang tertutup pembalut dan tidak terkena air, hendaklah ia bertayammum. Boleh juga ia mendahulukan tayammumnya sebelum wudhu atau mandi.
2. Cara bersuci di atas pembalut seperti ini menjadi batal, apabila ia dibuka atau luka itu telah sembuh. Segera setelah sembuh, pembalut harus dibuka dan sejak itu harus bersuci kembali secara sempurna.
3. Apabila yang dibalutkan itu sekitar anggota wudhu, maka dibolehkan mengusapkan di atas pembalutnya itu dengan air, sekalipun tidak terkena anggota wudhu, tetapi shalatnya harus diulangi. Jika sebelum dibalutkan ia dalam keadaan tidak berwudhu. Tetapi jika sebelum dibalutkan dalam keadaan berwudhu, maka shalatnya tidak harus diulang.






SHALAT

Shalat menurut bahasa adalah do’a, sedangkan menurut istilah adalah ibadah yang terdiri dari perbuatan dan ucapan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Shalat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim mukallaf. Karena shalat adalah tiang agama. Rasulullah Saw bersabda:
رأس الأمر الاسلام، وعموده الصلاة ، وذروة سنامه الجهاد فى سبيل الله.
“Pokok urusan ialah Islam, sedang tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah berjuang di jalan Allah.”
Shalat merupakan ibadah pertama yang diwajibkan oleh Allah Ta’ala yang perintahnya disampaikan Allah secara langsung tanpa perantara, yaitu melalui dialog dengan Rasul-Nya pada malam Mi’raj. Dari Anas r.a
قال أنس : فرضت الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم ليلة اسري به خمسين، ثم نقصت حتى جعلت خمسا، ثم نودي يا محمد: إنه لا يبدل القول لديّ وإنّ لك بهذه الخمس خمسين (رواه أحمد والنسائى والترمذى وصححه)
“Shalat difardhukan atas Nabi Saw pada malam ia diisrakan sebanyak lima puluh kali, kemudian dikurangi hingga lima. Kemudian Allah memanggil Muhamma, ‘Hai Muhammad! Ia sudah tidak dapat diubah lagi. Dengan shalat lima waktu ini, engkau tetap mendapat ganjaran sebanyak lima puluh kali.” (HR. Ahmad).
Umat Islam telah sepakat bahwa shalat itu wajib atas setiap muslim yang baligh, berakal, dan suci, yakni tidak sedang haidh dan nifas, tidak gila dan tidak pingsan. Shalat merupakan ibadah badaniyah yang mahdhah yang sama sekali tidak dapat diwakilkan kepada orang lain, sehingga tidak sah seseorang shalat untuk orang lain. Begitu pula umat Islam telah sepakat bahwa orang yang meningkari kewajiban shalat adalah orang kafir yang murtad, karena kefardhuan shalat telah ditetapkan berdasarkan dalil yang pasti dalam al-Quran, Sunnah dan Ijma’. Barangsiapa meninggalkan shalat karena malas dan merendahkannya, maka ia fasik dan durhaka, dan meninggalkan shalat mengakibatkan yang bersangkutan dijatuhi hukuman, baik di dunia maupun akhirat.

Hikmah Shalat
Setiap muslim harus meyakini bahwa dalam setiap perintah Allah terdapat kebaikan dan setiap larangan terdapat keburukan jika dilakukan. Oleh karena itu dalam perintah shalat sudah pasti terdapat hikmah atau kebaikan. Diantara hikmah-hikmah tersebut adalah:
1. Mencegah perbuatan keji dan mungkar. Sebagaimana firman Allah Swt QS. Al-Ankabut:45.
ان الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر
“Bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu dari al-Quran dan dirikanlah shalat, karena shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar.” (QS. Al-Ankabut:45)

2. Shalat menjadi tolok ukur kebaikan segala amal. Sebagaimana sabda Rasulullaha Saw:
اول ما يحاسب عليه العبد يوم القيامة الصلاة فان صلحت صلح سائر عمله، وان فسدت فسد سائر عمله (رواه الطبرانى)
“Yang pertama kali seorang hamba dihisab pada hari qiamat adalah shalat, jika baik shalatnya, maka baiklah semua amalnya, dan jika rusak shalatnya maka rusak pula segala amalnya". (fiqh sunnah juz 1: 78)

3. Mengajarkan manusia untuk mengatur waktu.
Shalat mengajarkan manusia untuk konsisten terhadap waktu, shalat adalah ibadah yang telah ditetapkan waktunya. Sebagaimana firman Allah Swt:
ان الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا
“Sesungguhnya shalat itu bagi kaum mukmin suatu kitab yang mempunyai waktu-waktu tertentu.” (QS. An-Nisa:103)

Merencanakan waktu (time management) dalam setiap aktivitas perlu dilakukan, sehingga berapa banyak waktu yang digunakan bermanfaat untuk dirinya atau apakah semua waktunya itu digunakan kepada hal yang tidak berguna.

4. Mendatangkan rizqi. Sebagaimana firman Allah Swt:
وأمر أهلك بالصلاة واصطبر عليها لا نسألك رزقا نحن نرزقك والعاقبة للتقوى (طه 132)
Rasulullah Saw bersabda kepada sahabat Abu Hurairah.
يا ابا هريرة مر اهلك بالصلاة فان الله يأتيك بالرزق من حيث لا يحتسب
“Hai Abu Hurairah, perintahkan kepada keluargamu untuk shalat, sebab Allah akan mendatangkan rizqi kepada mu tanpa dikira-kira.”

5. Shalat menjadi solusi setiap problematika. Sebagaimana firman Allah Swt:
واستعينوا بالصبر والصلاة وانها لكبيرة الا علي الخاشعين (البقرة 45)

Syarat Sah, Rukun dan Sunnat Shalat
Syarat Sah Shalat adalah sesuatu yang harus dipenuhi sebelum memulai shalat, ada beberapa syarat sah shalat yaitu:
1. Suci tubuh, pakaian dan tempat shalat.
2. Masuknya waktu shalat
3. Menghadap kiblat, dikecualikan dari hal ini adalah apabila seorang dalam keadaan sangat takut atau dalam kendaraan. Menurut Imam Nawawi dalam al-Majmu’ (III/205) “Apabila tiba waktu shalat sedang mereka dalam kendaraan, lalu seorang merasa takut jika turun dari kendaraannya untuk shalat menghadap kiblat- akan tertinggal dari rombongannya, atau khawatir atas keamanan dirinya atau hartanya, maka ia tetap tidak dibolehkan meninggalkan shalat sehingga keluar waktunya. Demi menjaga kehormatan waktu shalatnya itu, ia wajib melaksanakannya di ata kendaraan dalam keadaan apapun yang ia mampu. Dalam hal seperti ini, Imam Ar-Rafi mewajibkan diulanginya shalat tersebut kemudian, mengingat bahwa keadaan seperti itu jarang terjadinya. Sedangkan ulama lain seperti al-Qadhi Husain tidak mewajibkan diulanginya shalat tersebut, sama seperti dalam keadaan ketika memuncaknya rasa ketakutan.
4. Menutup aurat, aurat adalah bagian tubuh yang wajib ditutupi dan dihindarkan dari pandangan orang lain. Aurat lelaki di waktu shalat ataupun di luarnya adalah bagian tubuhnya antara pusar dan lutut. Sebagian ulama menyatakan bahwa aurat laki-laki ialah qubul dan duburnya saja. Hal ini karena ada beberapa hadits shahih yang menunjukkan bahwa paha laki-laki harus ditutup dan sebagian lain tidak harus ditutup. (Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah I/106; Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid I/83). Sedangkan aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua tangannya sampai pergelangan. Sebagaimana menurut Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat al-Mujtahdi I/83, mayoritas ulama menyatakan bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua tangannya (sampai pergelangan). Tetapi Abu Hanifah berpendapat bahwa kaki perempuan sampai pergelangannya tidak termasuk aurat. Sebaliknya Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa seluruh tubuh perempuan termasuk wajah dan kedua telapak tangannya adalah aurat.
Rukun shalat terdiri dari 13. 5 dari ucapan dan 8 dari segi perbuatan. Adapun dari segi ucapan adalah:
1. Membaca takbiratul ihram (Allahu Akbar)
2. Membaca Al-Fatihah
3. Membaca tasyahhud akhir
4. Membaca shalawat kepada Nabi SAW
5. Membaca salam pertama.
Dan dari segi perbuatan adalah sebagai berikut:
1. Niat
2. Berdiri pada shalat fardhu bagi orang yang mampu. Sedangkan untuk shalat sunnah, boleh sambil duduk walaupun tanpa alasan apapun.
3. Ruku’
4. I’tidal
5. Sujud pertama dan kedua
6. Duduk antara dua sujud
7. Duduk akhir
8. Tertib.
Adapun sunat-sunah shalat adalah meliputi: 1) Mengangkat tangan ketika takbir, 2) meletakan tangan kanan di atas tangan kiri, 3) membaca ta’awwudz , 4) membaca AMIN , 5) Diam sebentar , 6) Merenggangkan sedikit kedua telapak kaki, 7) membaca surat setelah al-Fatihah, 8) Tasmi’ dan Tahmid, 9) meletakan kedua lutut, kedua tangan, lalu wajah ketika turun untuk sujud, dan sebaliknya ketika bangun darinya.
Sedangkan hal-hal yang membatalkan shalat adalah 1) makan dan minum dengan sengaja, 2) berkata-kata dengan sengaja dan bukan untuk kepentingan shalat, 3) banyak bergerak dengan sengajar, 4) sengaja meninggalkan sesuatu rukun atau syarat shalat tanpa uzur, dan 5) tertawa dalam shalat.

Shalat Berjama’ah
Shalat berjama’ah berbeda dengan shalat sendirian, yang membedakannya adalah tidak ada imam yang diikuti dan tidak ada makmum yang mengikuti. Sehingga ciri utama dari berjama’ah adalah terdiri dari dua orang atau lebih. Salah satu diantara mereka menjadi pemimpin (imam) yaitu orang yang harus diikuti segala gerakannya, sementara yang lain mengikutinya, orang yang mengikuti ini disebut makmum. Jika salah seorang shalat menjadi makmum tetapi gerakannya selalu mendahului imam, maka tidak akan mendapat pahala berjamaah. Karena pada hakikatnya makmum itu mengikuti imam bukan imam mengikuti makmum.

Shalat berjama’ah sangat dianjurkan, bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa berjamaah adalah fardhu kifayah, yakni jika dalam suatu kota telah ada sekelompok orang yang melaksanakannya, gugurlah kewajiban tersebut dari penduduk lainnya. Tetapi jika tidak ada yang menyelenggarakannya, maka seluruh penduduk kota itu menanggung dosa. Anjuran shalat berjamaah ini didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw: “Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian, sebanyak duapuluh derajat. (HR. Bukhari dan Muslim).

Shalat berjamaah dianjurkan terutama pada shalat-shalat fardhu, atau shalat-shalat sunnah tertentu seperti shalat Idul Fitri dan Idul Adha, atau shalat gerhana dan shalat istisqa. Adapun shalat sunnah seperti tahajjud dan tarawih maka berjamaah di dalamnya adalah mubah (boleh-boleh saja).
Para imam madzhab sepakat bahwa orang yang ruku’nya berbarengan dengan ruku’ imam adalah dia mendapatkan rakaat itu bersama imam dan bacaannya (bisa) gugur- sebagaimana kami telah menjelaskn-karena sabda Nabi Saw:
“orang yang mendapatkan satu rakaat shalat bersama imam, maka dia mendapatkan shalat. (HR. Bukhari-Muslim).

Perkara yang perlu diperhatikan dalam shalat berjama’ah:
Ada beberapa hal sunat yang dilakukan dalam shalat berjama’ah, yaitu:
1. Mengerjakan shalat di masjid yang berjarak jauh dan memiliki anggota jamaah yang banyak. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya orang yang paling banyak meraih pahala mengerjakan shalat adalah seseorang yang paling jauh berjalan untuk mendatanginya.” (HR. Muslim dari Abu Musa).
2. Berjalan ke masjid dengan tenang. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Jika kamu mendengar suara iqamat, pergilah untk mengerjakan shalat. Bersikaplah dengan tenang dan tenteram! Janganlah tergesa-gesa! Jika kalian sempat berjamaah, lakukanlah semampunya, tetapi jika tidak sempat atau masbuq, sempurnakanlah bagian yang tertinggal itu” (HR. Jamaah selain Tirmidzi).
3. Bagi imam disunatkan meringankan bacaan shalat (tidak terlalu lama). Hal ini didasarkan pula sabda Rasulullah Saw: “Jika salah seorang di antara kamu mengerjakan shalat berjamaah bersama dengan orang banyak, hendaklah mengerjakan shalat dengan singkat dan ringan, karena diantara mereka ada yang lemah, sakit, atau orang tua. Akan tetapi, jika mengerjakan shalat secara sendirian, seseorang itu boleh memanjangkan shalat sesuai dengan kehendaknya sendiri.” (HR. Jamaah).
4. Bagi Imam, sunat melambatkan rakaat pertama. Imam disunatkan melambatkan rakaat pertama jika diketahui ada orang yang baru datang untuk mengerjakan shalat berjamaah.
5. Makmum wajib mengikuti imam. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “Tujuan diadakannya imam adalah agar diikuti. Karena itu, janganlah sekali-kali kamu menyalahinya! Jika ia takbir, takbirlah, jika ia ruku’, ruku’lah. Jika ia mengucapkan sami’allahu liman hamidah,, bacalah ‘Allahumma Rabbana lakal hamdu’. Jika ia sujud, sujudlah; bahkan jika ia mengerjakan shalah dengan keadaan duduk, kerjakanlah shalat dalam keadaan duduk. (HR. Bukhari-Muslim).
6. Tempat Imam atau Makmum yang Lebih Tinggi. Seorang imam dimakruhkan berdiri di tempat yang lebih tinggi dari tempat makmum. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Mas’ud al-Anshari, bahwa Rasulullah Saw melarang seseorang imam itu berdiri di atas sesuatu, sedangkan makmum berada di bawahnya atau lebih rendah darinya.” (HR. Daruquthni).
7. Meratakan shaf dan menutupi yang kosong. Seorang imam disunatkan untuk memerintahkan para makmum agar meratakan shaf serta menutupi semua celah yang kosong sebelum memulai shalat. Hal ini didasarkan keterangan dari Anas, ia berkata:
“Nabi Saw menghadap ke arah kami sebelum bertakbir dan bersabda, ‘Rapatkanlah barisanmu dan ratakan!” (HR. Bukhari dan Muslim).
8. Anjuran untuk memasuki shaf pertama serta yang sebelah kanan. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Andaikata umat manusia mengetahui pahala yang tersedia dalam memenuhi panggilan azan dan dalam shaf pertama, kemudian orang-orang itu tidak dapat memperolehnya kecuali dengan jalan undian, niscaya mereka akan merebutnya walaupun dengan cara undian itu.”

Orang yang lebih Berhak Menjadi Imam
Orang yang lebih berhak menjadi imam ialah orang yang paling pandai dalam membaca al-Quran. Jika diantara mereka memiliki keahlian yang sama, utamakanlah orang yang lebih pakar dalam hadits Nabi Saw. Jika mereka memiliki keahlian yang sama, dahulukanlah orang yang pertama berhijrah. Akan tetapi, jika mereka memiliki keutamaan yang sama dahulukanlah orang yang lebih tua usianya.

Adapun yang menjadikan permasalahan berkaitan dengan shalat berjamaah adalah sebagai berikut:
- Kaum wanita mengikuti jamaah di masjid
Kaum wanita dibolehkan mengikuti jamaah bersama laki-laki di masjid, tetapi bagi kaum wanita yang masih banyak tugasnya sebagai ibu rumah tangga dan pendidik bagi putra-putrinya maka shalatnya di rumahnya lebih utama daripada di masjid.
- Makmum bershalat fardhu di belakang imam yang shalat Sunnah
Tidak ada halangan bagi seorang yang bershalat fardhu di belakang imam yang sedang shalat sunnah atau sebaliknya, selama gerakannya sama. Sehingga tidak dianggap berjamaah imam shalat sunnah mayit sedangkan makmum shalat fardhu.
- Bolehkan seorang wanita menjadi imam shalat bagi laki-laki
Mayoritas ulama madzhab seperti (Abu Hanifah, Malik, Syafi’I dan Ahmad bin Hanbal) tidak membolehkan seorang wanita menjadi imam bagi laki-laki. Sekalipun wanita tersebut lebih unggul daripada para lelaki. Sedangkan wanita hanya dibolehkan menjadi imam bagi wanita-wanita lainnya. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw: “Janganlah seorang perempuan menjadi imam bagi laki-laki”.
Shalat Jum’at dan Permasalahannya.
Shalat jumat adalah shalat dua rakaat yang dilakukan setelah dua khutbah, disebut shalat jumat karena dilaksanakan pada hari Jumat. Shalat jumat ini diwajibkan bagi setiap umat Islam dan dikecualikan bagi hamba sahaya, kaum wanita, anak-anak, orang sakit dan orang yang sedang berhalangan/udzhur seperti sakit atau bepergian. Hal ini ditegaskan oleh sabda Rasulullah Saw:
“Jumat adalah hak yang wajib ditunaikan oleh setiap orang Islam dalam jamaah/kelompok, terkecuali empat golongan, yaitu hamba sahaya, perempuan, kanak-kanak, orang yang sakit”. (HR. Abu Daud dan Hakim).

Shalat Jumat itu hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap mukallaf yang mampu dan memenuhi syarat-syaratnya. Waktu shlat Jum’at adalah sama dengan waktu shalat Zhuhur, yaitu dari tergelincirnya matahari hingga ukuran bayangan sesuatu sama dengannya, setelah bayangan istiwa’, sesuai dengan kesepakatan Hanafiyah dan Syafi’iyah. Hanabilah dan Malikiyah menyangkal pendapat ini. Menurut Hanabilah bahwa waktu shalat Jum’at itu mulai matahari menyingsing setinggi satu tombak dan berakhir ketika bayangan sesuatu itu sama dengannya, tidak termasuk bayangan zawal. Akan tetapi sebelum tergelincirnya matahari adalah waktu boleh melaksanakan shalat Jum’at, sedangkan setelah tergelincirnya matahari adalah waktu wajib melaksanakan shalat Jum’at. Dan melaksanakan pada waktu ini (setelah tergelincirnya matahari) lebih utama. Sedangkan ulama Malikiyah berpendapat bahwa waktu shalat Jum’at adalh sejak tergelincirnya matahari hingga terbenam di mana ia dapat melaksanakannya secara sempurna beserta khutbahnya sebelum matahari terbenam.
Adapun waktu shalat Jum’at menurut mayoritas dari kalangan sahabat dan tabi’in adalah waktu shalat zhuhur, berdasarkan hadits riwayat Ahmad, Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, dan Baihaqi dan Anas r.a:
أنّ النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلى الجمعة إذا مالت الشمس
“Bahwa Nabi Saw mengerjakan shalat Jum’at apabila matahari telah tergelincir.”
Akan tetapi, golongan Hanbali dan Ibnu Ishaq berpendapat bahwa waktu shalat jum’at itu ialah mulai masuknya waktu shalat hari raya sampai akhir waktu zhuhur. Mereka menyandarkan alasan kepada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dan Nasa’i dari Jabir, ia berkata:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلّى الجمعة ثم نذهب الى جمالنا فنريحها حين تزول الشمس
“Rasulullah Saw mengerjakan shalat Jum’at kemudian kami pergi menggembalakan unta ketika matahari tergelincir.”
Jumhur ulama menolak alasan itu dengan mengatakan bahwa maksud hadits Jabir mungkin menyegerakan shalat Jum’at pada saat matahari tergelincir tanpa menanti dinginnya udara. Dengan demikian, baik shalat maupun mengembalakan unta itu masih sempat dilakukan sesudah tergelincir matahari.

Syarat-Syarat Shalat Jum’at
Syarat shalat Jum’at sama dengan syarat shalat-shalat lainnya, tetapi untuk shalat Jum’at ada beberapa syarat tambahan. Al-Jaziri menguraikan syarat-syarat Jum’at menurut para ulama madzhab
Menurut ulama Hanafiyah bahwa syarat-syarat Jum’at terbagi kepada syarat wajib dan syarat sah. Syarat wajib menurut mereka ada enam:
1. Laki-laki, maka shalat Jum’at itu tidak wajib bagi wanita. Akan tetapi bila ia menghadirinya, maka shalat Jum’at sah dan cukup baginya sebagai pengganti shalat Zhuhur.
2. Merdeka, maka shalat Jum’at tidak wajib bagi hamba. Tetapi sekarang ini, Islam telah menghilangkan budaya perbudakan, sehingga tidak dikenal lagi hamba (budak).
3. Sehat, maka shalat Jum’at itu tidak wajib bagi orang yang sakit yang tidak dapat pergi menghadiri shalat Jum’at dengan jalan kaki.
4. Bermukim, maka shalat Jum’at tidak wajib bagi musafir.
5. Berakal, maka shalat Jum’at tidak wajib bagi orang gila.
6. Baligh, maka shalat Jum’at itu tidak wajib bagi anak kecil yang belum mencapai usia baligh.
Adapun syarat sah menurut Hanafiyah ada tujuh, yaitu:
1. Di Dalam kota, maka shalat Jum’at itu tidak wajib bagi orang yang tinggal di desa. Maksud orang yang tinggal di desa adalah orang yang tinggal jauh dari masjid tempat dilaksanakannya shalat Jum’at. Tetapi saat ini Indonesia, masjid sudah ada di mana-mana. Tidak ada suatu masyarakat pun yang jauh dari masjid.
2. Ada izin dari penguasa (pemimpin)
3. Masuk waktu.
4. Berkhutbah
5. Khutbah dilakukan sebelum shalat.
6. Berjama’ah.
7. Diperkenankan untuk masyarakat umum, maka shalat Jum’at tidak sah dilaksanakan di suatu tempat yang hanya dikhususkan untuk sebagian orang.
Menurut Ulama Hanafiyah bahwa syarat shalat Jum’at itu terdiri dari syarat wajib dan syarat sah. Adapun syarat wajib shalat Jum’at sama dengan syarat shalat lain, hanya ditambah dengan sebagai berikut:
1. Laki-laki
2. Merdeka
3. Tidak ada udzur
4. Orang tersebut dapat melihat
5. Bukan orang tua yang sulit baginya untuk hadir
6. Bukan pada waktu panas membakar dan dingin mencekam.
7. Ia tidak khawatir ada seorang zalim yang memenjarakannya.
8. Ia tidak mengkhawatirkan harta dan kehormatannya
9. Ia bermukim bukan musafir
Sedangkan syarat sah shalat Jum’at adalah:
1. Tinggal di suatu kota selamanya
2. Dihadiri oleh dua belas orang selain imam.
3. Imam disyaratkan orang yang bermukim dan yang menjadi khatib
4. Terdiri dari dua khutbah
5. Di masjid jami’. Adapun syarat masjid jami’ adalah
a. Masjid tersebut dibangun, maka tidak sah shalat Jum’at di lapang.
b. Minimal bangunan tersebut sama dengan bangunan yang biasa dipakai oleh penduduk kota.
c. Masjid jami’ itu berada di dalam kota atau dekat dengannya.
d. Masjid jami’ itu satu. Jika dalam sebuah kota terdapat banyak masjid, maka tidak sah kecuali di masjid jami’ yang tertua.
Khutbah Jum’at
Jumhur ulama berpendapat bahwa khotbah jumat itu adalah wajib. Mereka berpegang kepada hadits-hadits shahih yang menyatakan bahwa setiap kali Nabi Saw mengerjakan shalat jum’at maka selalu disertai dengan khotbah. Mereka pun mengambil alasan kepada sabda Nabi Saw.,
صلّوا كما رأيتمونى أصلىّ
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku mengerjakan shalat.”
Allah Swt berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah pergi kamu kepada mengingat Allah (zikir)...” (QS. al-Jumu’ah[26]:9)
Dalam ayat ini ada perintah untuk pergi berdzikir, dengan demikian, dzikir itu hukumnya wajib. Maksud dzikir disini adalah-sebagaimana mereka tafsirkan-bermakna khotbah karena di dalamnya terdapat dzikir.
Ketentuan Shalat Jum’at
1. Imam disunnahkan mengucapkan salam apabila telah naik mimbar, menyerukan azan bila ia telah duduk di atasnya dan makmum disunnahkan menghadap ke arahnya. Sebagaimana hadits bahwa apabila Nabi Saw naik ke atas mimbar, beliau menghadapkan wajahnya kepada kaum muslimin kemudian mengucapkan ‘assalamu’alaikum’.
2. Isi khotbah disunatkan mengandung pujian kepada Allah Swt., sanjungan kepada Nabi Saw., nasihat, dan bacaan ayat al-Quran. Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa apabila Nabi Saw memulai khutbahnya, beliau mengucapkan,
الحمد لله نستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور انفسنا من يهد الله فلا مضلّ له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا اله إلاّ الله وأشهد أنّ محمّداعبده ورسوله أرسله بالحقّ بشيرا بين يدي الساعة من يطع الله تعالى ورسوله فقد رشد، ومن يعصهما فإنه لا يضرّ إلاّ نفسه ولا يضرّ الله تعالى شيئا
3. Berdiri di dalam kedua khutbah dan duduk diantaranya, sebagaimana Ibnu Umar berkata, “Ketika menyampaikan khotbah, Nabi saw senantiasa berdiri kemudian duduk lalu berdiri lagi sebagaimana yang dilakukan sekarang ini.” (HR. Jamaah).
4. Sunat untuk mengeraskan suara dan memendekkan khotbah serta memberikan perhatian kepadanya. Sebagaimana Ammar bin Yasir r.a berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Sesungguhnya, panjangnya shalat dan singkatnya khotbah menunjukkan pengertian seseorang dalam masalah agama. Dari itu, panjangkanlah shalat dan singkatkanlah khotbah.” (HR. Muslim dan Ahmad).
5. Haram berbicara ketika khotbah sedang berlangsung. Jumhur ulama sepakat bahwa mendengarkan khotbah itu wajib dan berbicara ketika khatib berkhutbah adalah haram, sekalipun pembicaraan itu berupa perintah untuk kebaikan atau larangan dari kejahatan dan tidak ada bedanya apakah seseorang itu dapat mendengar khotbah atau tidak. Sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas r.a bahwa Nabi Saw bersabda,
“Barangsiapa yang berbicara pada hari Jum’at di waktu imam berkhotbah maka ia seperti keledai yang memikul kitab, sedangkan siapa yang mengingatkan orang itu dengan kata-kata ‘diamlah’ maka tidak sempurna shalat jum’atnya.” (HR. Ahmad, Ibnu Abu Syaibah).
Perselisihan Ulama dalam masalah Shalat Jumat
Khutbah dengan bahasa Arab
Para ulama madzhab berbeda pendapat dalam masalah apakah khutbah harus disampaikan dengan bahasa arab? Dalam hal ini mereka berpendapat;
Hanafiyah mengatakan bahwa khutbah dengan selain bahasa Arab adalah dibolehkan. Baik ia mampu berbahasa Arab ataupun tidak, jamaahnya orang Arab ataupun bukan Arab.
Hanabilah mengatakan bahwa khutbah itu tidak sah selain bahasa Arab bagi orang yang mampu berbahasa Arab, baik jamaahnya orang Arab atau bukan Arab. Tetapi jika seorang khatib tidak mampu berbahasa Arab, maka dibolehkan.
Syafi’iyah mengatakan bahwa rukun-rukun khutbah harus disampaikan dengan bahasa Arab, adapun tambahan dari rukun-rukun tersebut boleh menggunakan selain bahasa Arab.
Malikiyah mengatakan bahwa khutbah harus disampaikan dengan bahasa Arab sekalipun jamaahnya bukan orang Arab yang tidak mengerti bahasa Arab. Jika tidak ada yang bisa bahasa Arab, maka gugurlah kewajiban shalat Jumat dari mereka.
Dapat kita ambil hikmah dari perbedaan di atas bahwa ulama yang membolehkan khutbah dengan selain bahasa Arab adalah agar jamaah mengerti dengan apa yang disampaikan oleh khatib dan mampu diamalkannya dalam segala kehidupannya.
Sedangkan bagi ulama yang mengharuskan bahasa Arab adalah agar jamaah termotivasi untuk belajar dan mengkaji bahasa yang dipilih Allah sebagai bahasa al-Quran.
Di Indonesia, ada sebagian masjid yang masih konsisten menyampaikan khutbah dengan bahasa Arab, sebelum khutbah mereka menyampaikan taushiyah terlebih dahulu kepada jamaah dengan bahasa mereka sendiri.
Adzan Jumat
Dalam fiqh Islam, Sulaiman Rasyid (1995:128) mengungkapkan bahwa berdasar pendapat yang mu’tamad bahwa adzan jumat hanya satu kali, yaitu sewaktu khatib sudah duduk di atas mimbar. Berdasarkan keterangan dari Imam Syafi’i, bahwa ia berkata: “Seorang yang saya percaya mengabarkan kepada saya bahwa adzan jumat itu di masa Nabi Saw dan masa khalifah Abu Bakar dan Umar adalah satu kali. Maka setelah khalifah ketiga (Utsman), ketika itu orang sudah bertambah banyak, maka disuruh adzan sebelum imam duduk di mimbar. Sejak waktu itu, terjadilah keadaan adzan seperti sekarang. Menurut Atha guru Imam Syafi’I, bahwa yang menambahkan adzan adalah pada masa Muawiyah. Lalu Imam Syafi’I bertanya, Manakah yang lebih benar. Atha menjawab: yang lebih baik ialah yang dilakukan di masa Rasulullah Saw.
Jumlah orang yang hadir pada shalat jumat.
Para Imam Madzhab sepakat bahwa shalat Jum’at itu tidak sah dilakukan kecuali dengan berjama’ah. Akan tetapi mereka berselisih pendapat tentang jumlah jama’ah yang sah untuk shalat Jum’at. Menurut Malikiyah batas minimal jumlah jama’ah yang sah untuk shalat Jum’at adalah dua belas orang laki-laki selain imam. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa jama’ah yang sah untuk shalat Jum’at adalah tiga orang selain imam sekalipun mereka tidak menghadiri khotbah Jum’at. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jama’ah yang sah untuk shalat Jum’at adalah empat puluh orang yang memenuhi syarat Jum’at sekalipun dengan imamnya.
Makmum yang Masbuq pada shalat Jum’at
Menurut madzhab Syafi’i, Maliki dan Ahmad bin Hanbal bahwa jika seorang tertinggal pada shalat Jum’at dan mendapati imam sudah memulai shalat Jum’at, hendaknya segera bertakbirat al-ihram. Jika sempat ruku’ bersama imam, maka ia dihitung mendapat satu raka’at. Tetapi jika ia sempat ruku’ bersama imam pada rakaat kedua saja, maka ia diharuskan menambah satu rakaat lagi setelah salamnya imam. Adapun jika makmum datang sedangkan imam telah mengangkat kepalanya dari ruku’ pada rakaat kedua, maka hilanglah kesempatannya untuk memperoleh shalat Jum’at. Walaupun demikian ia diharuskan segera untuk shalat bersama imam dengan niat shalat Dzhuhur empat rakaat. Tetapi berbeda menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf bahwa barangsiapa mendapati imam tasyahud akhir, maka ia hanya menambahkan dua rakaat setelah salamnya imam. (Sayid Sabiq, Fiq As-Sunnah I/265)
Hari Raya pada hari Jumat
Apabila hari raya seperti Idul Fitri atau Idul adha bertepatan pada hari Jumat, maka kewajiban shalat Jum’at menjadi gugur bagi mereka yang telah ikut bershalat Ied. Akan tetapi kewajiban shalat zhuhur mereka tidak menjadi gugur. Jelasnya mereka tetap diharuskan melaksanakan shalat Zhuhur. Namun ada sebagian pendapat meski tidak popular dan hanya berdasarkan pendapat seorang sahabat yang menyatakan bahwa barangsiapa telah ikut bershalat ‘Ied pada hari Jum’at, maka tidak ada lagi kewajiban shalat Jum’at maupun shalat Zhuhur. Mereka berpegang pada ucapan Ibnu Az-Zubair yang dirawikan oleh Abu Daud: “ Dua hari raya berhimpun pada hari ini. “ lalu ia (Ibnu Zubair) melaksanakan shalat Ied dua rakaat di pagi hari, dan tidak menambahkan apa pun selainnya, sampai saat ia melaksanakan shalat ashar. (Sayid Sabiq: Fiqh As-Sunnah I/267).

Bagaimana pun juga, penyelenggaraan shalat Jum’at tetap dianjurkan, agar dapat dihadiri oleh mereka yang bershalat Ied terlebih kepada yang tidak sempat bershalat Ied. Hal ini didasarkan oleh riwayat dari Zaed bin Arqam bahwa Rasulullah Saw shalat id kemudian meringankan (meninggalkan) shalat jumat dan bersabda: Barang siapa yang menghendaki shalat jumat, maka hendaklah shalat jumat. (Hadits Riwayat Khamsah dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim.).

Tetapi dalam riwayat lain menyatakan bahwa boleh meninggalkan shalat jumat karena telah menunaikan shalat ‘Id tetapi kebanyakan para sahabat tetap menunaikan shalat Jumat. Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah berkata:
“Telah berkumpul pada hari kamu ini dua ‘id, barang siapa yang menghendaki shalat jumat, maka shalat jumat sudah dianggap cukup, tetapi kami termasuk orang-orang yang menunaikan shalat jumat juga.”
Seorang imam berbeda dengan seorang khatib.

Dalam masalah ini, Ulama Malikiyah berpendapat bahwa seorang Imam shalat Jum’at harus orang yang menjadi khatib Jum’at. Jika yang mengimami mereka itu bukan yang menjadi khatib Jum’at, maka shalat tersebut batal, kecuali apabila ada suatu halangan bagi khatib yang membolehkan mundur, seperti hidungnya berdarah atau wudhunya batal, maka yang demikian itu sah, atau ada orang lain yang menggantikannya bila udzurnya itu tidak dapat ditunggu dalam waktu dekat. Jika dapat ditunggu, maka wajib ditunggu. Batas waktu menunggu adalah selama kurang lebih dua rakaat shalat ‘Isya.

Shalat menempati bagian amat penting dalam kehidupan seorang muslim dalam menyerahkan diri sepenuhnya ke dalam perlindungan Tuhannya Yang Maha Rahman, oleh karena itu, Allah Swt mewajibkan kepada setiap muslim yang sudah memenuhi syarat-syaratnya untuk shalat lima kali sehari semalam, yaitu Subuh, Zhuhur, Asar, Maghrib dan Isya’. Semua ulama sepakat bahwa meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja, karena pengingkaran terhadapnya adalah kufur dan dianggap keluar dari agama Islam. Akan tetapi jika perbuatan itu semata-mata karena malas atau kesibukan lain yang tidak dapat dibenarkan dalam pandangan agama, banyak ulama diantaranya, Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i) tidak menganggap sebagai kufur, tetapi dianggap fasiq (durhaka) dan harus didesak segera bertaubat.

Adapun waktu shalat fardhu adalah sebagai berikut:
Shubuh, sejak saat fajar menyingsing sampai terbit matahari. Sebaik-baik pelaksanaannya ialah segera setelah masuk waktunya.
Zhuhur, waktunya sejak saat zawal, yakni ketika matahari mulai condong dari pertengahan langit kea rah barat, dan berakhir ketika bayang-bayang segala suatu telah sama dengan panjang sebenarnya.
Asar, waktunya sejak berakhirnya waktu Zhuhur sampai terbenamnya matahari. Sebaik-baik waktu pelaksanaanna adalah segera setelah masuk waktu Asar.
Maghrib, waktunya setelah terbenam matahari sampai saat terbenamnya syafaq merah kira-kira satu jam atau lebih, setelah terbenamnya matahari. Sebaik-baik pelaksanaannya adalah di awal waktunya. Menurut An Nawawi dalam Syarah Muslim, masih tetap boleh melaksanakannya sampai sebelum saat menghilangnya syafaq merah. Akan tetapi, yang demikian itu hukumnya makruh.
Isya, waktunya sejak terbenamnya syafaq merah sampai saat menyingsingnya fajar (yakni saat masuknya waktu shubuh). Adapun sebaik-baik waktu melaksanakannya ialah menjelang tengah malam. Akan tetapi apabila khawatir tertidur, atau memberatkan bagi jama’ah yang shalat di masjid, boleh saja dilaksanakan di awal malam.
Adapun shalat Sunnat terbagi kepada dua macam, yaitu mutlak dan muqoyad. Untuk sunat mutlak cukuplah seseorang berniat shalat saja. Sedangkan muqayad itu terbagi kepada dua macam, yaitu shalat sunat yang mengikuti shalat fardu dan shalat sunat yang tidak mengikuti shalat fardhu.
Shalat sunat yang mengikuti shalat fardhu disebut shalat rawatib. Shalat rawatib terbagi kepada muakkad dan ghairu muakad. Shalat rawatib muakkad meliputi shalat sunat fajar (qabla subuh), dua rakaat sebelum dan sesudah dzuhur, dua rakaat sesudah shalat maghrib dan dua rakaat sesudah shalat Isya. Sedangkan shalat sunat yang tidak mengiringi shalat fardhu adalah sebagai berikut:
1. Shalat Witir, adalah shalat yang dilaksanakan dengan jumlah rakaat ganjil, minimal satu rakaat dan maksimal 13 rakaat . Shalat witir dilakukan setelah shalat Isya sampai terbitnya fajar. Shalat witir ini sangat dianjurkan, bahkan menurut ulama Hanafiyah shalat witir adalah wajib meskipun tidak termasuk kelima shalat fardhu. Alasan yang digunakan oleh mereka adalah sabda Rasulullah Saw: “Shalat witir adalah kewajiban atas setiap muslim; barangsiapa ingin melaksanakannya sebanyak lima rakaat, silakan melakukannya. Dan barangsiapa ingin melaksanakannya tiga rakaat, silakan melakukannya. Dan barangsiapa ingin melaksanakannya sebanyak satu rakaat saja, silakan melakukannya.” (HR. Abu Daud).
Bacaan surat dalam shalat witir apa pun dalam ayat-ayat al-Quran boleh untuk dibaca. Ali r.a pernah berkata, ‘Di dalam al-Quran itu tidak ada yang dapat diabaikan. Oleh sebab itu, dalam shalat witir bolehlah engkau membaca sesuka kamu dari ayat-ayat al-Quran.’ Akan tetapi disunnahkan untuk membaca surat al-A’la pada raka’at pertama, al-Kafirun pada raka’at kedua dan al-Ikhlas dan al-Mu’awwidzatain pada rakaat ketiga.
Pelaksanaan shalat witir boleh dilakukan dengan tiga rakaat sekaligus yakni satu tasyahhud dan satu salam. Boleh juga dilaksanakan dengan dua kali tasyahhud dan satu salam seperti shalat maghrib dan juga dilaksanakan dengan dua kali salam (jika dilaksanakan dalam tiga raka’at).
Shalat witir boleh dilaksanakan dengan menggunakan qunut, qunut itu dapat dilakukan sebelum ruku’ setelah membaca surat dan dapat pula sesudah bangkit dari ruku’. Humaid bertanya kepada Anas tentang qunut; apakah ia sebelum ruku’ atau sesudahnya?’ ia pun menjawab, ‘kebiasaannya, kami membacanya sebelum ataupun sesudahnya. (HR. Ibnu Majah dan Muhammad bin Nashr). Adapun pelaksanaan witir riwayat shahih dilaksanakan pada pertengahan bulan Ramadhan.
2. Shalat Tahajjud atau Qiyamul lail . Tahajjud artinya meninggalkan tidur (bangun tidur untuk shalat qiyamullail. Waktunya dimulai setelah mengerjakan shalat’Isya sampai masuknya waktu fajar. Akan tetapi yang lebih afdhal ialah di waktu malam. Shalat tahajjud ini sangat dianjurkan karena banyak mengandung hikmah sebagaimana terungkap dalam firman Allah Swt: “dan pada sebagian malam hari, bertahajjudlah sebagai (ibadah) tambahan untukmu; moga-moga Tuhanmu mengangkatmu ke tempat terpuji.” (QS. Al-Israa(17):79).
Waktu yang paling baik melaksanakan qiyamullail adalah pada saat sepertiga malam yang akhir sudah tiba. Sebagaimana hadits dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah Saw bersabda, “pada tiap malam, Tuhan kita azza wa jalla turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang terakhir. Pada saat itu, Allah berfirman, ‘Barangsiapa yang berdoa pada Ku pasti Aku kabulkan. Barangsiapa yang memohon pada Ku pasti Kuberi. Barangsiapa yang meminta ampun kepadaKu pastilah Ku-ampuni. (HR. Jama’ah).
Shalat qiyamullail tidak mempunyai bilangan yang terbatas atau tertentu. Dengan demikian, jika seseorang mengerjakan shalat sunah witir satu rakaat setelah shalat Isya, maka ia sudah dikatakan mengerjakan shalat malam.
Adapun keutamaan shalat malam melebihi pahala shalat yang dilaksanakan di masjid nabawi dan masjidil haram. Dari Anas r.a bahwa Nabi Saw bersabda: “Shalat di masjidku ini sama nilainya dengan sepuluh ribu shalat. Shalat di dalam masjidil haram sama dengan seratus ribu shalat. Shalat di medan jihad sama dengan dua juta shalat. Akan tetapi, yang lebih banyak dari semuanya itu ialah dua rakaat yang dilaksanakan oleh seorang hamba pada waktu tengah malam.” (HR. Abu Syaikh dan Ibnu Hibban).
3. Shalat Tarawih, tarawih secara bahasa adalah istirahat, karena shalat ini banyak melakukan istirahat setiap selesai dua rakaat atau empat rakaat. Sebagian ulama menganjurkan shalat tarawih sebanyak delapan rakaat ditambah dengan tiga rakaat witir. Hal ini didasarkan kepada hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a., bahwa Nabi saw. tidak pernah shalat sunnah malam hari, lebih daripada sebelas rakaat. Sedangkan sebagian ulama lain menganjurkan bahwa jumlah rakaat tarawih adalah dua puluh ditambah tiga rakaat witir. Hal ini didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi bahwa pada masa Umar, Utsman dan Ali, kaum muslim melaksanakan shalat tarawih sebanyak duapuluh rakaat. Dan jumlah itulah yang disetujui oleh mayoritas para ahli fiqh, dari kalangan mazhab Hanafi, Hanbali, Syafi’i, Daud, Ats-Tsauri dan lain-lain. Diantara dua pendapat ini, keduanya dapat dianggap benar, masalahnya karena kualitas shalat 8 rakaat pada zaman Rasul berbeda dengan 8 rakaat pada zaman Umar. Oleh karena itu Umar berijtihad menambah bilangan rakaat tarawih agar kualitas shalatnya sama dengan shalatnya Rasulullah Saw. jika dicontohkan, 8 rakaat zaman Rasul menempuh waktu sampai empat jam dan 20 rakaat zaman Umar pun sama menghabiskan waktu empat jam dengan tolok ukur selama pelaksanaan shalat tarawih dalam sebulan, al-Quran yang 30 juz dapat ditamatkannya.
Adapun bacaan surat dalam shalat tarawih (qiyamu ramadhan) tidak terdapat suatu keterangan yang jelas dari Nabi Saw, mengenai bacaan surah. Karena shalat ini pada umumnya dilaksanakan 20 rakaat, maka surat yang dibaca perlu berurutan agar tidak keliru dalam menghitung jumlah rakaat.
4. Shalat Dhuha, permulaan waktu dhuha adalah ketika matahari sudah naik, yaitu kira-kira sepenggalah dan berakhir hingga waktu matahari tergelincir, tetapi disunnahkan untuk mengakhirkannya hingga matahari agak tinggi dan panas agak terik. Paling sedikit jumlah rakaat shalat dhuha adalah dua rakaat dan maksimal yang pernah dikerjakan Rasulullah adalah delapan rakaat. Tetapi menurut riwayat lain adalah dua belas rakaat. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa jumlah rakaat shalat dhuha tidak terbatas. Ummu Hani’ berkata: Nabi Saw pernah mengerjakan shalat dhuha sebanyak delapan rakaat. Pada setiap dua rakaat, beliau mengucapkan salam.” (HR. Abu Daud dengan sanad shahih). Aisyah pun pernah berkata: “Nabi Saw mengerjakan shalat dhuha sebanyak empat rakaat, lalu beliau menambah rakaat berikutnya tanpa ada hitungan yang pasti. (HR. Ahmad, Muslim, dan Ibnu Majah).
Adapun keutamaan shalat Dhuha adalah bahwa Allah akan mencukupi segala kebutuhan manusia yang melaksanakan shalat ini. Sebagaimana riwayat dari Nuwas bin Sam’an r.a bahwa Nabi Saw, bersabda: Allah Azza wa jalla berfirman: Wahai anak Adam, janganlah sekali-kali engkau malas mengerjakan empat rakaat pada permulaan siang (yakni shalat dhuha). Sebab jika engkau senantiasa mengerjakannya,nantinya Aku akan mencukupkan kebutuhanmu pada sore harinya. (HR. Hakim, Thabrani, dan semua perawinya dapat dipercaya).
5. Shalat Tahiyatul Masjid, yaitu shalat dua rakaat setiap kali masuk masjid.
6. Shalat Istikharah
Setiap orang tentunya dalam kehidupan ini dihadapi oleh berbagai masalah, seperti dihadapi oleh berbagai pilihan (alternatif) yang membuat dirinya bingung, ia pun ragu untuk melakukan hal yang terbaik diantara alternatif-alternatif tersebut. Ia pun disunnahkan mengerjakan shalat dua rakaat yang dikenal dengan shalat istikharah. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Jabir r.a:
Rasulullah Saw pernah mengajarkan kepada kami cara mengerjakan shalat istiharah dalam segala hal, seperti biasanya beliau mengajarkan cara membaca surah al-Quran. Beliau bersabda, ‘Jika salah seorang diantara kamu hendak melakukan sesuatu, maka terlebih dahulu hendaklah mengerjakan shalat dua rakaat sunah bukan wajib. Setelah itu membaca, “Ya allah, saya memohon piihan menurut pengetahuan Mu dan memohon ketetapan dengan kekuasaan Mu. Saya memohon karunia Mu yang besar karena sesungguhnya Engkaulah Yang berkuasa dan saya tidak memiliki kekuasaan. Engkaulah Yang Maha Tahu sedangkan saya tidak mengetahui apapun. Engkau Maha Mengetahui segala perkara gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urrusanku ini..............(sebutkan keperluannya) baik untukku, dalam agamaku, kehidupanku, serta akibat urusanku-atau seperti sabda beliau, ‘baik di masa sekarang atau masa akan atang, maka takdirkanlah untukku, mudahkanlah, serta berikanlah keberkahan kepadaku di dalamnya. Sebaliknya, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini............(sebut keperluannya) jelek untukku, dalam agamaku, kehidupanku serta akibat urusanku-atau sabda belia, ‘baik di masa sekarang atau masa yang akan datang’ – maka jauhkanlah hal itu dari diriku dan jauhkanlah diriku darinya, serta takdirkanlah untukku yang terbaik saja di mana saja berada, kemudian puaskanlah hatiku dengan takdir-Mu itu.”
Shalat istikharah ini mengajarkan kepada umat Islam, untuk memikirkan terlebih dahulu apa yang akan direncanakannya, kalau perlu dilaporkan dan mohon persetujuan kepada-Nya. Jika itu kebaikan buatnya dalam agama dan kehidupannya, memohon untuk dimudahkan dan dilancarkan. Tetapi jika rencana itu jelek bagi dirinya dalam agama dan kehidupan, mohon dijauhkan dan digagalkan rencana itu.
Shalat istikharah dilaksanakan kapan pun, namun sebaiknya dilaksanakan pada malam hari, adapun rakaat shalat istikharah adalah dua raka’at.
7. Shalat Tasbih, shalat yang dilaksanakan dengan memperbanyak membaca tasbih, tahmid dan tahlil (subhanallah, wal hamdulillah walailaha illallah). Shalat ini dapat dilaksanakan empat rakaat. Adapun tata cara shalatnya sama dengan shalat lainnya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah Saw bersabda kepada Abbas bin Abdul Muthalib, ‘Wahai Abbas, pamanku, sukakah Paman kuberi hadiah istimewa, yaitu kuajari sepuluh macam perbuatan yang dapat menghapus selupuh macam dosa. Jika paman mengerjakannya, maka Allah mengampuni dosa-dosa Paman, baik yang telah lalu maupun yang akan datang, yang lama dan yang baru, yang tanpa sengaja dan yang sengaja, yang kecil dan yang besar, yang sembunyi dan yang terang-terangan. Sepuluh perbuatan itu adalah mengerjakan shalat empat rakaat, tiap rakaat membaca al-Fatihah dan surah. Selesai membaca itu pada rakaat pertama, lalu ketika masih berdiri, bacalah, ‘Subhanallah wallahu akbar’ sebanyak lima belas kali. Kemudian ruku’. Dalam ruku’ itu membaca seperti di atas sebanyak sepuluh kali. Kemudian i’tidal ari ruku’ dan baca lagi sepuluh kali. Turun untuk mengerjakan sujud dan baca lagi sepuluh kali. Angkat kepala dari sujud dan baca pula sepuluh kali. Sujud lagi dan baca pula sepuluh kali. Angkat kepala dari sujud (sebelum berdiri) dan di waktu duduk membaca itu pula sepuluh kali. Jadi jumlahnya ada tujuh puluh lima kali dalam setiap rakaat. Itulah yang harus dikerjakan dalam setiap rakaat dari keempat rakaat shalat ini. Jika dapat mengerjakan sekali dalam sehari, maka kerjakanlah. Jika tidak mampu, bolehlah seminggu sekali pada hari Jumat. Kalau tidak mampu juga, maka kerjakanlah setahun sekali. Jika masih tidak mampu, maka sekali dalam seumur hidup pun boleh’” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah).
8. Shalat Hajat, shalat hajat adalah shalat kebutuhan, artinya setiap manusia memiliki banyak kebutuhan, agar kebutuhan mendapat ridha dan kemudahan untuk mencapainya, diperlukan permohonan kepada Allah Swt, karena hanya kepada-Nya lah yang mampu memenuhi segala kebutuhan seorang hamba manusia. Hadits tentang shalat Hajat diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdud Darda’ bahwa Nabi Saw bersabda:
“Barangsiapa berwudhu dan menyempurnakannya, kemudia mengerjakan shalat dua rakaat dengan sempurna, maka ia diberi Allah apa saja yang diminta, baik segera maupun lambat.”
9. Shalat Taubat. Setiap manusia pastinya tidak luput dari dosa, manusia yang baik bukanlah manusia yang tidak pernah berdosa, tetapi manusia yang baik adalah manusia yang pernah berbuat dosa tetapi menyadari perbuatannya dan bertaubat untuk tidak mengulangi perbuatan dosanya itu. Dalam hal ini, Rasulullah Saw menganjurkan untuk shalat Taubat. Sebagaimana keterangan Abu Bakar ra:
“Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Tiada seorang pun yang berdosa, kemudian ia berwudhu, lalu mengerjakan shalat serta memohon ampun kepada Allah, melainkan ia diampuni oleh-Nya.’ Selanjutnya ia membaca ayat “Orang-orang yang mengerjakan keburukan atau menganiaya diri sendiri, lalu ingat kepada Allah dan memohon ampun atas dosa-dosanya. Dan memang siapa lagi yang kuasa mengampuni dosa-dosa itu selain Allah, lagi pula mereka tidak terus-menerus berbuat dosa, sedangkan mereka juga mengetahui sendiri. Untuk mereka ini disediakan balasan pahala ampunan dari Allah serta surga yang mengalir beberapa sungai di bawahnya, merka tetap berdiam di sana untuk selama-lamanya’.” (HR. Abu Daud, an-Nasai, Ibnu Majah).
10. Shalat Dua Hari Raya. Shalat dua hari raya, idul fitri dan idul adha dilaksanakan dua rakaat, dengan dua khutbah. Waktu pelaksanaan Hari Raya adalah mulai terbit matahari setinggi kira-kira tiga meter dan berakhir apabila telah tergelincir matahari. Selain itu, ada beberapa ketentuan dalam shalat dua hari raya adalah, disunatkan mandi, memakai wangi-wangian, dan mengenakan pakaian yang terbaik, makan terlebih dahulu sebelum shalat Idul Fitri dan sebaliknya pada Idul Adha, keikutsertaan wanita dan anak-anak, menempuh jalan yang berbeda,
11. Shalat Gerhana, terdapat dua gerhana, yaitu gerhana matahari dan gerhana bulan. para ulama sepakat bahwa shalat kusuf adalah sunnah muakkad, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Shalat itu lebih utama dikerjakan secara berjamaah, walaupun berjamaah bukan menjadi syarat utama sahnya shalat tersebut. Shalat gerhana tidak disyariatkan untuk adzan tetapi ketika menjelang pelaksanaannya, muadzin cukup mengumandangkan lafazh ‘Asshalatu Jami’ah.
12. Shalat Istisqa, yaitu shalat untuk memohon kepada Allah agar diturunkan hujan ketika terjadi kekeringan tanah dan lamanya musim kemarau dengan cara sebagaimana dijelaskan berikut ini:
a. Hendaknya shalat dilaksanakan dengan berjamaah sebanyak dua rakaat tanpa azan dan iqamat pada waktu kapanpun, selain waktu yang dimakruhkan. Pada rakaat pertama membaca surat al-A’la dan rakaat kedua membaca al-Ghasiah. Kemudian imam khotbah, baik setelah shalat maupun sebelumnya. Selesai khubah. Nabi Saw keluar untuk mengerjakan shalat istisqa’ disertai sikap merendahkan diri, perlahan-lahan, khusyu, mengenakan pakaian biasa sehari-harinya, serta penuh harapan. Beliau mengerjakan shalat dua rakaat sebagaimana shalat Hari Raya, tetapi tidak berkhutbah seperti yang sekarang ini.” (HR. Bukhari, Muslim).
b. Cara kedua adalah memohon hujan ketika berkhotbah pada hari Jumat. Hendaknya imam membaca doa kemudian diamini oleh jamaah shalat.
c. Cara lainnya adalah dengan semata-mata berdoa, bukan pada hari Jumat dan bukan pula dengan shalat istisqa di dalam atau di luar masjid.

Ada beberapa ikhtilaf (perbedaan) ulama yang berkembang di Indonesia berkaitan dengan ibadaha shalat:
1. Bacaan takbiratul ihram
Semua ulama mazhab sepakat bahwa takbiratul ihram adalah rukun shalat yang tidak dapat ditinggalkan, jika tidak membaca takbiratul ihram, maka shalatnya tidak sah. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
مفتاح الصلاة الطهور وتحريمها التكبير وتحليلها التسليم
“Kunci shalat adalah bersuci dan penghormatan shalat adalah takbir serta pembebasan shalat adalah salah.”
Tahrimnya shalat adalah takbir, artinya setelah melakukan takbir diharamkan melakukan sesuatu yang bukan gerakan atau ucapan shalat dan tahlilnya shalat adalah salam, artinya bebas melakukan segala sesuatu setelah melakukan salam dari shalat.
Adapun ulama mazhab berbeda pendapat mengenai bacaan takbir. Menurut tiga ulama mazhab yaitu Imam Syafi’i, Imam Maliki dan Imam Ahmad bahwa bacaan takbir adalah Allahu Akbar. Sedangkan menurut Imam Hanafi bahwa bacaan takbir adalah lafazh-lafazh yang memiliki makna pengagungan kepada Allah dengan syarat lafazh-lafazh tersebut terdiri dari dua kalimat. Seperti lafazh:
Allahu Ghafur
Allahu Rahman
Allahu Rahim
Allahu Karim.
Karena semua lafazh-lafazh tersebut bertujuan mengagungkan atau membesarkan nama-nama Allah.
2. Meletakkan tangan di bawah dada
Dalam fiqh madzahib al-arba’ah, Al-Jaziri mengungkapkan bahwa diantara para imam Madzhab berbeda pendapat tentang meletakan tangan ketika shalat:
Imam Malikiyah : meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri diletakkan di atas pusar dan di bawah dada.
Hanafiyah : meletakan tangan kanan di atas tangan kiri baik laki-laki maupun perempuan, tetapi jika laki-laki diletakkan di bawah pusar, dan bagi perempuan di atas dadanya.
Syafi’iyah: Disunnahkan bagi laki-laki dan perempuan meletakkan perut telapak tangannya di atas luar telapak kirinya diletakan di bawah dada dan di atas pusar agak kesamping kiri.
Hanabilah : disunnahkan bagi laki-laki dan perempuan meletakan perut telapak tangannya di atas luar telapak tangan kirinya dan meletakkannya di bawah pusar.
Dari perbedaan di atas, menurut Kamal bin Hammam yang dikutip oleh Sayid Sabiq bahwa tidak ada hadits yang sah yang mewajibkan menaruh tangan di bawah dada maupun di bawah pusar. Dan itulah yang biasa diamalkan oleh imam madzhab.
Tetapi ada beberapa riwayat bahwa Nabi saw menaruh kedua tangannya di atas dada, dari Hulb ath tha’i, katanya:
رايت النبيّ صلى الله عليه وسلم يضع اليمنى على اليسرى على صدره فوق المفصل (رواه احمد وحسنه الترمذي)
“Saya lihat Rasulullah Saw menaruh tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dada yakni di atas pergelangannya.” (HR Ahmad dan dinilai Hasan oleh Turmudzi)

Dan diterima dari Wail bin hajar, katanya:
صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم فوضع يده اليمنى على يده اليسرى على صدره رواه ابن خزيمة وصححه ورواه ابو داود والنسائي بلفظ ثم وضع يده اليمنى على ظهر كفه اليسرى والرسغ والساعد
“Saya shalat bersama Rasulullah Saw, maka diletakkannya tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dada. (HR. Ibnu Khuzaimah dan dishahihkan serta diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasai dengan lafadz: lalu ditaruhnya di atas pergelangan dan lengan. Artinya ditaruhnya tangan kanan di atas pungguhng tangannya yang kiri berikut pergelangan dan lengannya. )
3. Bacaan doa iftitah
Menurut al-Jaziri dalam kitabnya al-fiqh ala madzahib al-arba’ah (hal 231) bahwa membaca doa iftitah menurut tiga imam mazhab seperti Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah adalah sunnah, berbeda dengan mereka, ulama golongan Malikiyah berpendapat bahwa hukum membaca doa iftitah adalah makruh berdasarkan pendapat yang masyhur di kalangan mereka. Tetapi sebagian golongan dari mereka , menghukumi mandub.

Adapun bacaan doa iftitah juga diperselisihkan oleh ulama mazhab.
Seperti menurut ulama Hanafiyah adalah:
سبحانك اللهم وبحمدك وتبارك اسمك وتعالى جدك ولا اله غيرك
Hal ini didasarkan dari Umar bahwa ia mengucapkan takbiratul ihram
سبحانك اللهم وبحمدك وتبارك اسمك وتعالى جدك ولا اله غيرك (رواه مسلم بسند منقطع والدارقطنى موصولا وموقوفا على عمر)
Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah adalah:
وجهت وجهي للذى فطر السموات والارض عالم الغيب والشهادة حنيفا مسلما وما انا من المشركين ان صلاتى ونسكي ومحياي ومماتى لله رب العالمين لا شريك له وبذلك امرت وانا من المسلمين
Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw:
عن ابن عمر قال بينما نحن نصلى مع رسول الله صلى الله عليه وسلم اذ قال رجل من القوم الله اكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة واصيلا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم من القائل كلمة كذا وكذا قال رجل من القوم انا يا رسول الله قال عجبت لها فتحت لها ابواب السماء قال ابن عمر فما تركتهن منذ سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ذلك.
(Dari Ibnu Umar berkata: kami shalat bersama Rasulullah Saw ketika seorang lelaki dari suatu kaum berkata: Allahu Akbar kabira wa al-hamdu lillhi katsira wa subhanallahi bukratan wa ashila. Rasul pun bersabda setelah shalat. Siapa yang berkata seperti itu? Seorang lelaki dari kaum itu menjawab, saya ya Rasulullah Saw. Rasul pun bersabda: aku sangat terkagum dengan kalimat itu. Karena semua pintu rahmat di langit terbuka. Ibnu Umar berkata: aku tidak pernah meninggalkan kalimat itu sejak Rasul bersabda demikian.

Sumber lain adalah hadits dari Ali ra.
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا قام الى الصلاة كبر ثم قال: وجهت وجهي للذي فطر السموات والارض حنيفا مسلما وما انا من المشركين ان صلاتى ونسكى ومحياي ومماتى للله رب العالمين لا شريك له وبذالك امرت وانا من المسلمين: اللهم انت الملك لا اله الا انت، انت ربي وانا عبدك، ظلمت نفسى واعترفت بذنبي فاغفرلى ذنوبى جميعا، انه لا يغفر الذنوب الا انت واهدنى لأحسن الأخلاق، لا يهدي لاحسنها الا انت، واصرف عنىّ سيّئها الا انت، لبيك وسعديك والخير كله فى يذيك، والشرّ ليس اليك وانا بك واليك، تباركت وتعاليت أستغفرك واتوب اليك، (رواه احمد ومسلم والترمذى وابو داود وغيرهم)

Apabila Rasulullah saw berdiri hendak mengerjakan shalat, diucapkannya takbir kemudian dibacanya: “wajjahtu wajhiya lilladzi fathara’s samawati wa al ardha hanifa’m muslima’w wama ana min al musyrikin. Inna sholati wa nusuki wamahyaya wa mamati lillahirabbil alamin. (Aku hadapkan mukaku ke hadirat Tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi dengan tunduk dan menyerahkan diri, dan tiadalah aku dari golongan musyrikin. Sesungguhnya shalatku dan ibadahku, hidup serta matiku, adalah bagi Allah penguasa seluruh alam.
Allahumma anta al-maliku, la ilaha illa anta, anta rabbi waana abduka zhalamtu nafsi wa’taraftu bidzanbi fa’ghfir li dzunubi jami’a, innahu la yaghfiru’dz dzunuba illa anta, wahdini liahsani’l akhlaq, la yahdi liahsaniha illa anta, washrif ‘anni sayyiaha la yashrifuha ‘anni sayyiaha illa anta, labbaika wa sa’daika, wa al-khairu kulluhu fi yadaika, wa al-syarru laisa ilaika, wa ana bika wa ilaika, tabarakta wata’alaita, astaghfiruka wan atubu ilaika. (Ya Allah, engkaulah Tuhanku dan aku adalah hamba-Mu, aku telah berbuat aniayaterhadap diriku dan mengakui kesalahanku, maka ampunihlah dosaku semuanya, dan tiadalah yang dapat mengampuni dosa ini kecuali Engkau. Dan tunjukilah daku kepada akhlak ter baik, tak ada yang akan menuntun kepada akhlak yang terbaik itu kecuali Engkau; dan jauhkanlah daku dari akhlak jelek, tak ada yang dapat jauhkan daku dari akhlak jelek itu selain Engkau. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allahdan aku patuhi perintah-Mu. Kebaikan itu seluruhnya ada di tangan-Mu, sedang kejahatan itu tak dapat dipakai untuk menghampirkan diri kepada-Mu. Aku ini hanya dapat hidup dengan-Mu dan akan kembali kepada-Mu, Maha berkah Engkau dan Maha Tinggi, aku mohon keampunan dan bertaubat kepada-Mu (HR. Ahmad, Muslim, Turmudzi, Abu Daud dan lainnya). (Sayid Sabiq Fiqh Sunnah 264)
As-Syafi’i dalam kitabnya al-Umm berkata: Dan doa iftitah inilah seluruhnya, kami suka membacanya, dan kami perintahkan serta kami menyukainya sebagaimana yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw, jangan dikurangi sedikitpun daripadanya, dan jadikanlah pengganti wa ana awwalul mislimin dengan ‘Wa ana minal muslimin.
Tampaknya gabungan dua hadits ini yang dipakai oleh Nahdhiyyin, namun tidak sampai pada keseluruhannya. Lebih lengkap bacaan Nahdyiyin adalah:
الله اكبر كبيرا والحمدلله كثيرا وسبحان الله بكرة واصيلا انى وجهت وجهي للذي فطر السموات والارض حنيفا مسلما وما انا من المشركين ان صلاتى ونسكي ومحياي ومماتى لله رب العالمين. لا شريك له وبذلك امرت وانا من المسلمين.
Menurut ulama Hanabilah bacaan doa iftitah sama dengan bacaan ulama Hanafiyah, tetapi boleh juga menggunakan bacaan seperti ulama Syafi’iyah, bahkan yang lebih utama adalah bergantian, terkadang memakai bacaan Hanafiyah dan terkadang bacaan Syafi’iyah.
Menurut ulama Malikiyah bacaan doa iftitah adalah makruh, karena mayoritas sahabat meninggalkan doa ini. Jika ada hadits shahih yang membolehkan bacaan doa iftitah ini, maka bacaannya itu adalah seperti pendapat Hanafiyah. Tetapi golongan Malikiyah tetap yakin bahwa membaca doa iftitah adalah makruh berdasar pendapat yang masyhur di kalangan mereka.(fiqh empat madzhab al-jaziri: juz 1 hal 231)

Selain bacaan iftitah di atas, ada bacaan doa iftitah yang diamalkan oleh Muhammadiyah yaitu:

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا كبر فى الصلاة سكت هنيهة قبل القراءة. فقلت: يا رسول الله بابى انت وامى، ارايت سكوتك بين التكبير والقراءة ما تقول؟ قال اقول : اللهم باعد بينى وبين خطاياي كما باعدت بين المشرق والمغرب، اللهم نقنى من الخطايا كما ينقى الثوب الابيض من الدنس، اللهم اغسلني من خطاياي بالثلج والماء والبرد. (رواه البخارى ومسلم واصحاب السنن الا الترمذي)
Dari Abi Hurairah r.a berkata: ‘Adalah Rasulullah Saw apabila bertakbir untuk shalat, beliau diam sebentar sebelum membaca (fatihah)’, kemudian aku bertanya kepadanya dengan nama ayah dan ibuku: ‘Terangkanlah kepada kami apa yang Engkau baca diwaktu diam antara takbir dan fatihah:’ Rasulullah Saw menjawab: ‘Kami membaca: Ya Allah! Jauhkanlah antaraku dan kesalahanku sebagaimana Engkau jauhkan timur dan barat. Ya Allah! Bersihkanlah segala kesalahanku sebagaimana dibersihkannya baju yang putih dari kotoran. Ya Allah! Bersihkanlah kesahanku dengan air, salju dan embun”. (HR. Bukhari Muslim).
4. Membaca ta’awwudz
Membaca ta’awwudz menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah adalah sunnah, sedangkan menurut ulama Malikiyah hokum membaca ta’awwudz adalah makruh. Secara rinci dijelaskan sebagai berikut:
Hanafiyah: membaca taawwudz pada rakaat pertama adalah sunnah dan dibaca setelah takbiratul ihram. Tidak boleh membaca taawwudz selain pada rakaat pertama baik bagi imam, munfarid atau makmum.
Syafiiyah: hokum membaca taawwudz dengan sirri adalah sunnah pada setiap rakaat dan dibaca setelah takbiratul ihram.
Hanabilah: hokum membaca taawudz adalah sunnah pada rakaat pertama, namun bacaan taawwudznya adalah:
اعوذ بالله السميع العليم من الشيطان الرجيم
Malikiyah hokum membaca taawwudz baik secara sirri maupun jahr pada shalat fardhu adalah makruh. Adapun pada shalat sunnah hokum membaca taawudz adalah boleh dengan cara sirri. Sedangkan dengan cara jahr hukumnya sunnah. (fiqh madzhab al-jaziri: 232)
5. Membaca basmalah pada al-fatihah
Hukum membaca basmalah diperselisihkan oleh para ulama mazhab.
Ulama Hanafiyah: bahwa hukum membaca basmalah adalah sunnah dengan sirri pada awal setiap rakaat, baik shalat sirriyah (Dzhur dan Ashar) maupun jahriyah (Maghrib, Isya dan Shubuh). Membaca basmalah ini khusus bagi imam dan munfarid. Adapun bagi makmu tidak boleh membaca. Karena anggapan ulama hanafiyah bahwa bacaan makmum adalah bacaan imam.
Membaca tasmiyah adalah setelah doa iftitah dan taawudz. Apabila membaca basmalah kemudian taawudz, maka bacaan basmalah harus diulang. Tetapi apabila membaca lupa basmalah dan sudah membaca al-fatihah, maka basmalah tidak perlu diulang. Apabila membaca basmalah setelah al-fatihah atau surah hukumnya adalah makruh. Dalam keadaan seperti ini lebih utama meninggalkan basmalah.
Ulama Malikiyah: hokum membaca basmalah adalah sama dengan membaca taawudz yaitu makruh pada shalat fardhu dan Sunnah membaca basmalah pada shalat Sunnah.
Syafiiyah: bahwa basmalah adalah bagian dari ayat al-fatihah, sehingga membaca basmalah adalah wajib bukan sunnah baik pada shalat sirriyah maupun jahriyah. Membaca basmalah dengan jahr pada shalat jahriyah dan membaca sirri pada shalat sirriyah.
Hanabilah: membaca basmalah adalah sunnah karena bukan termasuk ayat dari al-fatihah. Membaca basmalah sebelum taawudz tidak perlu diulang sebagaimana pendapat Hanafiyah. (fiqh Madzhab al-jaziri: 232-233)
6. Membaca al-Fatihah bagi makmum
Semua ulama mazhab sepakat bahwa membaca al-fatihah adalah salah satu rukun shalat yang harus dipenuhi, jika al-fatihah ditinggalkan, maka shalatnya menjadi tidak sah. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
“Tidak sah shalat seorang yang tidak membaca al-fatihah”.
Tetapi ulama mazhab berbeda pendapat tentang membaca al-fatihah bagi makmum. Al-Jaziri mengungkapkan pendapat mereka:
Syafi’iyah berpendapat bahwa membaca al-fatihah adalah wajib bagi makmum, kecuali makmum masbuk.
Hanafiyah berpendapat bahwa membaca al-fatihah adalah makruh tahrim bagi makmum baik pada shalat sirriyah atau jahriyah. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw:
من كان له إمام فقراءة الإمام له قراءة
“Barang siapa yang mempunyai imam, maka bacaan imam adalah bacaannya”.
Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa membaca al-fatihah adalah sunnah bagi makmum pada shalat sirriyah dan makruh pada shalat jahriyah. Karena jika pada shalat jahriyah makmum diwajibkan mendengarkan bacaan imam.

Dari perbedaan di atas dapat diambil benang merahnya adalah mereka sepakat bahwa mengganggu konsentrasi imam adalah tidak dibolehkan. Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah menginginkan bahwa makmum diharuskan mendengarkan bacaan imam, sedangkan Syafi’iyah sekalipun mewajibkan membaca al-fatihah bagi makmum tetapi tidak membolehkan bacaan tersebut dikeraskan sehingga mengganggu bacaan imam atau gara-gara bacaan tersebut akhirnya tertinggal gerakan imam. Misalnya, imam sujud, makmum masih sibuk dengan bacaan al-fatihahnya. Jika ini dilakukan dapat membatalkan shalatnya.
7. Isyarat dengan telunjuk ketika tasyahhud
Al-Jaziri dalam kitabnya mengungkapkan bahwa para ulama empat mazhab berbeda pendapat dalam memberikan isyarat telunjuk pada duduk tasyahhud.
Malikiyah mengungkapkan bahwa disunnahkan dalam keadaan duduk tasyahhud untuk menggenggam seluruh jari-jarinya selain jari telunjuk tangan kanannya dan memanjangkan telunjuk serta jempolnya dengan menggerak-gerakkan telunjuk terus-menerus kekiri dan kekanan dengan gerakan yang lembut.
Hanafiyah: memberikan isyarat hanya dengan telunjuk dari tangan kanannya dan tidak digerak-gerakkan.
Hanabilah sama dengan Hanafiyah memberikan isyarat dengan telunjuk dan tidak digerak-gerakkannya.
Syafi’iyah : seluruh jari-jari tangan kanannya digenggam kecuali jari telunjuk, untuk jari telunjuk di tegakkan dan tidak digerak-gerakkan. (Al-Jaziri : juz 1. Hal……)
Faham menggerak-gerakkan telunjuk ketika duduk tasyahhud yang berkembang di Indonesia adalah mengikuti pendapat golongan Malikiyah. Tetapi dalam menggerak-gerakkan tidak dengan berputar tetapi menggerakan ke kanan dan kiri dengan cara yang lembut. Bukan menggerakkan jari telunjuknya dengan cara kasar atau bertenaga, karena dapat menghilangkan kekhusuan shalat.
8. Qunut
Qunut bahasa adalah tunduk kepada Allah dengan penuh kebaktian, namun secara istilah qunut berarti berdiri lama untuk membaca ayat-ayat al-Qran dan berdoa. Hal ini sebagaimana sabda Raulullah Saw:

“ Dari Jabir ra sesungguhnya Nabi Saw bersabda: “Shalat yang paling utama adalah berdiri lama (untuk membaca ayat-ayat al-Quran dan berdoa (HR. Ahmad, Muslim, Ibnu Majah dan Tirmidzi.)
Qunut yang diperselisihkan adalah berdiri sebentar untuk berdoa pada shalat shubuh.
Qunut diamalkan oleh Nahdhyiyyin, dengan alas an:
وسن قنوت بصبح اي لما صح أنه صلى الله عليه وسلم مازال يقنت حتى فارق الدنيا (إعانة الطالبين)

“dan disunahkan qunut subuh berdasarkan hadits shahih: “Sesungguhnya Rasulullah Saw senantiasa melakukan qunut hingga beliau berpisah dengan dunia (wafat)”.

Sedangkan menurut pendapat Muhammadiyah berdasarkan keputusan Mu’tamar Tarjih bahwa qunut shalat shubuh adalah tidak didasarkan pada tuntunan (ghairu masyru’), karena hadits tentang qunut adalah dhaif atau lemah. Hal ini diperkuat oleh pendapat Sayid Sabiq:
القنوت فى صلاة الصبح غير مشروع إلا فى النوازل
“Sesungguhnya qunut pada waktu shubuh itu tidak disyariatkan kecuali qunut ketika ada musibah. (qunut nazilah). (Fiqh Sunah: juz 1: 198)

Shalat Jamak dan Qashar
Jamak secara bahasa adalah berkumpul atau bergabung, shalat jamak adalah menggabungkan dua shalat dalam satu waktu. Jamak terdiri dari jamak taqdim dan jamak ta’khir. Jamak taqdim yaitu mengerjakan shalat dzuhur dan ashar pada waktu dzuhur. Sedangkan jamak ta’khir adalah mengerjakan shalat dzuhur dan ashar pada waktu ashar.
Adapun qashar secara bahasa adalah ringkas/pendek. Sehingga shalat qashar adalah shalat yang diringkas, seperti empat rakaat menjadi dua rakaat. Untuk shalat qashar ini hanya pada shalat-shalat yang berjumlah empat rakaat. Sehingga tidak ada mengqashar shalat maghrib dan shalat shubuh.
Jamak dan qashar menurut sebagian besar ulama madzhab seperti Syafi’i, Malik dan Ahmad, hanya dapat dilakukan dalam perjalanan jauh, yaitu yang biasa diukur dengan dua marhalah atau perjalanan dua hari dengan berjalan kaki secara wajar), yaitu kurang lebih 80, 640 KM.
Adapun yang dijadikan ukuran dalam soal qasar ini adalah jarak perjalanan, bukan lamanya perjalanan. Dengan demikian, penggunaan sarana perjalanan apa pun (mobil, kereta api, kapal laut maupun pesawat terbang) tidak dipersoalkan, sepanjang perjalanan tersebut mencapai 80,640 KM walaupun hanya ditempuh dalam satu hari.
Jamak dan qashar dilakukan jika terjadi kondisi sebagai berikut:
1. Menjamak Qashar di ‘Arafah dan Muzdalifah
2. Menjamak dan Qashar ketika dalam perjalanan
3. Menjamak dan Qashar ketika turun hujan
4. Menjamak dan qashar ketika sakit atau alasan lain.
Menjamak dan qashar ketika ada urusan. Menurut Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim; “Banyak dari kalangan para imam yang membolehkan menjamak dan qashar bukan dalam perjalanan tetapi disebabkan adanya keperluan, bagi siapa saja yang tidak menjadikannya sebagai kebiasaan sehari-hari.

Ada beberapa praktek shalat yang diperselisihkan oleh ulama, dari mulai niat, takbiratul ihram, bacaan tawajjuh (iftitah), basmalah dalam al-fatihah, qunut dan menggerakan telunjuk ketika tasyahhud dll, semua itu telah diterapkan oleh seluruh masyarakat dunia. Oleh karena itu, perlu memahami dalil naqli maupun aqli berkaitan dengan hal itu.



PUASA

Secara bahasa, puasa adalah terjemahan dari bahasa Arab, shaum, ia memiliki arti dasar imsak ‘an al-kalam wa al-kaff ala syain “menahan sesuatu” atau “meninggalkannya”, “tidak melakukannya”. Al-Quran menggambarkan pengertian ini melalui lisan Nabi Zakariya ‘alaihi as-salam:
إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا(26)
"Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini" (Maryam: 26).
Ar-Raghib dalam Mufradat al-Quran berkata: “Shaum adalah menahan melakukan sesuatu, baik makan, berbicara atau berjalan”. Oleh karenanya kuda yang tidak mau bergerak atau berjalan dikatakan shaim.
Sedangkan al-Baidhawi mengartikan shaum “imsak ‘an al-kalam ma’a as-shiyam ‘an as-syahawat az-zauziyyah wa as-syarab wa at-tha’am” . Menurut Abu Ubaidah yang mengutip beberapa ahli bahasa, bahwa setiap orang yang menahan dari makan, berbicara dan berjalan adalah orang yang berpuasa.
Sedang menurut istilah, menahan dari aktivitas makan, minum dan mendekati wanita sejak fajar sampai maghrib dengan penuh keikhlasan kepada Allah, serta mempersiapkan diri untuk senantiasa bertakwa dan mengendalikan keinginan syahwat.
Puasa telah diwajibkan kepada umat-umat agama sebelumnya. Dia menjadi satu rukun dari beberapa rukun agama karena puasa merupakan salah satu jenis ibadah yang paling kuat dan sarana terbaik dalam proses pendidikan. Informasi tentang ini dapat kita peroleh dari Al-quran. Menurut Muhammad Abduh, puasa sudah dikenal oleh masyarakat sebelum Islam, baik masyarakat beragama atau penyembah berhala. Ia sudah dikenal oleh orang-orang Mesir kuno, Yunani, Romawi dan para penyembah Dewa di India.
Para penyembah berhala berpuasa bertujuan untuk menenangkan kemarahan ‘tuhan” mereka ketika mereka melakukan sesuatu yang membuat sang tuhan marah. Atau hanya sekedar mencari keridhaannya dan memohon bantuan agar diberi pertolongan ketika akan melakukan sesuatu. Mereka meyakini bahwa keridhaan tuhan dapat diraih dengan cara menghaturkan puasa kepadanya. Akan tetapi puasa dalam pengertian mereka adalah penyiksaan diri dan menghentikan kebutuhan-kebutuhan fisik. Dengan cara itu “tuhan” akan baik kepada mereka. Pengertian puasa seperti ini beralih kepada Ahli al-Kitab (Yahudi dan Nashrani). Dalam prakteknya, mereka menganggap puasa adalah kelemahan dan ketidakberdayaan fisik untuk dipersembahkan kepada tuhannya. Sehingga datang Islam yang menganggap bahwa kewajiban puasa tidak lain bertujuan meraih kebahagiaan. Allah maha kaya tidak butuh manusia dan ibadahnya. Kewajiban yang dibebankan tidak lain adalah kemanfaatan bagi manusia.
Orang Yahudi, pun melakukan puasa. Memang tidak ditemukan dalam Taurat tentang kewajiban puasa, tapi di dalam Taurat terdapat pujian tentang puasa dan orang-orang yang melakukan puasa. Nabi Musa juga berpuasa selama empat puluh hari untuk bermunajat kepada Tuhan. Hal ini menunjukan bahwa puasa memang sudah dikenal dan disyariatkan serta dianggap sebagai bagian dari ibadah. Orang Yahudi sekarang selalu melakukan puasa selama seminggu untuk mengenang kehancuran Yarussalem. Mereka juga berpuasa di bulan Abb. Menurut suatu pendapat, bahwa Taurat juga mewajibkan orang Yahudi berpuasa pada hari kesepuluh di bulan ketujuh. Bahkan mereka berpuasa sampai malamnya. Mungkin mereka menamainya dengan puasa ‘Asyura.
Sedangkan orang-orang Nashrani, sama halnya dengan orang-orang Yahudi, tidak ditemukan satu teks Injil yang lengkap tentang kewajiban puasa, hanya ada penyebutan dan pemberian pujian tentangnya saja. Mereka menganggap puasa sebagai bagian dari ibadah dengan syarat tidak boleh riya dan menampakkan kesusahan dalam berpuasa. Bahkan Injil menyuruh bagi yang berpuasa hendaknya meminyaki rambut dan membasuh wajah sehingga tidak nampak ciri puasa yang menyebabkan riya. Waktu puasa mereka adalah sebelum hari raya Pasakh. Waktu ini pula Musa, Isa dan para Hawariyy melakukan puasa. Kemudian para kepala gereja membuat aturan baru tentang puasa yang berbeda dengan semua golongan dan kelompok. Puasa yang mereka tetapkan adalah puasa untuk tidak memakan daging, ikan, telur dan susu. Padahal puasa yang disyariatkan kepada mereka pada kali pertamanya adalah seperti puasanya orang-orang Yahudi. Yaitu sehari semalam sekaligus. Akan tetapi mereka mengubahnya dengan berpuasa setengah malam dan setengah hari. Menurut pendapat lain, orang-orang Nashrani juga diwajibkan berpuasa di bulan Ramadhan. Akan tetapi mereka mengubah hukum tersebut dengan berpuasa di musim semi, yang merupakan peralihan antara musim panas dan dingin.
Keutamaan dan Hikmah Puasa
Di balik ibadah yang diwajibkan kepada manusia, pasti ada hikmah dan manfaat. Hanya saja hikmah tersebut kadang dapat diketahui dan kadang tidak dapat diketahui. Begitu pula dengan ibadah puasa. Para ilmuan, baik dalam bidang agama, akhlak maupun terapan, seperti kedoteran telah berupaya menafsirkan hikmah tersebut. Penafsiran mereka dapat saja sesuai, namun sebaliknya dapat juga tidak sesuai dengan yang dituju dan dimaksud oleh Sang pembuat hukum. Namun yang jelas, Allah sang pembuat hukum telah menggambarkan hikmah puasa ini dalam firman-Nya:
وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ(البقرة: 184)
“Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah {2}: 184)
Di antara hikmah dan keutamaan puasa adalah sebagai berikut:
a. Menumbuhkan kesamaan status sosial antara orang fakir dan orang kaya
Puasa, khususnya Ramadhan, mendidik umat bahwa status mereka sama di hadapan Tuhan. Orang kaya, walaupun dia mampu untuk membeli makanan dan apa saja yang dibutuhkannya, tetapi dia tidak dapat seenaknya menyalahi perintah Tuhan. Dengan puasa, perintah dan larangan bersifat menyeluruh, sehingga orang-orang kaya dan mampu akan merasakan apa yang diderita oleh orang-orang fakir dan miskin. Ibn Qayyim pernah berkata: “Puasa dapat mengingatkan orang-orang kaya akan penderitaan dan kelaparan yang dilanda orang-orang miskin”.
b. Mengajarkan keteraturan dan kedisiplinan dalam hidup, sabar dan penuh rasa sayang serta cinta.
Puasa mendidik umat untuk disiplin terhadap berbagai peraturan. Bagaimanapun kedudukan dan pangkat seseorang dia harus tunduk pada peraturan yang berlaku. Sejak terbit fajar sampai terbenam matahari, umat dididik untuk disiplin berbakti hanya kepada Allah. Walaupun dia dapat saja makan dan minum bahkan berhubungan seks tanpa diketahui oleh orang lain, tetapi puasa mengajarkan dia kejujuran dan pengabdian sepenuhnya hanya kepada Allah.
Puasa juga mendidik umat untuk memiliki sifat sabar. Menurut hadits nabi: As-Shaum nisfu as-Shabr. Sabar di sini dalam berbagai bidang, sabar ketika mendapat mushibah, yaitu merasakan rasa lapar dan haus, sabar dalam beribadah, tidak tergoda oleh sifat-sifat buruk dan menjauhi kemaksiatan. “As-Shiyam junnah wa huwa hisnun min husun al-mukmin” “Puasa adalah perisai, dia menjadi salah satu pelindung orang Mukmin. (HR. Thabrani). Dan juga sabda Nabi Saw. berikut:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال الصيام جنة فلا يرفث ولا يجهل وإن امرؤ قاتله أو شاتمه فليقل إني صائم
Puasa adalah perisai maka hendaknya tidak berkata jorok dan membodohi. Jika seseorang memusuhi atau mencaci maka hendaknya dia berkata Aku sedang puasa.
Selain itu juga puasa menumbuhkan sifat sayang dan cinta sesama manusia. Puasa mengajak manusia pada tarahhum, muwasah dan ta’athuf antar individu. Nabi pernah bersabda: Man Fatthara shaiman.. dst. Puasa menuntun umat untuk memiliki solidaritas social, peka terhadap apa yang terjadi pada saudaranya, sehingga dia mau mengulurkan tangan membantu saudaranya yang kesusahan, menghibur saudaranya yang sedih, memberikan harapan kepada yang putus asa.
c. Menyehatkan badan
Penelitian kedokteran menetapkan bahwa berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi makanan bisa berakibat fatal. Karena makanan yang berlebihan itu akan menyebabkan berbagai penyakit, seperti jantung dan pembuluh darah. Tak ada jalan lain untuk mengantisipasi penyakit tersebut dengan menghadang penyebab dan gejala-gejalanya. Lapar pada saat-sat tertentu menjadi keharusan, agar kiranya proses pencernaan bagian dalam tubuh dapat bergerak membasmi sel-sel berbahaya. Dengan begitu fisik menjadi normal kembali setelah terjadinya pembentukan sel-sel baru yang sehat dan kuat.
Puasa dapat memberi ruang terbuka bagi perut dan usus untuk menyaring makanan. Kekosongan keduanya dapat meredakan aktivitas-aktivitas yang menyebabkan kotoran dan racun. Kondisi seperti ini mampu memberi ruang yang tepat untuk mengobati luka-luka dengan adanya selaput lendir. Kemudian daya serap itu terhenti dari usus. Pada akhirnya asam ammonia tidak sampai pada jantung, glukosa, ataupun zat garam.
Penemuan medis telah membuktikan bahwa puasa dapat menyembuhkan penyakit jantung, kencing manis, penyakit-penyakit kulit dan mengurangi kadar kolesterol. Penemuan-penemuan inilah yang disiyaratkan Nabi dalam sabdanya:
صوموا تصحوا
Berpuasalah kamu, niscaya kalian akan sehat
d. Menekan dan Mengendalikan Nafsu Sex
Sudah menjadi kesepakatan ulama bahwa gharizah jinsiyyah (naluri sexsual) termasuk senjata syeithan yang paling berbahaya dalam membujuk dan menjerumuskan manusia. Maka dengan puasa yang penuh keteraturan akan dapat menurunkan tensi seks secara baik. Oleh karena itu Nabi Saw. mneganjurkan kepada para pemuda yang belum mampu untuk menikah agar berpuasa sebagai obat dan peredam tensi seksual:
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء
Arti: Wahai para pemuda
e. Mewujudkan Penghambaan Sejati Kepada Allah.
Yang paling terpenting dari hikmah puasa, terlepas dari faedah-faedah di atas adalah mewujudkan penghambaan dan ketakwaan manusia kepada Allah sang pencipta. Hal ini sangat jelas tertera pada firman Allah dalam penghujung ayat 183 surat al-Baqarah: “la’allakum tattaqun” (agar kalian bertaqwa). Orang yang berpuasa dengan niat ingin sehat saja, maka dia tidak disebut beribadah kepada Allah. Tetapi jika dia niat puasa dengan niat karena Allah dan ingin sehat sekaligus maka dia akan meraih dua keuntungan; keuntungan pahala beribadah dan keuntungan mendapatkan kesehatan.
Dasar Hukum Puasa
Puasa Ramadhan diwajibkan pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijriyyah. Nabi Muhammad Saw mengerjakan puasa Ramadhan hanya sebanyak sembilan kali, delapan kali dikerjakan selama sebulan kurang (29 hari), sedangkan yang genap 30 hari hanya sekali.
a. Al-Quran
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ(183)أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.
b. As-Sunnah
بني الاسلام على خمس شهادة أن لا إله الا الله وأن محمد عبده ورسوله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان
“Islam dibangun atas lima dasar: bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, Muhammad sebagai hamba dan Rasul-Nya, melaksanakan shalat, memberikan zakat, haji ke baitullah, dan puasa Ramadhan.”
جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم من أهل نجد ثائر الرأس نسمع دوي صوته ولا نفقه ما يقول حتى دنا من رسول الله صلى الله عليه وسلم فإذا هو يسأل عن الإسلام فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم خمس صلوات في اليوم والليلة فقال هل علي غيرهن قال لا إلا أن تطوع وصيام شهر رمضان فقال هل علي غيره فقال لا إلا أن تطوع
c. Ijmak
Kaum muslim dari semua madzhab dan golongan sejak periode Nabi Saw. hingga hari ini telah sepakat atas wajibnya puasa Ramadhan: fardhu aini atas tidaptiap muslim mukallaf tanpa kecuali, baik jaman dahulu, sekarang atau masa yang akan datang.

Menentukan Awal Wajib Berpuasa Ramadhan
Menurut Yusuf al-Qardhawi, berdasarkan hadits shahih bahwa untuk menetapkan masuknya bulan Ramadhan dapat ditempuh dengan salah satu dari tiga cara berikut ini: melihat tanggal (ru’yah al-hilal), menyempurnakan bilangan bilal Sya’ban 30 hari dan memperkirakan masuknya tanggal (ilmu hisab).
1. Melihat Hilal
Melihat atau mengetahui kehadiran bulan sabit Ramadhan adalah tanda kewajiban berpuasa, sebagaimana melihat atau mengetahui kehadiran bulan sabit Syawal adalah tanda berakhirnya puasa Ramadhan.
Hal ini berdasarkan ayat Al-Quran dan Hadits Nabi Saw:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas petunjuk serta pembeda. Barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan (hilal) maka berpuasalah.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فصوموا ثلاثين يوما

Mengenai melihat bulan para fuqaha berbeda pendapat, apakah cukup dengan penglihatan seorang yanga dil, dua orang yang adil atau hasil penglihatan banyak? Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa, jumlah orang yang melihat tersebut tergantung pada kebijakan imam (penguasa) atau hakim untuk memutuskannya, tanpa terkait pada batasan tertentu.
Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan mendasar adalah “Apakah melihat bulan sabit dibatasi oleh wilayah negara?” Dalam menjawab pertanyaan ini, para ulama berbeda pendapat. Yang menganggap adanya keterbatasan jangkauan penglihatan berpendapat bahwa kewajiban puasa hanya bagi orang-orang yang bermukim di daerah sabit itu dilihat.
Kelompok ulama di bawah naungan Organisasi Konferensi-konferensi Islam menetapkan, bahwa di mana saja bulan dilihat oleh orang-orang terpercaya maka sudah wajib puasa dan berlebaran atas seluruh umat Islam, selama ketika melihatnya penduduk yang berada di wilayah yang disampaikan kepadanya berita kehadiran bulan itu masih dalam keadaan malam.
Jika selisih waktu antara stu daerah dengan daerah lain belum mencapai jarak yang menjadikan perbedaan terjadinya malam di satu daerah dan siang di daerah lain, maka dalam keadaan tersebut puasa telah wajib bagi semua. Misalnya, selisih waktu antara Jakarta dan Saudi Arabia tidak lebih dari empat atau lima jam. Awal malam di Timur Tengah berarti belum tengah malam di Jakarta. Jika terlihat bulan di Timur Tengah maka masyarakat Muslim di Indonesia sudah wajib berpuasa. Ini berbeda dengan wilayah di Amerika Serikat dengan Indonesia misalnya. Perbedaan waktu antara dua daerah itu sangat jauh dan panjang, ketika matahari terbit di Indonesia, mungkin di Amerika matahari sudah terbenam. Sehingga jika di Indonesia melihat bulan, maka masyarakat Muslim di Amerika belum wajib berpuasa, demikian pula sebaliknya. Tetapi jika masyarakat Muslim di Mekkah melihatnya, maka baik masyarakat muslim di Indonesia maupun Amerika semuanya telah wajib berpuasa, karena betapapun perbedaan waktu terjadi, ketika –di suatu tempat terlihat bulan- masih dalam keadaan malam.
2. Menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban
Cara yang ketiga ini adalah cara praktis, baik langit dalam keadaan cerah atau berawan. Cara ini merupakan anjuran Nabi Saw. yang mendidik kita agar lebih hati-hati dalam menentukan awal Ramadhan. Oleh karena itu, bulan Sya’ban sudah diketahui ketetapannya sejak awal, sehingga pada waktu bulan tidak kelihatan, maka malam ketiga puluh dapat diketahui.
3. Ilmu Perhitungan Astronomi (Hisab)
Kini penentuan awal bulan tidak terbatas hanya dengan rukyatul hilal (pengamatan hilal). Ada alternatif lain yang juga sederhana: ilmu hisab (perhitungan astronomi). Berdasarkan pengalaman ratusan tahun, keteraturan periodisitas fase-fase bulan diketahui dengan baik. Lahirlah ilmu hisab untuk menghitung posisi bulan dan matahari. Akurasinya terus ditingkatkan, hingga ketepatan sampai detik dapat dicapai. Ketepatan penentuan waktu gerhana matahari, yang hakikatnya ijtimak (segaris bujurnya bulan dan matahari) yang teramati, sampai detik-detiknya merupakan bukti yang tak terbantahkan.
Hisab dan rukyat punya kedudukan sejajar. Rukyat harus tetap digunakan karena itulah cara sederhana yang diajarkan Rasul. Hisab pun dijamin eksistensinya, karena Allah menjamin peredaran bulan dan matahari dapat dihitung (QS 55:5). Keberhasilan rukyat tergantung kondisi atmosfer. Akurasi hisab terbentur pada formulasi faktor atmosfer bumi untuk kriteria hilal agar teramati. Tidak ada superioritas di antara keduanya. Superioritas justru sering muncul dari para penggunanya.
Di Indonesia setidaknya ada dua kriteria hisab yang dianut: wujudul hilal (+ ijtimak qablal ghurub dan imkan ar-rukyat). Kriteria wujudul hilal menyatakan asalkan bulan telah wujud di atas ufuk pada saat maghrib sudah dianggap masuk bulan baru. Kriteria ini dipakai oleh Muhammadiyah (dengan prinsip wilayatul hukmi, wujud di sebagian wilayah berlaku untuk seluruh Indonesia), Persis pasca 4 November 2002 (tanpa prinsip wilayatul hukmi), dan Depag dalam penentuan kalender resmi pra-2002. Kriteria yang mirip adalah ijtima' qablal ghurub, asalkan ijtimak terjadi sebelum maghrib sudah dianggap masuk bulan baru. Kriteria ini tampaknya pernah digunakan dalam almanak Persis (pra-1422) yang hanya mencantumkan saat ijtimak. Kriteria lainnya adalah imkanur ru'yat, berdasarkan perkiraan mungkin tidaknya hilal dirukyat. Kriteria ini dalam rumusan kriteria MABIMS (Menteri-menteri agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura, tinggi bulan minimum pada saat maghrib 2 derajat dan umur bulan sejak ijtima' minimum 8 jam) digunakan oleh Depag RI sejak 2002 dan almanak Persis 1422 dan 1423.
Kesaksian melihat hilal (ru'yatul hilal), keputusan hisab, dan akhirnya keputusan penetapan awal Ramadan dan hari raya oleh pemimpin ummat semuanya adalah hasil ijtihad. Kebenaran hasil ijtihad relatif. Kebenaran mutlak hanya Allah yang tahu. Tetapi orang yang berijtihad dan orang-orang yang mengikutinya meyakini kebenaran suatu keputusan ijtihad itu berdasarkan dalil-dalil syariah dan bukti empirik yang diperoleh.
Kesaksian rukyat tidak mutlak kebenarannya. Mata manusia bisa salah lihat. Mungkin yang dikira hilal sebenarnya objek lain. Keyakinan bahwa yang dilihatnya benar-benar hilal harus didukung pengetahuan dan pengalaman tentang pengamatan hilal. Hilal itu sangat redup dan sulit mengidentifikasikannya, karena mungkin hanya tampak seperti garis tipis. Saat ini satu-satunya cara untuk meyakinkan orang lain tentang kesaksian itu adalah sumpah yang dipertanggungjawabkan kepada Allah. Jaminan kebenaran rukyatul hilal hanya kepercayaan pada pengamat yang kadang-kadang tidak bisa diulangi oleh orang lain.
Hisab pun hasil ijtihad yang didukung bukti-bukti pengamatan yang sangat banyak. Rumus-rumus astronomi untuk keperluan hisab dibuat berdasarkan pengetahuan selama ratusan tahun tentang keteraturan peredaran bulan dan matahari (tepatnya, peredaran bumi mengelilingi matahari) (Q. S. 6:96). Makin lama, hasil perhitungannya makin akurat dengan memasukkan makin banyak faktor. Orang mempercayai hasil hisab karena didukung bukti-bukti kuat tentang ketepatannya, seperti hisab gerhana matahari yang demikian teliti sampai orde detik. Gerhana matahari pada hakikatnya adalah ijtimak (bulan baru) yang teramati. Maka jaminan kebenarannya lebih kuat dari pada rukyat, karena orang lain bisa mengujinya dan pengamatan posisi bulan bisa membuktikannya.
Syarat Sah dan Wajib Puasa
Para ulama menetapkan beberapa syarat sah puasa sebagai berikut: (1) Islam ketika menjalankan puasa, (2) tamyiz, (3) tidak haid, nifas dan wiladah, (4) waktu berpuasa memang dibolehkan untuk berpuasa.
Sedangkan syarat wajib adalah sebagai berikut: Muslim, berakal, dewasa (mukallaf), sehat permanen, suci dari haid dan nifas. Berarti kewajiban puasa tidak dibebankan kepada orang non muslim (kafir), orang gila, anak kecil, sakit keras, dalam perjalanan, wanita yang haidh atau nifas, orang yang sangat tua, wanita hamil dan menyusui. Di antara mereka itu ada yang tidak wajib secara mutlak, seperti kafir dan orang gila, ada yang tidak wajib berpuasa (wajib berbuka) tapi wajib qadha, ada yang tidak wajib berpuasa (dibolehkan tidak berpuasa) tetapi wajib fidayah. Penjelasan lebih detail pada bahasan selanjutnya.

Rukun-Rukun Puasa
1. Menahan hal-hal yang membatalkan puasa
Rukun puasa yang pertama adalah menahan hal-hal yang membatalkan puasa dari munculnya fajar sampai terbenam matahari. Hal ini berdasarkan Firman Allah:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
… makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam…
2. Niat
Niat wajib dilakukan ketika sebelum terbit fajar. Berarti, waktu niat adalah sejak terbenamnya matahari sampai sebelum terbit fajar. Ia wajib dilakukan di setiap malam bulan ramadhan. Hal ini berdasar pada hadits Nabi Saw. yang bersumber dari Hafshah: “Man lam yujmi’ as-shiyam qabla al-fajr fala shiyama lahu” (Barang siapa yang tidak menghimpun niat dan tekad berpuasa sebelum fajar, maka dia tidak dikatakan berpuasa) .
Dalam niat tidak diwajibkan talaffudz (pelapalan), karena niat adalah aktifitas hati. Talaffudz hanya sekedar pengantar agar hati selalu ingat akan niat tersebut.
Mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa niat dalam puasa sunnah tidak disyaratkan di waktu malam. Jika seseorang berniat puasa sunnah sebelum tengah hari, maka puasanya tetap sah.
Orang-orang yang dibolehkan tidak berpuasa
a. Kelompok yang boleh tidak berpuasa dan wajib Fidyah
Di antara mereka adalah, orang lanjut usia, orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, dan para pekeja berat yang selalu terus menerus harus bekerja tanpa ada pilihan lain selain kerja tersebut. Mereka semua dibolehkan berbuka jika puasa terasa sangat memberatkan dan menemui kesulitan di sepanjang tahun. Kewajiban mereka adalah membayar fidyah sebagai pengganti dari kewajiban pokok.
Hal ini berdasar pada hadits Ibn Abbas: “Diperbolehkan bagi orang tua untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap hari tanpa wajib mengqadha”.
Menurut pendapat lain, termasuk kelompok ini juga adalah wanita yang sedang mengandung dan menyusui yang khawatir atas kondisi diri mereka dan anak-anaknya, mereka wajib fidayah dan tidak wajib mengqadha. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibn Umar dan Ibn Abbas. Sedangkan menurut Imam As-Syafei dan Ahmad, wanita hamil dan menyusui jika hanya khawatir terhadap kondisi anak saja, maka dia boleh berbuka dan wajib qadha sekaligus fidyah, sedang jika yang dikahawatirkan diri mereka sendiri atau sekaligus anaknya maka wajib qadha saja, tidak wajib fidayah.
b. Kelompok yang boleh tidak berpuasa dan wajib Qadha
Termasuk kelompok ini adalah orang sakit yang ada harapan sembuh dan musafir. Hal ini berdasar pda firman Allah SWT:
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berbuka) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.
Sakit yang diperbolehkan berbuka adalah sakit yang sekiranya berpuasa akan menambah parah atau khawatir akan menjadi lama proses penyembuhannya. Hal ini tentunya berdasarkan hasil penelitian dan keterangan dokter spesialis yang terpercaya atau berdasar praduga semata.
Sedangkan Bukhari, Atha dan Ahli Dzahir berpendapat: bahwa kebolehan berbuka itu pada setiap jenis sakit. Karena ayat di atas berbicara secara umum, tanpa mentakhsis sakitnya apa dan bagaimana. Oleh karena itu, jika orang sakit jari atau gusi, maka menurut mereka dibolehkan berbuka.
Al-Qurthubi berpendapat: “orang sakit memiliki dua kondisi; pertama, dia tidak kuat untuk puasa maka dia wajib berbuka. Kedua, dia mampu berpuasa dengan konsekuensi sangat susah payah menjalankannya, maka tipe sakit seperti ini disunnahkan berbuka. Hanya orang bodoh saja ketika sakit parah dia tetap memaksakan puasa, walaupun memang puasanya tetap sah”.
Orang yang sehat sedang dia menduga jika berpuasa akan terkena sakit, maka dia dibolehkan berbuka layaknya orang sakit. Demikian juga orang yang sangat kelaparan dan kehausan, khawatir akan sakit atau mati, dia boleh berbuka dengan kewajiban mengqhada.
Sedangkan perjalanan yang diperbolehkan berbuka puasa adalah perjalanan yang ditempuh dalam jarak 80 km atau 90 km. Para ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dalam masalah ini. Dalam fatwanya, Imam Ibnu Taymiyyah mengatakan: “jarak safar yang diperbolehkan meng-qashar shalat dan berbuka puasa adalah sejauh perjalanan dua hari dengan onta atau kaki, sekitar enam belas farsakh. Misalnya jarak antara Makkah-Jeddah. ini adalah pendapat Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad”. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat lain, Jarak safar itu mesti 24 farsakh atau sekitar tiga hari tiga malam perjalanan dengan onta atau kaki.
Adanya kendaraan modern, seperti pesawat terbang, kereta dan mobil yang lebih mempersingkat waktu perjalanan tidak mneghilangkan adanya rukhsah ini. Demikian yang dikatakan oleh Yusuf Qardhawi dan Ali As-Shabuni.
c. Kelompok yang wajib tidak berpuasa dan Qadha sekaligus
Termasuk kelompok ini adalah wanita haid dan nifas. Mereka wajib berbuka dan haram melalukan puasa. Jika berpuasa, maka puasanya tidak sah dan termasuk bathil.
Fidyah dan Ketentuannya
Orang yang tidak melakukan puasa Ramadhan karena ada sebab-sebab tertentu di atas, maka dia wajib membayar fidyah. Fidyah berfungsi bukan sebagai pengganti puasa yang ditinggalkan, akan tetapi dia adalah kewajiban pokok yang mesti dipenuhi seseorang yang tidak berpuasa. Hal ini beradasar pada ayat 184 al-Baqarah:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Jumlah fidayah bagi yang tidak bisa berpuasa adalah 1 mud makanan pokok setiap hari dari puasa yang ditinggalkannya.
Qadha Puasa
Barangsiapa berhutang puasa Ramadhan, karena disebabkan udzur syar’i, seperti sakit, musafir, haid dan nifas, wanita menyusui, menurut para ulama hendaknya mereka cepat mengqadha setelah udzurnya itu berakhir agar cepat terbebas dari tanggung jawab serta lebih berpacu pada kebajikan. Masalah qadha ini ditegaskan dalam dalil-dalil berikut:
“maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain”.
صحيح مسلم ج: 1 ص: 265
335 وحدثنا عبد بن حميد أخبرنا عبد الرزاق أخبرنا معمر عن عاصم عن معاذة قالت ثم سألت عائشة فقلت ما بال الحائض تقضي الصوم ولا تقضي الصلاة فقالت أحرورية أنت قلت لست بحرورية ولكني أسأل قالت كان يصيبنا ذلك فنؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة
Hal-hal yang membatalkan Puasa
a. Membatalkan Puasa dan Wajib meng-qadha
Hal-hal yang membathalkan puasa dan wajib mengqadhanya antara lain berikut ini:
1. Makan dan minum secara sengaja. Jika seseorang makan dan minum karena lupa, salah atau dipaksa, maka puasanya tetap sah, tidak wajib qadha dan kifarat.
2. Muntah secara sengaja
Jika seseorang muntah tanpa sengaja, maka tidak wajib qadha dan kifarat. Hal ini sudah kesepakatan para ulama.
3. Haidh dan nifas
Para ulama sepakat bahwa haidh dan nifas membatalkan puasa walaupun pada saat-saat menjelang matahari terbenam (saat berbuka).
4. Istimna
Istimna adalah proses keluarnya sperma dengan sebab apapun. Hal ini membatalkan puasa, baik disebabkan memeluk atau mencium istrinya atau oleh tangannya sendiri. Tetapi kalau sebab keluarnya sperma itu hanya karena memandang maka tidak membatalkan puasa, demikian pula madzi tidak ada pengaruh apapun pada puasa, sedikit maupun banyak.
5. Orang yang berniat buka padahal dia berpuasa walaupun dia tidak makan atau minum sedikitpun.
6. Memasukkan sesuatu walaupun tidak mengenyangkan dari alat masuk yang biasa.
7. Apabila makan dan minum atau melakukan setubuh dengan dugaan bahwa waktu maghrib telah tiba atau waktu fajar belum tiba, padahal dugaannya salah, maka dia wajib qadha. Demikian pendapat mayoritas ulama, termasuk imam madzhab yang empat.
b. Membatalkan Puasa, tidak Wajib Qadha, tapi wajib Kifarat
Sedangkan yang membatalkan puasa, wajib qadha dan kifarat adalah bersetubuh di siang hari ketika berpuasa.
Hal-hal yang disunnahkan bagi orang yang berpuasa
a. Sahur
Para imam sepakat bahwa sahur disunnahkan. Tidak berdosa orang yang meninggalkannya. Dari Anas ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “makan sahur lah kalian karena dalam sahur ada berkah” (riwayat Bukhari dan Muslim). Barakah disini maksudnya membuat orang yang berpuasa kuat, aktif dan tidak loyo.”
b. Menyegerakan berbuka
Bagi yang berpuasa disunnahkan untuk menyegerakan berbuka ketika telah nampak waktu berbuka. Hal ini sesuai dengan anjuran Nabi Saw.: “manusia selamanya ada dalam kebaikan jika mereka meyegerakan berbuka puasa” (riwayat Bukhari dan Muslim).
c. Banyak berdoa ketika berpuasa dan hendak berbuka
d. Menggunakan Siwak
e. Dermawan
f. Banyak membaca Quran
g. Bersungguh-sungguh beribadah di sepuluh terakhir Ramadhan

Hal-hal yang dibolehkan bagi orang berpuasa
a. Turun dan merendam di dalam air. Jika ada air masuk melalui mulutnya tanpa sengaja, maka puasanya tetap sah.
b. Memakai celak mata
c. Mencium. Bagi orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya
d. Injeksi. Tetapi jika injeksi untuk menyampaikan sari makanan –seperti glukosa- ke dalam tubuh bahkan langsung ke dalam darah maka ulama memperselisihkan hal ini.
e. Memasukkan air ke dalam hidung dan berkumur-kumur ketika wudhu.
f. Dibolehkan pula sesuatu yang sangat sulit menjaganya, seperti menelan ludah, kepulan asap atau debu.






Puasa setidaknya dapat dibagi kepada tiga bagian: Wajib, Sunnah dan Makruh.
1. Puasa Wajib
a. Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan adalah puasa selama sebulan penuh (29 atau 30 hari) di bulan Ramadhan. Ia salah satu rukun Islam. Kewajibannya bersifat asasi dan ‘aini bagi setiap Muslim.
b. Puasa Kafarat
Puasa kafarat termasuk kategori puasa wajib. Ia dilaksanakan sebagai pengganti beberapa syariat agama yang dilanggar. Seperti bersetubuh dengan segaja waktu berpuasa di siang hari Ramadhan, sumpah, pembunuhan, dan lain-lain. Setidaknya ada beberapa ketentuan tentang kafarat ini. Berikut dibahas secara singkat:
1) Kifarat Sumpah
Dalam al-Quran, kifarat sumpah sebetulnya memiliki beberapa tingkatan: memberi makan 10 orang miskin, memberikan pakaian kepada mereka dan memerdekakan budak. Jika ketiga hal itu tidak dapat dilakukan oleh pelanggar sumpah maka syara’ memperbolehkan menebusnya dengan cara berpuasa sebanyak tiga hari. Jadi puasa disini hukumnya wajib bagi si pelanggar sumpah jika dia tidak dapat melakukan ketiga pilihan di atas. Madzhab Hanafi mensyaratkan puasa ini harus berturut-turut, sedangkan kalangan Syafiyah tidak mensyaratkan berturut-turut.
2) Kafarat Bersetubuh dengan sengaja di siang hari Ramadhan dalam keadaan berpuasa.
Menurut jumhur ulama Puasa kafarat ini adalah urutan kedua sanksi yang diberikan kepada peluku jima’ di siang hari Ramadhan. Urutan pertamanya adalah memerdekakan budak, sedang urutan ketiga, setelah dia tidak mampu berpuasa berturut-turut maka ditebus dengan memberi makan enam puluh orang miskin. Hal ini berdasar pada hadits Bukhori No 1834.
3) Kafarat Pengganti Dam (Haji Tamattu’ dan Qiran)
Puasa ini adalah konsekuensi dari pelaksanaan haji tamattu’ yang mengharuskan adanya dam (denda dengan menyembelih seekor kambing). Jika dia tidak mampu membayar dam, karena ketiadaan uang atau hewan maka dapat ditebus dengan puasa sebanyak 10 hari, tiga hari pada waktu melaksankan haji dan tujuh hari setelah dia kembali ke tanah air.
4) Kafarat Pembunuhan
Puasa kafarat pembunuhan ini adalah alternatif terakhir dari diat (denda) kepada si pembunuh setelah dia tidak memiliki kesanggupan dalam memerdekakan budak dan membayar diat kepada keluarga terbunuh. Puasa ini dilakukan selama dua bulan berturut-turut sebagai bentuk taubat kepada Allah.
c. Puasa Nadzar
Jika seseorang bernadzar akan melakukan puasa jika keinginannya tercapai maka wajib baginya untuk melaksanakan puasanya tersebut jika memang keinginannya terbukti. Menurut para ulama hukum bernadzar setidaknya ada dua; makruh dan qurbah. Kebanyakan ulama memakruhkan bernadzar, walaupun apa yang dinadzarkan itu adalah ibadah, seperti shalat, puasa dan sedekah. Hal ini berdasar pada hadits berikut:
“Rasulullah Saw. melarang bernadzar seraya bersabda ‘Sesungguhnya nadzar itu tidak dapat menolak sesuatu, dan nadzar itu hanya keluar dari orang yang bakhil”.
Dimakruhkannya bernadzar karena dikhawatirkan sebagaian manusia beri’tikad bahwa nadzar itu dapat menolak atau merubah takdir, atau mereka mengira bahwa nadzar itu dapat memastikan keberhasilan apa yang diinginkannya atau menganggap bahwa Allah akan mewujudkan keinginannya karena nadzarnya. Padahal Rasul telah bersabda:
“Sesungguhnya nadzar itu tidak dapat menolak sesuatu atau tidak mendatangkan kebaikan”.
Sebagian ulama lagi, menganggap bernadzar tidak dimakruhkan kalau nadzar itu dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah (qurbah). Hal ini berdasar pda hadits berikut:
“Tidak ada nadzar kecuali pada sesuatu yang dapat diperoleh ridha Allah”.
Akan tetapi walaupun, nadzar itu diperselisihkan hukumnya oleh para ulama, mereka telah berijma’ bahwa melaksanakan nadzar adalah wajib. Hal ini berdasar pada firman Allah Swt berikut:
“… dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka…”

2. Puasa Sunnah
Puasa-puasa sunnah cukup banyak macamnya. Disunnahkan karena waktunya memang waktu yang sangat baik untuk melakukan ibadah dan berbagai (taqarrub) pendekatan kepada Allah, khususnya puasa. Syariat agama kita menganjurkan untuk melakukan puasa sunnah. Karena puasa sunnah dapat mendekatkan seorang hamba kepada Tuhannya. Hal ini sebagaimana keterangan sebuah hadits qudsi berikut:
“Hamba-Ku senantiasa bertaqarrub kepada-Ku dengan (mengerjakan) seutama-seutama amalan yang Ku fardhukan kepadanya. Dan seorang hamba senantiasa bertaqarrub kepada-Ku dengan (mengerjakan) yang sunnah hingga aku mencintainya. Maka bila Aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengarannya yang melaluinya ia dapat mendengar, menjadi penglihatannya yang melaluinya ia dapat melihat, menjadi tangannya yang ia dapat gerakkan, menjadi kakinya yang dengannya ia dapat berjalan. Apabila ia meminta kepada-Ku, niscaya dia akan Ku beri, dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, niscaya akan Aku lindungi”.
a. Puasa 6 hari bulan Syawal
Puasa 6 hari di bulan Syawal ini beradasarkan pada hadits Nabi Saw. : “Man shama Ramadhana fa ‘atba’ahu sittan min Syawwal fa kaannama shama ad-dahra”. Barangsiapa puasa Ramadhan kemudian ia iringi dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka seolah-olah ia berpuasa setahun. Puasa Syawal ini boleh dilakukan secara acak selama di bulan itu, dengan tidak harus dimulai tanggal dua dan seterusnya. Namun Imam Malik berbeda pendapat, menurutnya puasa Syawal termasuk hal yang makruh. Hal ini dikhawatirkan masyarakat berkeyakinan bahwa puasa itu dianggap atau termasuk puasa Ramadhan, sehingga mereka mewajibkan diri mereka sendiri dan menyalahkan orang-orang yang tidak mengerjakannya. Jadi anggapan makruh ini adalah syadz ad-dzara’i (tindakan pencegahan). Akan tetapi hadits shahih tentang puasa Syawal ini bagaimanapun lebih kuat dibanding pendapat Imam Malik tersebut. Rahasia disunnahkannya puasa di bulan ini barangkali agar kaum muslim senantiasa menjaga ketaatan dan ketakwaan kepada Rabbnya, sehingga semangat ibadah tetap berlanjut sampai bulan-bulan berikutnya bahkan sampai Ramadhan berikutnya.
b. Puasa ‘Arafah
Yang dimaksud puasa Arafah adalah puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah. Puasa ini terbilang paling afdhal karena pada hari itu jamaah haji wukuf di padang Arafah mengenakan busana ihram, mereka memenuhi panggilan Allah, mengkhusu’kan dirinya beribadah kepada Allah. Nabi bersabda bahwa puasa ‘Arafah dapat menghapus dosa satu tahun.
Menurut jumhur ulama bahwa puasa ‘Arafah hanya disunnahkan kepada orang yang tidak melakukan ibadah haji. Sedang yang melakukan ibadah haji justru dimakruhkan, karena dikahwatirkan dnegan berpuasa akan mengurangi semangat ibadah mereka saat wukuf. Hal ini berdasar pada riwayat Abu Hurairah: Annahu Shalla Allah alaih wa Sallam naha shauma ‘Arafata bi ‘Arafat.
c. Puasa di bulan Muharram
Menurut sejumlah riwayat, puasa di bulan Muharram –khususnya tanggal sepuluh- amat dikenal di kalangan Quraisy pada zaman Jahiliyyah, begitu juga di kalangan Yahudi. Bahkan menurut suatu riwayat, sebelum diwajibkan puasa Ramadhan, umat Islam mengerjakan puasa di bulan Muharram ini: “hari Asyura adalah hari di mana orang Qurasiy di masa Jahiliyyah berpuasa dan Rasul pun mengerjakannya. Ketika beliau datang ke Madinah, beliau berpuasa juga. Bahkan menyuruh para sahabat untuk berpuasa. Tatkala puasa Ramadhan diwajibkan beliau bersabda: “barangsiapa yang mau melaksanakan, silahkan berpuasa, dan barangsiapa yang tidak ingin silahkan tinggalkan”. Untuk membedakan dengan ajaran Yahudi dan masa Jahiliyyah, Nabi menganjurkan untuk mengerjakan puasa hari sebelumnya, yaitu tanggal sembilan Muharram.
d. Puasa di bulan Sya’ban
Disunnahkan berpuasa di bulan Sya’ban sebagai persiapan dalam rangkan menghadapi bulan sucu Ramadhan dan dalam rangka mengikuti Sunnah Nabi. Aisyah pernah berkata: “Nabi Saw. tidak pernah berpuasa dalam satu bulan lebih banyak dari puasa di bulan Sya’ban”. Rahasia di balik puasa ini sebagaimana dijelaskan oleh riwayat yang bersumber dari Usamah bin Zaid yang mengatakan: “Wahai Rasulullah, Aku belum pernah melihat engkau berpuasa satu bulan sebagaimana engkau berpuasa di bulan Sya’ban. Nabi menjawab: bulan ini adalah bulan yang diapit oleh bulan Rajab dan Ramadhan yang dilalaikan banyak orang. Ia adalah bulan yang padanya diangkat segala amalku, karenanya aku berpuasa”.
e. Puasa di bulan-bulan Haram (mulia)
Bulan-bulan haram adalah Dzu al-Qa’dah, Dzu al-Hijjah, Muharram dan Rajab. Bulan haram ini adalah bulan yang diagungkan oleh Allah dan diharamkan melakukan peperangan di bulan-bulan ini.
Disunnhakannya banyak berpuasa di bulan ini berdasar pada hadits Nabi Saw.
سنن أبي داود ج: 2 ص: 322
2428 حدثنا موسى بن إسماعيل ثنا حماد عن سعيد الجريري عن أبي السليل عن مجيبة الباهلية عن أبيها أو عمها أنه أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم انطلق فأتاه بعد سنة وقد تغيرت حالته وهيئته فقال يا رسول الله أما تعرفني قال ومن أنت قال أنا الباهلي الذي جئتك عام الأول قال فما غيرك وقد كنت حسن الهيئة قال ما اختلفا طعاما إلا بليل منذ فارقتك فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم لم عذبت نفسك ثم قال صم شهر الصبر ويوما من كل شهر قال زدني فإن بي قوة قال صم يومين قال زدني قال صم ثلاثة أيام قال زدني قال صم من الحرم واترك صم من الحرم واترك صم من الحرم واترك وقال بأصابعه الثلاثة فضمها ثم أرسلها
f. Puasa Senin-Kamis
Nabi Saw, sangat bersungguh-sungguh berpuasa di hari senin dan kamis. Hal ini karena memang kedua hari ini adalah hari yang utama. Menurut Nabi, kedua hari itu adalah saat amal manusia disetor ke hadapan Tuhan seru sekalian alam. Alangkah bagusnya ketika amal itu disetor kita dalam keadaan berpuasa!
Menurut riwayat lain, bahwa pada hari Senin dan kamis pintu-pintu surga dibuka. Allah mengampuni setiap dosa hamba-Nya yang tidak mengandung unsur syirik dan ada permusuhan antara dua orang Muslim.
Selain itu, Rasul mengatakan bahwa hari senin adalah hari kelahiran Nabi dan diutusnya beliau sebagai rasul.
g. Puasa tiga hari di setiap bulan
Di antara sekianbanyak puasa sunnah adalah puasa tiga hari tiap-tiap bulan, atau yang disebut dengan ayyam al-biydh. Allah memberikan balasan satu kebaikan dnegans epuluh kebaikan. Jadi, tiga hari puasa dalam satu bulan, sama halnya dengan puasa tiga puluh hari atau sebulan penuh. Nabi sendiri melakukan puasa ini dan menganjurkan kepada umatnya. Dalam riwayat Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Abu Hurairah dikatakan: “kekasihku SAw. pernah berwashiat kepadaku dengan tig hal dan aku tidak akan meninggalkannya hingga wafat; (pertama) puasa tiga hari tiap-tiap bulan, (kedua), shalat dhuha, dan (ketiga), tidur untuk persiapan mengerjakan shalat malam. Dan juga hadits dari Abu Dzar: “Bahwasanya ia (Nabi Saw) pernah menyruh seorang laki-laki berpuasa pada tanggal tiga belas, empat belas dan lima belas”.
Anjuran waktu puasa tiga hari tiap-tiap bulan ini dalam masing-masing riwayat berbeda. Hal ini menegaskan bahwa adanya puasa ini tidak kaku, sehingga setiap muslim boleh berpuasa di setiap bulan, baik awal bulan, pertengahan, maupun akhir bulan.
h. Satu hari puasa satu hari berbuka
Puasa ini disebut pula puasa Nabi Daud As. Menurut keterangan, puasa ini paling utama dan paling dicintai Allah bagi orang yang mampu dan tidak berat mengerjakannya.
صحيح مسلم ج: 2 ص: 817
1159 وحدثنا يحيى بن يحيى أخبرنا خالد بن عبد الله عن خالد عن أبي قلابة قال أخبرني أبو المليح قال دخلت مع أبيك على عبد الله بن عمرو فحدثنا ثم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر له صومي فدخل علي فألقيت له وسادة من آدم حشوها ليف والحاصل على الأرض وصارت الوسادة بيني وبينه فقال لي أما يكفيك من كل شهر ثلاثة أيام قلت يا رسول الله قال خمسا قلت يا رسول الله قال سبعا قلت يا رسول الله قال تسعا قلت يا رسول الله قال أحد عشر قلت يا رسول الله فقال النبي صلى الله عليه وسلم لا صوم فوق صوم داود شطر الدهر صيام يوم وإفطار يوم

3. Puasa yang dilarang atau makruh
a. Dua hari Raya: ied al-fithri dan ied al-adha
Para ulama sepakat tentang keharaman puasa di dua hari raya, baik puasa fardhu maupun puasa sunnah. Hal ini berdasar pada perkataan Umar ra.: “Rasulullah Saw melarang puasa di dua hari raya. Idul Fithri adalah hari dimana kalian berbuka dari puasa ramadhan, sedangkan idul adha adalah hari dimana kalian memakan kurban-kurban kalian”, (Hadits Riwayat Ahmad)
a. Hari tasyriq
Dilarang berpuasa di tiga hari setelah idul adha berdasarkan riwayat Abu Hurairah ra. : “Bahwa Rasulullah mnegutus Abdullah bin Khudzafah untuk berkeliling di Mina (dan mengumumkan): janganlah kalian puasa di hari-hari ini, karena hari-hari ini adalah hari untuk makan, minum dan dzikir kepada Allah”. (hadits riwayat Ahmad). Sedangkan pengikut madzhab Syafei membolehkan puasa di hari tasyriq jika puasa tersebut memilki sebab, seperti nadzar, kifarat dan qadha. Tetapi jika puasa tersebut tidak memiliki sebab maka tidak dobolehkan sama sekali.
b. Hari Jum’at
Hari jumat adalah hari raya mingguan bagi umat Islam, oleh karena itu puasa di hari ini dilarang. Mayoritas ulama berpendapat larangan ini hanya makruh, tidak sampai pada hukum haram. Larangan ini muncul bila pada hari itu saja puasa dilakukan. Tetapi jika hari sebelumnya telah berpuasa atau hari setelahnya melakukan puasa, atau sudah jadi kebiasaan, bertepatan dengan hari arafah (tanggal 9 dzulhijjah) dan sepuluh muharam maka puasa di hari jumat dibolehkan dan tidak makruh. Dalam Bukhari dan Muslim dikatakan suatu hadits dari Jabir bahwa Rasulullah Saw bersabda: “janganlah kalian berpuasa di hari jum’at, kecuali telah berpuasa di hari sebelumnya atau akan berpuasa hari berikutnya”. Dalam redaksi imam Muslim dikatakan: “Janganlah kalian mengkhususkan malam jumat dengan ibadah tanpa malam lainnya dan janganlah kalian mengkhususkan hari jum’at dengan puasa kecuali memang salah seorang di antara kalian biasa melakukannya”.
c. Hari Sabtu
Larangan melakukan puasa secara khusus di hari sabtu karena orang-orang Yahudi mengagungkan hari sabtu, dan kita dilarang menyerupai prilaku mereka. Madzhab Hanafi, Syafii dan Hanbali memakruhkan puasa di ahri sabtu ini tanpa didahului puasa di hari sebelumnya atau sesudahnya berdasarkan hadits dari Busr as-salimi dari saudara perempuannya: “bahwa Rasulullah bersabda: Janganlah kalian berpuasa di hari sabtu kecuali memang diwajibkan kepada kalian (puasa wajib). Jika kalian tidak menemukan makanan sedikitpun untuk berbuka maka kunyah lah tangkai anggur atau pelapah pohon”. (HR Ahmad dan lainnya). Sedangkan madzhab Maliki membolehkan puasa di hari sabtu tanpa ada syarat apapun.
d. Hari yang diragukan
Hari yang diragukan adalah ketika di akhir bulan Sya’ban belum terlihat hilal Ramadhan, dan hari itu masih diragukan apakah sudah masuk Ramadhan atau belum, maka saat itu puasa tidak dibolehkan. Hal ini berdasar pada perkataan Amar bin Yasir ra : “orang yang berpuasa di hari yang diragukan maka dia telah melanggar hukum Abu al-Qasim (Nabi Saw.)”. (diriwayatkan oleh para pengarang ktab Sunan).
e. Puasa setahun penuh
Diharamkan melakukan puasa sepanjang tahun termasuk puasa di hari-hari yang dilarang oleh agama, seperti idul fithri atau hari tasyriq. Jika dia tidak berpuasa di hari-hari yang dilarang tersebut maka hilanglah larangan itu jika memang ia kuat melakukannya. Tetapi yang utama adalah berpuasa sehari dan berbuka sehari.
f. Puasa wanita tanpa izin suami
Rasulullah Saw melarang wanita berpuasa ketika suaminya ada di rumah, sehingga ia meminta izin terlebih dahulu. Bersumber dari Abu Hurairah ra. Bahwa Nabi Saw bersabda: “janganlah seorang wanita berpuasa walau sehari pun ketika suami ada di sisi nya, kecuali dia telah mendapat izin atau melakukan puasa Ramadhan”. Larangan ini bersifat haram. Para ulama membolehkan suami untuk merusak puasa istrinya bila dia berpuasa tanpa izin karena itu adalah haknya. Akan tetapi pada puasa Ramadhan seorang istri tidak harus meminta izin suaminya dan sang suami pun tidak berhak membatalkan puasa ramadhan istrinya.
g. Puasa wishal (terus menerus)
Yang dimaksud puasa wishal adalalah melakukan puasa tanpa berbuka. Hal ini berdasar pada riwayat Abu Hurairah ra. : “bahwa Nabi saw bersabda: jauhilah puasa wishal –Nabi megucapkanya sampai tiga kali-, Para sahabat berkata: engkau pun melakukan wishal wahai Rasulullah? Nabi menjawab: Kalian tidak seperti aku, jika malam hari, Allah selalu memberi aku makan dan minum (memberi kekuatan), maka kerjakanlah ibadah yang kalian mampu (HR. Bukhari dan Muslim). Para ulama menilai puasa ini termasuk makruh. Sedangkan imam Ahmad, Ishak dan Ibn Mundzir membolehkan puasa ini selama dia melakukan sahur dan tidak membahayakan kepada pelakunya.




ZAKAT

Zakat adalah bentuk mashdar dari zaka al-Syaia idza nama wa zada, wa zaka fulan iza shaluha yaitu suci, berkembang, barakah dan terpuji. (Yusuf Qardhawi, fiqhu zakat. Juz 1 hal 39). Menurut Sayid Sabiq dalam fiqh Sunnah zakat secara istilah adalah nama sesuatu/benda yang dikeluarkan manusia dari hak milik Allah untuk kaum faqir. Dinamakan zakat karena didalamnya mengandung unsure mengharapkan karunia Allah, mensucikan jiwa dan menumbuhkan dengan berbagai macam kebajikan.
Dari definisi di atas, tujuan menunaikan zakat adalah membersihkan harta dan jiwa, sehingga orang-orang yang menunaikan zakat berarti ia telah membersihkan harta dan jiwanya dari segala kotoran noda dan dosa. Zakat juga sebagai lambing syukur atas karunia Allah yang diberikan kepadanya. Karena harta pada hakikatnya adalah milik Allah, harta yang ada pada manusia hanya semata-mata titipan yang harus digunakan di jalan Allah.
Selain zakat, kita mengenal kata shadaqah dan infaq. Shadaqah secara bahasa berasal dari kata shadaqa, yashduqu shadaqatan yang berarti pembenaran. Secara istilah adalah mengeluarkan harta di jalan Allah sebagai pembenaran terhadap ajaran-ajaran Allah. Sedangkan infaq secara bahasa mengeluarkan. Jadi infaq diartikan adalah mengeluarkan harta di jalan Allah.
Pada hakekatnya, antara zakat, shadaqah dan infaq adalah sama, zakat berarti shadaqah, shadaqah berarti infaq, dan shadaqah juga berarti zakat. Namun zakat digunakan untuk mengeluarkan harta dengan jumlah tertentu dan waktu-waktu tertentu. Seperti zakat fitrah yang dikeluarkan dengan nishab tertentu pada bulan Ramadhan dan zakat mal (harta) yang dikeluarkan jika telah memenuhi nishab dan haul. Sedangkan shadaqah dan infaq dapat dikeluarkan tidak dengan waktu atau jumlah tertentu.
Penyebutan zakat dalam al-Quran sebanyak tiga puluh kali, dua puluh tujuhnya disebutkan setelah perintah menegakkan shalat. Hal ini mengisyaratkan bahwa sebelum menunaikan zakat terlebih dahulu harus menegakkan shalat, begitu juga shalat tidak akan tegak jika tidak menunaikan zakat. Hal ini juga sama dengan ibadah puasa di bulan Ramadhan, puasa menjadi kurang sempurna jika tidak melaksanakan zakat fitrah. Itu artinya zakat menyempurnakan ibadah shalat dan puasa kita.


Dasar Hukum
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang harus dipenuhi oleh semua umat Islam. Banyak al-Quran dan Sunnah Rasul yang memerintahkan untuk menunaikan zakat. Diantaranya firman Allah SWT:
Al-A’raf:156, Maryam 31, al-Anbiya:72. An-Naml: 3.
Sabda Rasulullah Saw:
“Islam ditegakkan di atas lima prinsip, yaitu menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwasanya Nabi Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, mengerjakan haji dan berpuasa pada bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Allah pun memberikan ancaman kepada orang-orang yang menolak zakat. Seperti pada firman-Nya:

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak (harta kekayaan) serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka kabarkanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskannya emas dan perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “inilah harta kekayaan yang kalian simpan untuk kepentingan diri kalian sendiri, maka rasakanlah, nikmatilah sekarang (akibat dari) apa yang kalian simpan itu.” (QS. At-Taubah:34-35)
Rasul juga mengancam kepada mereka dengan sabda beliau:
“Barang siapa yang diberi harta benda oleh Allah akan tetapi tidak mau mengeluarkan zakatnya, maka pada hari kiamat kelak harta tersebut akan dirupakan bagaikan seekor ular jantan yang amat berbisa, dengan kedua matanya yang dilingkari warta hitam kelam. Lalu dikalungkan ke lehernya. Maka ular itu pun akan memegang rahangnya dan mengatakan kepadanya: “Saya ini adalah simpanan anda, saya adalah harta kekayaan anda”,. Kemudian Rasulullah membaca ayat yang artinya: “Janganlah orang-orang yang kikir mengeluarkan harta karunia Allah yang diberikan kepada mereka menyangka bahwa harta yang disimpannya itu akan membawa manfaat, sebaliknya akan mencelakakan mereka. Pada hari kiamat harta benda yang tengah panas membara, yang tak hendak dikeluarkannya itu akan dikalungkan ke leher mereka”. (QS. Ali Imran:180)
Zakat merupakan salah satu kewajiban yang telah diakui oleh umat Islam secara ijma. Zakat juga merupakan suatu amal ibadah yang sangat populer hingga menjadi suatu keharusan dalam agama. Jadi, jika seseorang mengingkari kewajibannya, berarti ia keluar dari agama Islam dan harus dibunuh dalam keadaan kafir. Akan tetapi, jika ia baru saja mengenal agama Islam, ia dimaafkan dikarenakan tidak mengetahui hukum-hukum agama.
Adapun orang yang tidak mau mengeluarkannya, tetapi ia masih mengakui bahwa hal itu wajib, maka ia berdosa disebabkan keengganannya, tanpa mengeluarkan dirinya dari agama Islam. Hakim hendaklah mengambil zakat itu secara paksa dan menjatuhkan hukum ta’zir kepada siapa saja yang enggan membayar zakat.
Zakat diwajibkan kepada setiap muslim merdeka, memiliki nishab dari salah satu jenis harta yang wajib di keluarkan zakatnya. Adapun syarat nishab adalah sebagai berikut:
1. hendaklah melebihi kebutuhan-kebutuhan penting bagi seseorang, seperti untuk makan, pakaian, tempat kediaman, kendaraan, dan sarana untuk mencari nafkah.
2. Berlangsung selama satu tahun (tahun hijriah). Permulaannya dihitung mulai dari saat memiliki nishab dan harus genap selama satu tahun penuh. Seandainya terjadi kekurangan di pertengahan tahun lalu kembali cukup, permulaan tahun dihitung dari saat cukupnya itu.
Bagi orang yang mempunyai harta yang wajib dizakati, tetapi ia berutang, hendaklah ia menyisihkan utangnya terlebih dulu sesuai dengan kadar utangnya. Setelah itu, hendaklah ia mengeluarkan zakat dari sisanya jika sampai nishab. Akan tetapi jika tidak sampai nishab, ia tidak wajib mengeluarkan zakat, karena dalam hal ini, ia adalah orang miskin, sedangkan Rasulullah Saw bersabda,
لا صدقة إلاّ عن ظهر غنى
“Tidak wajib zakat kecuali dari kalangan orang kaya.” (HR. Ahmad dan Bukhari).
Mendoakan Orang yang berzakat adalah disunatkan, yaitu pada saat menerima zakat darinya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya, doamu itu akan menentramkan jiwa mereka. (QS. al-Taubah [9]:103).
Diterima dari Abdullah bin Abu Aufa
عن عبد الله ابن أبي أوفى وكان من أصحاب الشجرة قال كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا أتاه قوم بصدقة قال اللهمّ صلّ عليهم فأتاه أبي بصدقته فقال اللهمّ صلّ على أل أبي أوفى (رواه أحمد وغيره)
“Apabila Rasulullah Saw menerima zakat dari orang lain, beliau membaca doa, ‘Ya Allah, limpahkanlah karunia atas mereka!’ juga ketika bapakkumenyerahkan zakat kepadanya, beliau membaca doa, ‘Ya Allah, limpahkanlah karunia atas keluarga Abu Aufa.” (HR. Ahmad dan lain-lainnya).

Mustahiq Zakat
Semua manusia butuh terhadap harta, orang yang sudah diberi kecukupan harta pun ingin terus menambah hartanya apalagi orang yang tidak berkecukupan. Namun Islam sangat mengharapkan bahwa harta itu tidak hanya ada pada orang-orang kaya, tetapi juga harta itu juga ada pada orang-orang yang membutuhkan. Oleh karena itu, zakat harus diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Dalam al-Quran mereka itu disebutkan ada delapan golongan. Sebagaimana firman Allah Swt:
“Sesungguhnya shadaqah itu diperuntukkn bagi orang fakir, orang miskin, ‘amil (panitia pelaksana), para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak sahaya, orang yang hidupnya terjerat dengan hutang, orang yang berjuang di jalan Allah, dan orang yang dalam perjalanan. Suatu ketetapan dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana”. (QS. At-Taubah:60)
Berdasarkan ayat di atas, mustahiq zakat adalah:
1. Fakir, ialah orang yang melarat tidak mempunyai mata pencaharian.
2. Miskin, orang yang yang punya mata pencaharian tetapi tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Ditinjau dari segi kebutuhan dan ketiadaannya, begitu juga dari segi berhaknya mereka menerima zakat, tidak ada perbedaan antara orang-orang fakir dan miskin. Adapun kadar zakat yang diberikan kepada fakir miskin adalah sebesar jumlah yang dapat membebaskannya dari kemiskinan kepada kemampuan dari kebutuhan kepada kecukupan untuk selama-lamanya. Karena tujuan zakat adalah memberikan kecukupan dan menutup kebutuhan si miskin. Dalam hal ini, Umar r.a mengatakan, “Jika kamu memberi zakat, cukupkanlah!” Qadhi Abdul Wahab mengatakan, “Malik tidak memberikan batasan dalam hal ini. Katanya, ‘Ia diberi seperti layaknya orang yang mempunyai tempat kediaman, pelayan, dan kendaraan yang diperlukannya itu.”
3. ‘Amil, orang yang bertugas melaksanakan pengumpulan dan pembagian zakat.
4. Muallaf, yaitu golongan yang diusahakan untuk dirangkul, ditarik, dan dikukuhkan hatinya dalam keislaman disebabkan belum mantapnya keimanan mereka, atau untuk menolak bencana yang mungkin mereka lakukan terhadap kaum muslimin dan mengambil keuntungan yang mungkin dimanfaatkan untuk kepentingan mereka.
5. Budak. Golongan ini mencakup budak mukatab, yakni yang telah dijanjikan oleh tuannya akan merdeka apabila telah melunasi harga dirinya yang telah ditetapkan dan demikian pula budak-budak biasa. Budak mukatab dibantu dengan harta zakat untuk membebaskan dirinya dari belengu perbudakan, sedangkan budak-budak biasa dibeli dengan harta itu lalu dibebaskan. Imam Syaukani mengatakan bahwa ‘para ulama berselisih pendapat mengenai ayat ‘untuk memerdekakan budak’.
Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib, Sa’id bin Jubair, Laits, Tsauri, Atrah, golongan Hanafi dan Syafii, serta kebanyakan ulama bahwa yang dimaksud dengannya ialah budak-budak mukatab. Mereka wajib dibantu dengan zakat untuk menebus diri mereka.
6. Orang yang terlilit hutang, diantaranya orang yang memikul utang untuk mendamaikan sengketa atau menjamin utang orang lain sehingga harus membayarnya yang berakibat menghabiskan hartanya. Bisa juga orang yang terpaksa berutang karena memang membutuhkannya untuk keperluan hidup atau membebaskan dirinya dari maksiat. Semua itu boleh menerima zakat yang cukup untuk melunasi hutang.
7. Fi sabilillah, yaitu orang yang berusaha dan berjuang untuk menyebar luaskan ajaran Islam serta mempertahankannya. Jumhur ulama berpendapat bahwa yang termasuk fisabilillah adalah tentara sukarelawan yang tidak mendapatkan gaji dari emerintah. Orang-orang inilah yang berhak memperoleh zakat, baik mereka kaya maupun miskin. Telah disebutkan dalam hadits, “Tidak halal zakat bagi orang kaya kecuali ke atas lima golongan orang; orang yang berperang pada jalan Allah....”
8. Ibnu Sabil, yaitu orang yang sedang dalam perantauan, sedang bekal perjalanan sangat kurang. Dalam hal ini, ulama mensyaratkan bahwa perjalanannya itu hendaklah dalam melakukan ketaatan atau tidak dalam kemaksiatan. Menurut golongan Syafi’i, ibnu sabil itu ada dua golongan: pertama, orang yang melakukan perjalanan di negeri tempat tinggalnya, di tanah airnya sendiri. Kedua, orang yang menjadi musafir yang melintasi sesuatu negeri.
Fakir dan miskin harus lebih diutamakan daripada yang lainnya karena mereka membutuhkan harta ini untuk menyambung kehidupan mereka. ‘Amil dapat diberikan harta zakat ini karena usahanya telah mengumpulkan harta zakat juga untuk menghindari para ‘amil zakat berbuat korupsi. Bayangkan jika ‘amil tidak ditetapkan sebagai orang yang berhak menerima zakat. Mungkin mereka tidak mau mengelola harta zakat atau juga mereka akan melakukan penipuan terhadap pembagian harta zakat. Muallaf diberikan zakat harta karena mereka telah meninggalkan harta mereka untuk memilih Islam. Sehingga mereka tidak memiliki harta sama sekali. Jika seorang muallaf memiliki harta berkecukupan mereka pun tidak berhak menerima zakat. Harta zakat dapat digunakan untuk kepentingan orang banyak, dalam hal ini untuk memerdekakan budak, zaman sekarang sudah tidak ada perbudakan, dapat diganti dengan membangun sarana-sarana umum seperti masjid dan madrasah. Inilah yang diterapkan oleh pimpinan-pimpinan pesantren. Orang yang terlilit hutang dapat diberikan harta zakat untuk membantu melunasi hutangnya. Fi sabilillah adalah orang-orang yang berjihad dan berusaha menyebar luaskan ajaran Islam, mereka ini berhak menerima harta zakat untuk memotivasi jihad dan usaha mereka dalam menegakkan dan menyebar luaskan ajaran Islam. Dalam hal ini adalah guru-guru agama. Ibnu sabil, adalah orang yang merantu dan bekal perjalanan mereka sangat kurang, mereka berhak menerima zakat untuk memberikan bekal perjalanan mereka.

Macam-Macam Zakat
Zakat terdiri dari zakat fitrah dan zakat mal.
Zakat fitrah adalah zakat yang ditunaikan pada bulan Ramadhan untuk menyempurnakan ibadah puasa. Sedangkan zakat mal adalah zakat harta (kekayaan) yang telah mencapai nishab dan haul.
1. Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim laki-laki, perempuan, besar atau kecil, merdeka atau buak pada awal bulan Ramadhan sampai orang-orang selesai shalat idul fitri dengan ukuran sebanyak dua setengah kilogram bahan makanan pokok untuk setiap orangnya.
Dasar kewajiban zakat fitrah adalah sabda Rasulullah Saw:
“Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan, sebanyak satu sha’ (3,1) liter dari makanan kurma atau syair (gandum) atas tiap tiap orang merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan muslim”. (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar r.a).
“Rasulullah Saw memfardhukan zakat fitrah untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan tutur kata keji, dan menjadi makanan bagi orang-orang miskin. Barang siapa menunaikannya sebelum shalat Ied maka itulah zakat yang diterima. Dan barang siapa menunaikannya setelah shalat Ied, maka shadaqahnya itu merupakan shadaqah min shadaqah (shadaqah biasa).

Cara mengeluarkan zakat fitrah:
Jika seorang kepala keluarga memiliki isteri, 3 anak laki-laki dan seorang anak perempuan, seorang ibu yang menjadi tanggungannya dan seorang pembantu. Harga bahan pokok beras yang terbaik Rp. 7000 / kg. Berapa zakat fitrah yang dikeluarkan oleh seorang kepala keluarga?
Jumlah seluruh orang yang wajib mengeluarkan zakat adalah 8 (delapan). Sehingga cara penghitungannya adalah 8 x 2,5 x 7000= 8 x 17.500 = Rp. 140. 000. (untuk perorang dibayar Rp. 17.500. dan kepala keluarga harus membayarkan 7 orang dengan dirinya (8) sejumlah Rp. 140. 000.
Jika anak-anak tersebut tidak lagi menjadi tanggungan orang tuanya, maka orang tua tidak kewajiban membayarkan zakat mereka, begitu juga jika orang tua menjadi tanggungan anak-anaknya, anak-anaknya berkewajiban membayarkan zakat mereka.
2. Zakat Mal
Zakat mal adalah zakat harta atau kekayaan yang harus dikeluarkan setelah terpenuhinya syarat-syarat. Diantara syarat-syarat tersebut adalah:
a. Milik Sempurna, yaitu bahwa harta itu benar-benar miliknya, yang mempunyai kekuasaan untuk mengelolanya, memang pada hakikatnya harta yang dimiliki itu adalah harta Allah. Namun Allah telah memberikan kepercayaan kepadanya untuk digunakan di jalan-Nya dengan baik. Sehingga tidak wajib mengeluarkan zakat Mal dari harta pinjaman, juga tidak wajib mengeluarkan harta dari harta-harta yang diperoleh dari cara-cara yang tidak baik seperti ghasab atau mencuri, korupsi, menipu dan lain-lain. (Yusuf Qardhawi, Fiqh Zakat juz 1, hal 133-134)
b. Harta kekayaan yang berharga, harta yang dimiliki tentunya yang bernilai atau berharga, dalam hal ini adalah Emas dan Perak, Hewan ternak, Hasil tanaman, harta perniagaan. Hasil tambang, Harta temuan dan ditambah dengan Zakat Profesi.
c. Nishab, adalah kadar atau ukuran minimal wajib zakat.
d. Haul, adalah waktu pemilikian harta selama satu tahun. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
“Tidak ada (wajib) zakat pada harta seseorang sebelum sampai satu tahun dimilikinya.” (HR. Daruquthni).

Zakat Emas dan Perak
Emas dan perak adalah salah satu jenis harta kekayaan yang bernilai tinggi, sehingga wajib dikeluarkan zakatnya jika telah mencapai nishab dan haul. Adapun nishab emas seberat 85 gram dan zakatnya adalah 2,5 %. Sedang nishab perak ialah seberat 200 dirham atau 5 awaq atau 672 gram perak murni, zakatnya adalah lima dirham atau 2,5 %. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw:
“Tidak ada kewajiban sesuatu apapun bagimu –yakni mengenai emas- sehingga engkau memiliki dua puluh dinar. Jikalau milikmu telah sampai dua puluh dinar, dan cukup masa satu tahun, maka zakatnya setengah dinar. Dan kelebihannya diperhitungkan seperti itu, dan tidak wajib zakat pada sesuatu harta sampai menjalani masa satu tahun”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Baihaqi, dishahihkan oleh Bukhari dari Ali ra.)

Adapun tentang uang kertas, sesungguhnya uang itu dapat digunakan untuk membeli emas, maka bila jumlahnya telah mencapai nilai 85 gram, maka wajiblah dikeluarkan zakatnya.

Cara penghitungan zakat emas dan perak adalah sebagai berikut:
Seorang muzakki memiliki emas seberat 150 gram, berapa gram yang harus dikeluarkan zakatnya dan berapa rupiah yang dikeluarkan zakatnya, jika harta satu gram emas Rp 110.000?
Jika dibayarkan dengan emas maka zakat yang dikeluarkannya adalah 150 gram x 2,5 % = 3,75 gram. Dan jika dikeluarkan dengan uang rupiah adalah 150 gram x 110. 000 = Rp. 16.500.000 x 2,5 % = Rp. 412500
Seorang muzakki memiliki perak seberat 750 gram, harga satu gram perak misalnya Rp. 20.000. berapa gram perak atau rupiah yang harus dikeluarkan zakatnya?
750 gram x 2,5 % = 18.75 % sedangkan jika dikeluarkan dengan rupiah adalah 750 gram x Rp. 20.000 = Rp. 15.000.000= Rp. 15.000.000 x 2.5 % = 3.750.000

Zakat Hewan Ternak
Hewan ternak yang wajik dikeluarkan zakatnya adalah sapi, kambing/domba dan unta.
Sapi atau kerbau
Sapi atau kerbau adalah jenis binatang ternak yang cukup bernilai tinggi, orang yang memiliki binatang ternak ini tentunya memiliki kekayaan harta yang bernilai tinggi. Sehingga wajib mengeluarkan zakatnya. Setiap memiliki 30 ekor sapi atau kerbau dikenai zakat seekor anak sapi atau anak kerbau umur satu tahun, dan tiap 40 ekor dikenai zakat seekor anak sapi/kerbau umur dua tahun. Ketentuan seperti ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw:
“Menilik hadits Muadz bin Jabl ketika diutus ke negeri Yaman, bahwa ia diperintah untuk memungut dari tiap 30 ekor sapi, seekor anak sapi yang berumur satu tahun dan 40 ekor sapi, seekor anak sapi yang berumur dua tahun”. (HR. Ibnu Majah, Abu Dawud, Turmudzi).
Nishab sapi lebih besar dari nishab emas, jika satu ekor sapi seharga Rp. 7000.000 maka 30 ekor sapi Rp. 21.000.000. sedangkan nishab emas 85 gram. Jika harga pergram emas murni 150.000 hanya 12.750.000.

Kambing/Domba
Nishab kambing/domba dari mulai jumlah 40 ekor kambing sampai dengan jumlah 120 ekor wajib mengeluarkan zakatnya adalah seekor kambing. Dan mulai 121 ekor sampai 200 ekor wajib mengeluarkan zakatnya dua ekor kambing. Selebihnya di atas 300 ekor maka setiap pertambahan 100 ekor dikenai satu ekor kambing.

Ketentuan ini didasarkan kepada sabda rasulullah saw:
“Dan tentang zakat kambing gembala, bila ada 40 ekor sampai 120 ekor dikenakan zakat seekor kambing. Jika kambing itu lebih dari 120 sampai 200 dikenakan zakatnya dua ekor kambing. Dan jika kambing itu lebih dari 200 sampai dengan 300 ekor dikenakan zakatnya tiga ekor. Jika lebih dari 300 ekor, maka setiap 100 ekor dikenai zakat seekor kambing. Kalau kambing gembala itu kurang dari 40 ekor walaupun hanya kurang seekor saja, maka tidaklah dikenakan zakat, kecuali dari kehendak yang pemiliknya…(HR. Tsamamah bin Abdullah bin Anas dari Anas).

Onta
Binatang seperti ini sangat jarang ditemukan di Negara kita, tetapi kita pun perlu mengetahui jika sewaktu-waktu kita memilikinya. Nishab onta adalah:
5 – 9 wajib mengeluarkan zakatnya adalah seekor kambing umur 1 tahun lebih.
10 – 14 ekor unta, wajib mengeluarkan zakat dua ekor kambing umur 1 tahun lebih
15 – 19 ekor unta, wajib mengeluarkan zakat tiga ekor kambing umur 1 tahun lebih
20 – 24 ekor unta, wajib mengeluarkan zakat empat ekor kambing umur 1 tahun lebih
25 – 35 ekor onta, wajib mengeluarkan zakat seekor anak onta umur 1 tahun lebih.
36 – 45 ekor unta, wajib mengeluarkan zakatnya seekor anak unta umur 2 tahun lebih.
46 – 60 ekor unta, wajib mengeluarkan zakatnya seekor anak unta umur 3 tahun lebih.
61 – 75 ekor unta, wajib mengeluarkan zakatnya seekor anak unta umur 4 tahun lebih.
76 – 90 ekor unta, wajib mengeluarkan zakatnya 2 ekor unta umur 2 tahun lebih .
91 – 120 ekor unta, wajib mengeluarkan zakatnya 2 ekor unta umur 3 tahun lebih.
120 ekor unta, wajib mengeluarkan zakatnya 3 ekor unta umur 2 tahun lebih.

Mulai dari 121 ini dihitung tiap-tiap 40 ekor unta zakatnya 1 ekor unta umur 2 tahun lebih, dan tiap-tiap 50 ekor unta zakatnya 1 ekor unta yang berumur 3 tahun lebih. Jadi, 130 ekor unta zakatnya 2 ekor unta umur 2 tahun dan 1 ekor unta umur 3 tahun, dan 140 ekor unta zakatnya 1 ekor unta umur 2 tahun dan 2 ekor unta umur 3 tahun. Kalau 150 ekor unta, zakatnya 3 ekor unta umur 3 tahun, dan seterusnya.

Hal ini didasarkan kepada keterangan surati Abu Bakar kepada penduduk Bahrain. Rasulullah Saw bersabda:
“Tidak ada zakat unta sebelum sampai lima ekor. Maka apabila sampai 5 ekor zakatnya satu ekor kambing, 10 ekor zakatnya dua ekor kambing, 15 ekor zakatnya tiga ekor kambing, 20 ekor zakatny empat ekor kambing. 25 ekor zakatnya seekor anak unta, 36 ekor zakatny satu anak unta yang lebih besar, 46 ekor zakatnya satu anak unta yng lebih besar, 61 ekor zakatnya satu anak unta yang lebih besar lagi, 76 ekor zakatnya dua ekor anak unta, 91 ekor zakatnya dua ekor anak unta yang lebih besar, 121 ekor zakatnya tiga ekor anak unta, kemudian tiap-tiap 40 ekor zakatnya satu ekor anak unta umur 2 tahun lebih, dan tiap-tiap 50 ekor zakatny satu ekor anak unta umur 3 tahun. (Riwayat Bukhari dari Anas r.a)

Zakat Hasil Tanaman
Segala macam hasil tanaman semacam padi, gandum, kentang, jagung dan sebangsanya yang sifatnya menjadi bahan makanan pokok bagi penduduk negeri. Berbeda dengan jenis zakat mal lainnya, zakat hasil tanaman dikeluarkan tidak harus menunggu haul (satu tahun) tetapi setiap kali panen. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt:
وأتوا حقه يوم حصاده
“Dan keluarkanlah zakat biji makanan itu paa hari memetiknya”. (QS. Al-An’am:141).
Adapun nishab zakat hasil tanaman adalah 5 wasaq dan wajib mengeluarkan zakatnya 5 % jika hasil panennya diusahakan oleh manusia dan 10 % jika memerlukan usaha manusia. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

“Tidaklah dikenakan zakat atas biji makanan dan tidak pula terhadap kurma sehingga sampai lima (5) wasaq (HR. Muslim dari Abi Sa’id al-Khudri)
“Terhadap tanaman yang disiram hujan dari langit dan dari mata air atau yang digenangi air selokan, dikenakan zakatnya sepersepuluhnya (10%), sedang terhadap tanaman yang disiram dengan sarana pengairan, seperduapuluh (5%). (HR. Bukhari dan Ahmad serta Ahli Sunan dari Ibnu Umar r.a).

Menurut Sulaeman Rasyd dalam Fiqh Islam (204) bahwa Ukuran satu wasaq sama dengan 60 sha’, 5 wasaq berarti 300 sha’. Satu sha’ sama dengan 3,1 liter. Sehingga 300 sha’ sama dengan 930 liter. Zakat yang dikeluarkan antara 10 % dan 5 %.
Di Indonesia, nishab untuk hasil tanaman ini adalah 1050 liter atau 840 kg.

Contoh cara penghitungan
Misalnya seorang petani menghasilkan hasil panennya seberat 1500 liter. Hasil panen itu membutuhkan irigasi, berapa zakat yang harus dikeluarkannya:
1500 liter x 5% = 75 liter. Hasil panen yang wajib dikeluarkan adalah 75 liter.

Zakat Harta Perniagaan
Harta perniagaan adalah harta keuntungan dari perdagangan. Nishab harta perniagaan sama dengan nishab emas, yaitu 85 gram. Zakat yang harus dikeluarkannya adalah 2,5 %.
Tentang zakat harta perniagaan ini tidak dapat dijumpai satu nash pun, baik dalam al-Quran maupun hadits. Jumhur ulama sepakat bahwa harta perniagaan harus dikeluarkan zakatnya.

Zakat Hasil Tambang
Hasil tambang adalah sesuatu yang dihasilkan dari kekayaan ala mini seperti emas, perak dan hasil tambak ikan. Nishabnya adalah sama dengan nishab emas atau perak dan zakatnya adalah 2,5 %. Hasil tambang ini wajib dikeluarkan zakatnya berdasarkan sabda Rasulullah Saw;
“Bahwa sanya Rasulullah Saw telah mengambil shadaqah atau zakat dari hasil tambang di negeri Qabaliyah”. (HR. Abu Daud dan Hakim).

Zakat Rikaz (hasil Temuan)
Rikaz adalah harta temuan berupa barang-barang berharga seperti emas dan perak. Jika kita menemukan harta ini, wajib kita keluarkan zakatnyanya sebanyak 20 %. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
“Dari Abu Hurairah ra Rasulullah saw bersabda: Zakat rikaz adalah seperlima (20%).
Rikaz tidak disayaratkan sampai satu tahun (haul). Tetapi apabila didapat, segera wajib dikeluarkan zakatnya pada waktu itu juga, seperti zakat hasil panen. Adapun nishabnya, sebagian ulama seperti Imam Maliki, Abu Hanifah serta Imam Ahmad tidak ada nishabnya seperti tidak perlu haul.
Contoh. Seorang menemukan harta karun sebesar 1.000.000,00 maka wajib mengeluarkan zakatnya 20 %. Yaitu Rp 200.000,00.
Rikaz dapat diserupakan dengan bonus atau hadiah. Seperti seseorang mendapatkan hadiah dari suatu kuis, bernilai 50. 000.000, 00, maka wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 20%. Yaitu Rp. 10. 000.000,00

Zakat profesi.
Zakat profesi muncul baru-baru ini, sejak profesi zaman sekarang ini berbagai macam. Pada zaman Rasul Saw, mungkin profesi tidak sebanyak profesi zaman sekarang, tetapi bukan berarti profesi yang tidak ada zaman Rasul tidak ada zakatnya, karena nash al-Quran dan Sunnah mengancam orang-orang yang senang mengumpulkan harta mereka.
Para ulama pun menetapkan zakat profesi adalah wajib berdasarkan firman Allah Swt:
“Hai orang-orang beriman, infaqkanlah dari sebaik-baiknya harta yang kalian peroleh dan dari sesuatu yang Kami keluarkan untuk kalian dari bumi ini. Janganlah kalian sengaja memberikan dari apa yang jelek, yang sama sekali kalian tidak sudi mengambilnya (menggunakannya) kecuali dengan memejamkan mata terhadapnya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al-Baqarah 267).

Zakat profesi dapat dikeluarkan zakatnya setiap kali menerima gaji, nishabnya sama dengan nishab perak. Hal ini diqiyaskan dengan zakat hasil tanaman. Juga dapat dikeluarkan setahun sekali dan nishabnya adalah emas. Hal ini diqiyaskan dengan zakat perdagangan.

Adapun cara menghitung zakat profesi pertahun menurut Mushtafa Kamal dkk adalah:
1. Seorang memperoleh gaji Rp. 500.000,00 per bulan atau Rp 6.000.000,00 pertahun. Kebutuhan pokok sewajarnya Rp. 275.000,00 perbulan atau Rp. 3.300,00 pertahun. Nilai kekayaan Rp 6000.000,00 – Rp 3.300.000,00 = Rp. 2.700.000,00. Apabila telah melebihi nishab maka besarnya zakat yang harus dibayarkan Rp 2.700.000,00 x 2,5 % = Rp 67.500,00.
2. Kadir memiliki sebuah toko/perusahaan yang kekayaannya pada akhir tahun I sebagai berikut:
Sisa dagangan Rp 6.250.000,00
Keuntungan bersih Rp 500.000,00
Jumlah Rp 6.750.000,00
Apabila melebihi nishab, maka besarnya zakat 6.750.000,00 x 2,5 % = Rp 168.750,00
Pada akhir tahun II menjadi sebagai berikut:
Sisa dagangan Rp 1.750.000,00
Keuntungan bersih Rp 1.000.000,00
Jumlah Rp 2.750.000,00
Apabila melebihi nishab, maka besarnya zakat diperhitungkan: Rp 2.750.000,00 x 2,5 % = Rp 68.750,00
Contoh-contoh di atas belum mencapai nishab, jika nishab emas 85 gram, dan harga emas sekarang ini Rp 100.000 maka nishabnya adalah 85 x 100.000 = Rp 8.500.000, 00
Menurut data dari Bazis Indonesia, zakat profesi dibayarkan per bulan, dan nishab zakatnya sama dengan nishab perak yaitu 595 gram perak. Harga satu gram perak Rp 1.281,00. Jika dirupiahkan sebesar Rp 762.272,00. Zakat yang dibayarkan 2,5%.
Contoh seorang guru mendapat gaji Rp 1000.000,00 per bulan, maka zakatnya adalah 1.000.000,00 x 2,5 % = Rp 25.000.
Zakat yang dibayar per bulan ini lebih mudah dan lebih sederhana, karena tidak dipotong oleh kebutuhan yang sewajarnya dan tidak perlu menunggu haul. Karena diserupakan dengan zakat hasil pertanian.
Dalam mengeluarkan zakat profesi hendaknya setiap kali menerima gaji.





HAJI-UMRAH

Secara bahasa, haji memiliki arti “menuju kepada sesuatu yang besar dan agung” atau “berkunjung ke tempat tertentu”. Sedang menurut istilah, haji adalah berkunjung ke Baitullah di Makkah dan sekitarnya pada waktu-waktu tertentu dan cara-cara serta tujuan tertentu. Ia adalah salah satu dari rukun Islam yang lima yang diwajibkan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang mampu untuk melaksanakannya, yakni yang memiliki kesanggupan biaya serta sehat jasmani dan rohani untuk menunaikan perintah tersebut.
Ibadah haji dalam syariat Islam yang disampaikan Nabi Muhamamd Saw mengajarkan upacara-upacara peribadatan yang sangat jelas hubungannya dengan syariat yang disampaikan Nabi Ibrahim. Hal ini meyakinkan kepada umat Islam bahwa agama yang dianutnya bukan agama yang sama sekali baru, tapi agama yang merupakan kelanjutan dari agama tauhid Ibrahim As. Hal ini ditegaskan dalam Al-Quran:
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ()لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ….
Dan berserulah (Ibrahim) kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfa`at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak….. (Al-Hajj 27-28).

Kewajiban melaksanakan haji bagi umat Islam sendiri baru disyariatkan pada tahun ke-VI Hijriyah setelah Rasulullah Saw hijrah ke Madinah. Nabi sendiri hanya sekali mengerjakan haji yang kemudian dikenal dengan “Hujjatul Wada’”. Kemudian tak lama setelah itu beliau wafat.
Dalil Kewajiban Haji
Dalil tentang kewajiban melaksanakan haji bisa kita temukan dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. Al-Quran, dalam salah satu ayatnya dengan tegas menyatakan:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
Dan mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah… (Ali Imran: 97)
Sedang dalam Sunnah Nabi Saw, kewajiban haji berdasar pada hadits:
“Wahai manusia, Allah telah mewajibkan haji kepadamu, maka laksanakanlah haji. Seorang laki-laki bertanya, apakah setiap tahun Ya Rasulullah? Rasulullah terdiam, hingga laki-laki itu bertanya tiga kali, lalu Nabi menjawab, “Andai kukatakan wajib setiap tehun maka ia menjadi wajib dan kamu tidak akan mampu mengerjakannya”.
Juga berdasar pada hadits yang bersumber dari Aisyah:
“Aisyah berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah Saw, “Tidakkah kami ikut berperang dan berjihad bersamamu? Rasulullah menjawab, “ Akan tetapi jihad yang lebih baik dan sempurna adalah mengerjakan haji, haji yang mabrur”, Aisyah berkata, “sejak itu aku tak pernah meninggalkan haji (setiap tahun) setelah mendengar berita ini dari Rasulullah”.
Syarat Wajib Haji
Ada beberapa hal yang menjadi syarat wajib haji:
a. Islam. Orang kafir tidak wajib melaksanakan haji
b. Baligh (mencapai umur dewasa). Dengan demikian haji tidak diwajibkan kepada anak yang belum mencapai usia baligh. Hal ini berdasar pada Hadits Nabi Saw: “Seorang anak yang beberapa kali mengerjakan ibadah haji kemudian dia mencapai dewasa, maka dia tetap mempunyai kewajiban haji”.
c. Berakal. Orang yang tidak sehat akalnya tidak terkena kewajiban haji
d. Merdeka. Bukan budak.
e. Istitha’ah (mampu). Mampu melaksanakan haji ditinjau dari segi jasmani, rohani, ekonomi dan keamanan.
Rukun Haji.
Rukun haji adalah amalan yang harus dilaksanakan dalam ibadah haji dan tidak dapat diganti dengan yang lain, walaupun dengan dam, jika ditinggalkan maka hajinya tidak sah:
a. Ihram. Memakai pakaian ihram disertai dengan niat. Bagi laki-laki memakai dua helai pakaian yang tidak berjahit. Satu diselendangkan di bahu dan satu lagi disarungkan. Bagi wanita, memakai pakaian yang menutupi seluruh tubuh kecuali muka dan kedua tangan dari pergelangan sampai ujung jari. Setelah berniat dan memakai pakaian ihram, pelaksana haji tidak boleh melanggar larangan-larangan selama ihram. Bagi pria dilarang: a). memakai pakaian biasa, b). memakai sepatu yang menutup tumit, c). menutup kepala yang melekat seperti topi kecuali memang sangat darurat (sangat dingin atau ada luka yang mesti diperban. Wanita dilarang: a). berkaos tangan, b). menutup muka (memakai cadar atau masker). Sedangkan larangan bagi keduanya (laki-laki dan wanita): a). memakai wangi-wangian kecuali yang sudah dipakai di badan sebelum niat ihram, b). memotong kuku dan mencabut atau mencukur rambut badan, c). memburu binatang buruan darat yang liar dan boleh dimakan, d). membunuh dan menganiaya binatang buruan darat dengan cara apapun, kecuali binatang yang membahayakan, e). nikah, menikahkan atau meminang wanita untuk dinikahi, f). bercumbu atau bersetubuh, g). mencaci, bertengkar atau mengucapkan kata-kata kotor.
b. Wukuf di Arafah. Jamaah Haji yang tidak wukuf berarti tidak mengerjakan haji. Nabi Saw bersabda: “Haji itu hadir di Arafah”. Waktu wukuf dimulai dari mulai tergelincir matahari pada tanggal 9 dzulhijjah sampai terbit fajar tanggal 10 dzulhijjah setelah melaksanakan khutbah wukuf. Wukuf tidak disyaratkan suci dari hadats kecil dan besar. Karena itu wanita yang sedang haid dan nifas boleh melakukan wukuf.
c. Thawaf Ifadhah. Thawaf adalah berputar mengelilingi Ka’bah dengan menjadikannya di sebelah kiri orang yang berthawaf. Thawaf baru dikatakan sah jika memenuhi syarat sebagai berikut: a). menutup aurat, b). suci dari hadats (kecil dan besar), c). Dimulai dari arah Hajar Aswad, d). menjadikan Ka’bah di sebelah kiri, e). dilaskanakan tujuh kali putaran, f). berada di dalam Masjid al-Haram, g). Tidak ada tujuan lain selain thawaf, h). niat thawaf jika thawaf Sunnah, adapun jika thawaf rukun dan Qudum tidak diharuskan niat.
d. Sa’i. Sa’i adalah berlari-lari kecil dari bukit Shafa ke bukit Marwah. Bisa dikatakan sah jika sa’i memenuhi syarat sebagai berikut: a). didahului dengan thawaf, b). tertib, c). menyempurnakan tujuh kali perjalanan di antara bukit Shafa dan Marwah, d). dilaksanakan di tempat sa’i (mas’a).
e. Tahallul. Tahallul adalah proses penghalalan atau pembebasan setelah melaksanakan rukun-rukun haji dengan cara mencukur atau menggunting rambut bagi laki-laki dan wanita paling sedikiti tiga helai.
f. Tertib.


Wajib Haji.
Wajib haji adalah rangkaian amalan yang harus dilaksanakan dalam ibadah haji, bila ditinggalkan sah hajinya tetapi harus membayar dam, berdosa kalau sengaja melanggarnya tanpa ada udzur syar’i:
a. Berniat haji dari miqat. Miqat dalam pelaksanaan haji terbagi dua; zamani dan makani. Miqat zamani haji dimulai dari bulai Syawal, Dzul Qa’dah dan awal Dzulhijjah. Sedang miqat makani sebagaimana ditetapkan oleh Nabi Saw terdapat lima tempat: a). Dzulhulaifah (Bir Ali) bagi penduduk Madinah dan yang melewatinya, b). Juhfah bagi penduduk Syam dan yang melewatinya, c). Qarnul Manazil (As-Sail) bagi penduduk Najd dan yang melewatinya, d). Yalamlam bagi penduduk Yaman dan yang melewatinya termasuk Indonesia, e). Dzatu Irqin bagi penduduk Irak dan yang melewatinya.
b. Mabit di Muzdalifah. Mabit adalah bermalam walaupun hanya sebentar. Sebagian besar ulama menetapkan mabit di Muzdalifah adalah wajib, sedang ulama lain menyatakan sunah. Mabit di Muzdalifah dimulai ketika telah lewat tengah malam tanggal 10 dzulhijjah sampai terbit fajar. Mabit boleh dilakukan sesaat asal telah lewat tengah malam. Pada saat mabit hendaknya banyak membaca talbiyah, zikir dan membaca Al-Quran. Kemudain disunnahkan mengambil batu di daerah Muzdalifah untuk melontar jumrah dan bertolak ke Mina.
c. Mabit di Mina. Mabit di Mina adalah salah satu wajib haji, yaitu bermalam di Mina pada malam hari-hari tasyriq (tanggal 11, 12 bagi yang melaksanakan nafar awal dan tanggal 13 dzulhijjah bagi yang melaksanakan nafar tsani).
d. Melontar Jumrah Ula, Wustha dan Aqabah. Melontar jumrah dimulai pada tanggal 10 Djul Hijjah sampai tanggal 12 atau 13 (tergantung niat nafarnya). Tanggal 10 yang dilontar hanya jumrah Aqobah saja sebanyak tujuh kerikil. Sedang pada tanggal 11, 12 atau 13 melontar ketiga jamarat dengan urutan Ula, Wustha dan Aqobah. Pelaksaaan melontar sebaiknya memilih waktu-waktu yang senggang demi keselamatan.
e. Tahwaf Wada’ bagi yang akan meninggalkan Makkah.
f. Menghindari perbuatan yang dilarang ketika berihram.

Jenis Pelaksanaan Haji
a. Haji Tamattu’. Pelaksanaan haji tamattu’ adalah mengerjakan umrah terlebih dahulu baru kemudian mengerjakan haji setelah waktunya tiba. Cara ini wajib membayar dam nusuk.
b. Haji Ifrad. Haji ifrad adalah mengerjakan haji terlebih dahulu baru melaksanakan umrah. Cara ini tidak wajib membayar dam nusuk.
c. Haji Qiran. Haji Qiran adalah melaksanakan haji dan umrah di dalam satu niat dan satu pekerjaan sekaligus. Cara ini wajib membayar dam nusuk.

Pengertian Umroh
Dilihat dari segi bahasa, umrah memilki arti ziyarah dan meramaikan. Meramaikan tempat-tempat tertentu. Dalam bahasa Indonesia, terdapat istilah makmur dan takmir (masjid). Makmur dalam arti negara yang ramai oleh berbagai sumber daya dan bisa mensejahterakan rakyatnya. Takmir masjid berarti usaha panitia untuk membuat masjid ramai oleh kegiatan-kegiatan yang positif dan banyak mendapat kunjungan jamaahnya.
Secara istilah, umrah adalah meramaikan Masjid al-Haram, yang di dalamnya terdapat Ka’bah dengan cara berihram, thawaf, sa’i dan tahallul. Berbeda dengan haji, karena pelaksanaan umrah hanya terbatas pada Masjid al-Haram saja, sedang haji, selain pada tempat-tempat di dalam Masjid Al-Haram juga tempat-tempat di sekitarnya, seperti Arafah, Mina, Muzdalifah dan lainnya. Sebetulnya, dalam umrah kita tidak hanya harus meramaikan tempat-tempat yang telah disebutkan saja. akan tetapi ada tujuan lain, yaitu agar kita bisa mengambil manfaat dari pelaksaaan umrah itu. Karena sebagaimana kita ketahui bahwa aktifitas umrah itu adalah refleksi dari pengalaman hamba-hamba Allah (Adam, Ibrahim dan putranya, Ismail) dalam menegakan kalimat tauhid. Selain itu tujuan berumrah adalah agar bisa menangkap pengalaman kemanusiaan yang universal, yaitu bahwa manusia semuanya sama di hadapan Allah.
Dalam fiqih, setiap umat Islam wajib melaksanakan umrah satu kali seumur hidup. Demikian juga haji. Tetapi sebetulnya jika orang sudah berhaji maka dengan sendirinya dia telah berumrah. Sebab umrah menjadi bagian dari pelaksanaan haji. Sebaliknya, orang yang hanya melaksanakan umrah belum bisa disebut berhaji.
1. Dalil Kewajiban Umrah
Dalil tentang wajibnya umrah selalu dibarengi dengan kewajiban haji. Al-Quran menyatakan:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ
Dan sempurnakanlah oleh kalian haji dan umrah karena Allah….. (Al-Baqarah: 196)

Juga berdasar pada Hadits Aisyah ra:

Aisyah bertanya kepada Rasulullah Saw, “Apakah kaum wanita mempunyai kewajiban untuk berjihad?” Rasulullah menjawab: Ya, mereka wajib berjihad akan tetapi jihadnya bukan peperangan; Haji dan Umrah (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah).

Ulama Fiqh berbeda pendapat tentang masalah kewajiban umrah, apakah hokum umrah itu wajib seperti hokum haji. Dalam hal ini ulama Syafi’iyan dan Hanabilah mengatakan bahwa hukum umrah sama dengan hukum haji yaitu wajib. Mereka mendasarkan pendapat tersebut sebagai berikut: pertama, firman Allah Swt: waatimmul hajja wal umrata lillahi, perintah untuk menyempurnakan haji dan umrah menunjukkan bahwa hokum umrah adalah wajib. Kedua, didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw kepada sahabatnya:
من كان معه هدي فليهلّ بحجة وعمرة
Barangsiapa memiliki hadyu (hewan), maka hendaklah ia membebaskannya dengan haji dan umrah. Ketiga, didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw:
دخلت العمرة فى الحج الى يوم القيامة (رواه مسلم عن جابر فى حديثه الطويل فى قصة حجة الوداع)
Umrah telah masuk ke dalam haji sampai hari kiamat.
Sedangkan ulama Malikiyah dan Hanafiyah bahwa hokum Umrah adalah sunah. Dasar yang digunakan oleh mereka adalah:
pertama, Allah tidak menyebutkan dalam firman-Nya tentang kewajiban haji, seperti pada firman Allah Swt: walillahi alannasi hijjul baiti manis tathoa ilaihi sabila dan wa adzin fi nnasi bil hajji…kedua, tidak terdapat dalam hadits-hadits shahih tentang kewajiban haji. Ketiga, didasarkan pada hadits dari Nabi Saw bersabda:
الحج جهاد والعمرة تطوّع (رواه ابن ابى شيبة وعبد حميد وابن ماجه وذكره الشافعى فى الأم )
“Haji adalah jihad dan umrah adalah sunnah.”

2. Rukun Umrah
Para ulama menetapkan rukun umrah sebanyak lima:
a. Niat umrah dengan memakai pakaian ihram dari miqat. Miqat jamani bagi jamaah umrah adalah sepanjang tahun. Adapun miqat makani, bagi jamaah umrah yang dari Madinah, maka harus berniat umrah dari miqat Bir Ali. Sedang bagai jamaah umrah yang sudah berada di Makkah atau penduduk Makkah, maka ketika akan melaksanakan umrah harus mengambil miqat di Ja’ronah atau Tan’im.
b. Melaksanakan thawaf tujuh putaran mengelilingi Ka’bah.
c. Sa’i antara bukit Shafa dan Marwah
d. Tahallul
e. Tertib.

Masalah-masalah yang berkaitan dengan Ibadah Haji dan Umrah
Miqat Makani
Miqat makani adalah batas tempat dimana orang yang akan melaksanakan ibadah haji atau umrah mesti niat dan memakai pakaian ihram. Orang yang berhaji atu berumrah tidak boleh melewati batas tempat ini tanpa berihram. Rasulullah telah menjelaskan tempat-tempat ini sebagai berikut:
1) Dzu al-Khulaifah, atau disebut juga Bir Ali, ada di sebelah Utara Makkah. Jaraknya ke Makkah sekitar 450 km. Ini adalah miqat bagi orang-orang yang datang dari Madinah dan daerah searahnya.
2) Juhfah atau Rabigh. Juhfah berada di sebelah tenggara Makkah. Jaraknya sekitar 178 km. Sedangkan Rabigh berdekatan dnegan Juhfah. Jaraknya ke Makkah sekitar 204 km. Rabigh ini menjadi miqat bagi orang-orang dari Mesir, Syiria dan orang-orang yang tinggal searah dengannya atau melewatinya.
3) Qarn al-Manazil. Berada di sebelah Timur Makkah dan searah dengan padang arafah. Jaraknya sekitar 94 km. Miqat ini bagi penduduk Nejd dan daerah yang searah atau melewatinya.
4) Yalamlam. Berada di sebelah Selatan Makkah. Jaraknya sekitar 54 km. Miqat ini diperuntukkan bagi penduduk Yaman dan daerah yang searah atau melewatinya. Termasuk juga menurut para ulama dari Indonesia.
5) Dzat ‘Irq. Jaraknya ke Makkah sekitar 94 km. Miqat ini diperuntukkan bagi penduduk Iraq dan daerah yang searah dengannya.

Batas-batas ini berlaku bagi orang yang tinggal searah atau yang melewatinya. Sedangkan orang yang tinggal di Makkah maka miqatnya adalah rumah-rumah di Makkah. Jika ingin melaksanakan umrah maka miqatnya adalah tanah Halal. Maka orang-orang yang di Makkah mesti keluar ke tanah halal dan berihram di sana. Tanah Halal yang paling dekat dengan Makkah adalah Tan’im.

Sedangkan bagi jamaah haji Indonesia, bagi gelombang pertama, maka miqat umrah dan hajinya dari Bir Ali atau Dzu al-Khulaifah. Sedangkan bagi gelombang kedua maka miqatnya dari Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Memang seharusnya mereka bermiqat dari Yalamlam, tetapi karena masih di dalam pesawat dan dirasa sulit berihram di dalam pesawat, akhirnya dibolehkan miqat di Bandara Jeddah.

Haji Anak Kecil
Anak kecil tidak terkena hukum wajib haji. Namun jika melaksanakan juga maka hajinya tetap sah, akan tetapi ketika dewasa nanti dia wajib mengulang hajinya. Karena haji di masa kanak-kanak tidak menggugurkan kewajiban di waktu dewasa. Hal ini berdasar hadits berikut: “setiap anak kecil yang berhaji maka dia wajib melaksanakan haji lagi ketika sudah dewasa nanti”. (HR. Thabrani)
Badal Haji
Yang dimaksud badal haji adalah menggantikan proses pelaksanaan ibadah haji orang lain yang memang wajib berhaji tapi tidak dapat melaksanakannya, seperti sakit, sudah sangat tua atau sudah meninggal dunia. Sedangkan pelaksana pengganti haji itu disayaratkan sudah pernah melaksanakan ibadah haji.
Orang yang sakit, sedangkan dari segi materi dia mampu melaksanakan haji, maka hajinya dapat diwakilkan kepada orang lain. Dan apabila dia sudah sembuh, maka dia tidak wajib mengulang hajinya.

Sedangkan orang yang telah meninggal dunia, sedang dia memiliki kewajiban haji yang belum ditunaikannya atau pernah bernadzar, maka pihak keluarga mesti melaksanakan haji untuknya. Seolah-olah hal tersebut adalah hutang yang mesti dibayarnya. Hal ini berdasar pada riwayat Ibn Abbas yang berkata, “bahwa seorang wanita datang menghadap Rasulullah dan berkata: Ibuku pernah bernadzar untuk melaksanakan haji, namun belum sempat melaksanakannya dia keburu meninggal, apakah aku boleh menghajikannya? Nabi menjawab: ya, lakukanlah. Bukankah kalau ibumu memiliki hutang kamu wajib membayarnya? Bayarlah hak Allah, karena Allah lebih berhak untuk ditunaikan hak-Nya.”
Berkali-kali melaksanakan haji
Dewasa ini, jamaah haji dari berbagai negara terus meningkat. Ini adalah sesuatu yang menggembirakan, karena banyak orang yang sadar dan peduli melaksanakan ibadah ini. Akan tetapi di sisi lain, meningkatnya jamaah menimbulkan berbagai permasalahan, terutama masalah tempat-tempat ibadah yang sering dikunjungi dan menuntut pelaksanaan ibadah dalam satu waktu, seperti melontar jumrah atau thawaf dan sai. Setiap tahunnya, sering terjadi korban jiwa disebabkan penuh sesaknya tempat-tempat tersebut.

Fenomena ini mestinya diperhatikan oleh setiap Muslim. Tujuan ibadah haji selain untuk beribadah kepada Allah, juga bertujuan untuk menumbuhkan solidaritas kemanusiaan, menjalin ukhuwah dan persatuan umat. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya, keributan dan berdesak-desakan dalam suatu tempat. Hal ini disebabkan banyak para jamaah haji telah melakukan ibadah ini pada kali kedua atau berkali-kali.
Oleh karena itu, hendaknya orang-orang yang yang melakukan ibadah haji berulang kali memperhatikan hal-hal berikut:
Pertama, Allah tidak akan menerima ibadah sunnah sebelum ditunaikan ibadah fardhu. Orang yang melakukan ibadah haji dan umrah sunnah padahal dia tidak mau mengeluarkan zakat hartanya yang wajib, maka haji dan umrahnya tertolak.
Kedua, Allah tidak akan menerima ibadah sunnah yang dapat menyebabkan terjadi perbuatan haram. Menjauhkan perbuatan haram harus didahulukan daripada yang sunnah. Apabila ibadah haji dan umrah sunnah ini menimbulkan gangguan (mafsadah) karena berdesak-desakan maka wajib menghilangkan mafsadah tersebut.
Ketiga, menolak mafsadat lebih didahulukan daripada menarik maslahat, lebih-lebih mafsadat tersebut bersifat umum sedangkan maslahatnya bersifat khusus (untuk orang tertentu).
Keempat, pintu-pintu amal sunnah untuk memperolah kebaikan itu sangat beragam dan luas. Seperti, sedekah, menyantuni yatim piatu, fakir miskin, memberikan beasiswa atau bantuan kepada organisasi-organisasi keagamaan, dan lainnya.


MAKANAN DAN MINUMAN,
BINATANG HALAL DAN HARAM

Selain makanan yang halal, di muka bumi ini juga berhamparan makanan yang haram, tetapi makanan yang haram itu diperuntukan bagi hewan yang membutuhkan. Seperti bangkai yang dimakan oleh burung-burung atau buaya. Akan tetapi banyak dari makanan yang haram itu hasil olahan manusia. Seperti bir (minuman yang memabukkan), obat-obat terlarang dan lain sebagainya.
1. Islam mengharamkan yang buruk
Allah mahamengetahui apa yang terbaik bagi manusia dan apa yang tidak terbaik bagi manusia, oleh karena itu secara tegas Islam mengharamkan sesuatu yang buruk bagi tubuh manusia.
2. Haramnya bangkai dan macam-macamnya.
Salah satu makanan haram yang disebutkan al-Quran adalah bangkai. Bangkai adalah binatang yang mati dengan sendirinya. Dengan kata lain, kematiannya tidak disebabkan adanya usaha manusia, yang dengan sengaja disembelih atau karena diburu.
Diharamkannya bangkai itu mengandung hikmah yang sangat besar. Diantaranya adalah:
a. Naluri manusia yang sehat pasti tidak akan rela memakan bangkai, dengan sendirinya ia akan menganggap kotor. Para ahli di kalangan mereka pasti beranggapan bahwa makan bangkai adalah suatu perbuatan yang dapat menurunkan derajat manusia.
b. Tujuan menyembelih adalah dapat mengeluarkan binatang dari kedudukannya sebagai bangkai.
c. Binatang yang mati dengan sendirinya, pada umumnya mati karena suatu sebab tertentu, seperti sakit, umurnya sudah tua. Sehinggga keamanannya tidak dapat dijamin. Jika kita mengkonsumsinya, kemungkinan kita pun akan terjangkit penyakit yang serupa dengan hewan tersebut. Seperti kondisi hari ini yang berkembang yaitu penyakit flu burung yang mengancam nyawa manusia.
d. Allah mengharamkan bangkai untuk manusia, dengan begitu bangkai dapat dimakan oleh hewan-hewan pemangsa lain atau burung-burung. Hal ini merupakan tanda sayang Allah kepada binatang-binatang tersebut.
e. Supaya manusia selalu memperhatikan binatang-binatang yang dimilikinya, tidak dibiarkan begitu saja binatanya sakit, melemah kemudian mati dan binasa. Tetapi dia harus segera member pengobatan atau menyembelihnya.
Adapun macam-macam bangkai yang disebutkan al-Quran adalah sebagai berikut:
Pertama, al-Munkhaniqah, yaitu binatang yang mati karena dicekik, baik dengan cara menghimpit leher binatang atau meletakkan kepala binatang pada tempat yang sempit dan sebagainya sehingga binatang tersebut mati.
Kedua, al-Mauqudzah, yaitu binatang yang mati karena dipukul dengan tongkat dan sebagainya.
Ketiga, al-Mutaraddiyah, yaitu binatang yang jatuh dari tempat yang tinggi kemudian mati. Seperti binatang yang jatuh ke dalam sumur.
Keempat, al-Natihah, yaitu binatang yang diadu domba dengan binatang lain, tertusuk tanduk atau baku hantam hingga mati.
Kelima, ma akala sabu’, yaitu binatang yang ditikam dengan binatang buas, dengan dimakan sebagian dagingnya hingga mati.
Sesudah menyebutkan lima macam ini, kemudian Allah mengecualikan: yaitu binatang yang kalian sempat menyembelihnya” yaitu apabila binatang-binatang tersebut tengah terkapar lalu kamu dapati masih hidup, maka sembelihlah. Jadi binatang-binatang tersebut menjadi halal jika disembelih.
3. Setiap yang memabukkan adalah haram
Diantara minuman haram yang disebut dalam al-Quran adalah khamar. Khamar adalah sejenis minuman yang memabukkan dan setiap yang memabukkan adalah khamar. Adapun khamar banyak maupun sedikit adalah haram. Rasulullah Saw tidak memandang arak/khamar dari segi bahan yang dipakai untuk membuat arak tersebut. Tetapi beliau memandang dari segi pengaruh yang ditimbulkannya, yaitu efek memabukkan. Oleh karena itu, bahan apapun yang secara nyata dapat memabukkan dapat dikategorikan sebagai arak dan hukumnya adalah haram.
Rasulullah Saw pernah ditanya tentang minuman yang dibuat dari madu, atau dari gandum dan biji-bijian yang diperas hingga berubah menjadi minuman keras. Nabi Saw menjawab dengan singkat tetapi padat dan tegas.
كلّ مسكر خمر وكلّ خمر حرام (رواه مسلم)
“Semua yang memabukkan adalah khamar, dan setiap khamar adalah haram” (HR. Muslim).
Islam bersikap tegas terhadap minuman haram ini, tidak lagi memandang kadar sedikit atau banyaknya, tetapi efeknya yang memabukkan. Berapapun kadarnya, khamar dapat menggelincirkan manusia menuju kehancuran dirinya. Oleh karena itu, khamar harus dijauhi. Rasulullah Saw pernah menegaskan:
“Minuman apapun kalau banyaknya dapat memabukkan, maka sedikitnya pun adalah haram.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi).
Islam dalam nashnya sudah tegas memberantas khamar dan menjauhkannya. Tidak seorang muslim pun diperkenankan minum khamar walaupun hanya sedikit, tidak juga menjual, membeli, menghadiahkan ataupun membuatnya. Tidak diperkenankan pula menyimpan atau menghidangkan khamar dalam perayaan-perayaan. Juga dilarang mencampurkan khamar pada makanan ataupun minuman.
Bahkan tidak dibolehkan khamar dijadikan sebagai obat. Dalam hal ini Rasulullah pernah menjawab kepada orang yang bertanya tentang hukum khamar. Lantas Nabi menjawab, “Dilarang!” laki-laki itu kemudian berkata: bahwa saya melakukan itu hanya dipakai untuk obat. Selanjutnya Nabi menjawab,
“Khamar itu bukan obat, tetapi penyakit.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud dan Turmudzi).
Dan sabdanya pula:
عن أبى الدرداء إنّ الله تعالى أنزل الداء والدواء وجعل لكلّ داء دواء فتداووا ولا تداووا بحرام (رواه أبو داود)
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan untuk kamu bahwa setiap penyakit ada obatnya. Oleh karena itu berobatlah, tetapi jangan berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Daud).
4. Setiap yang membahayakan Haram digunakan
Salah satu akibat buruk mengkonsumsi khamar adalah menutupi akal orang yang mengkonsumsi. Tidak aneh terjadinya pembunuhan disebabkan karena khamar, terjadi pemerkosaan juga karena khamar dan banyak tindakan-tindakan kriminal lainnya yang disebabkan mengkonsumsi khamar. Oleh karena itu, khamar diharamkan dan harus dijauhi oleh umat manusia.
Ada banyak jenis yang menyerupai khamar yaitu narkotika, bahayanya pun lebih daripada bahaya khamar. Jika demikian hukum narkotika sama dengan hukum khamar. Karena prinsip dalam Islam bahwa setiap hal yang membahayakan diri manusia yang mengkonsumsinya, maka dihukum haram. Semua jenis barang narkotika seperti ganja atau mariyuana, kokain, heroin, opium, pil BK. Triple X dan sejenisnya haram untuk dikonsumsi karena merusak diri manusia yang mengkonsumsinya.
Mengkonsumsi barang-barang yang bahaya itu bukan hanya berakibat buruk bagi diri pribadi tetapi juga dihadapan Allah akan mendapatkan siksaan dan ancaman di akhirat kelak. Oleh karena itu, barang-barang seperti itu harus dijauhi terutama buat Anda para generasi muda.
5. Jenis makananan dan minuman yang halal dan haram
1. Makanan dan minuman halal, memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Baik, bergizi, dan tidak mengandung penyakit.
b. Bermanfaat bagi tubuh.
c. Tidak kotor, tidak najis dan tidak basi
d. Tidak menjijikan dan tidak tercemar dengan barang yang haram
e. Tidak memabukkan dan tidak merusak akal.
f. Tidak merusakkan organ tubuh.
g. Diperoleh dengan cara yang halal.
2. Makanan dan Minuman haram, jenisnya adalah:
a. Bangkai, darah, nanah
b. Makanan yang menjijikan, sebagaimana firman Allah Swt:
c. Daging yang dipotong dari binatang yang masih hidup.
d. Bahan yang berpotensi memabukkan, seperti ganja, morfin, opium dan sejensinya.
Binatang yang halal dan haram
1. Binatang Halal
Binatang yang halal adalah binatang yang boleh dimakan dan dibenarkan oleh syari’at. binatang yang halal dimakan dapat dibedakan atas binatang darat dan binatang air. Binatang darat adalah binatang yang hidupnya hanya di darat, dan jika masuk air (laut, danau, sungai, kolam dan lain-lain) maka akan mati. Binatang air adalah binatang yang hidupnya hanya di air, dan jika ke darat maka akan mati.
Adapun binatang darat meliputi:
a. Binatang ternak mencakup sapi, kerbau, kambing, biri-biri, kuda, keledai, dan yang sejenisnya. Berdasarkan firman Allah Swt:
“Hewan ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu…” (QS. Al-Maidah:1).
b. Kelinci, didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw:
عن أنس رضي الله عنه فى قصّة الأرنب قال: فذبحها فبعث بوركها الى رسول الله صلى الله عليه
وسلم فقبله (متفق عليه)
Dari Anas r.a dalam kisah kelinci, ia berkata: “Ia menyembelihnya, lalu mengirimkan daging punggungnya kepada Rasulullah Saw dan beliau menerimanya.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
c. Jenis unggas, seperti ayam, itik, angsa, merpati, belibis, burung pipit, burung perkutut, dan sejenisnya.
Sedangkan binatang air semuanya halal dimakan dagingnya, meskipun yang menyerupai anjing dan sebagainya. Binatang-binatang yang hidupnya di air, halal dimakan tanpa kecuali, baik ketika masih hidup maupun sudah mati. Perhatikan firman Allah Swt:
“Dihalalkan bagimu hewan buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu dan bagi orang yang dalam perjalanan; (QS. Al-Maidah:96).
Sabda Rasulullah Saw yang bersumber dari Abu Hurairah r.a:
هو الطهور ماءه والحلّ ميتته (رواه ابو داود والترمذى)
“Yaitu suci airnya dan halal bangkainya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
2. Binatang Haram
a. Binatang yang diharamkan oleh Nash, seperti babi, khimar (keledai), anjing, binatang buas yang bertaring, dan burung yang berkuku tajam.
b. Binatang yang diharamkan karena diperintahkan untuk membunuhnya, yaitu: ular, burung gagak, tikus, anjing buas, dan burung elang. Rasulullah Saw bersabda:
خمس من الدوابّ كلّهنّ فواسق يقتلن فى الحرام : القرب والحدأة والعقرب والفأر والكلب العقور
(رواه البخارى ومسلم)
“Lima macam binatang yang jahat hendaklah dibunuh, baik di tanah halal maupun di tanah haram, yaitu ular, burung gagak, tikus, anjing buas, dan burung elang. (HR. Muslim).
c. Binatang yang diharamkan karena dilarang untuk membunuhnya, seperti: semut, tawon, burung hud-hud, dan burung hantu. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw:
عن ابن عباس نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن قتل أربع من الدوابّ والنملة والنخلة والهدهد والصرد (رواه أحمد)
“Dari Ibnu Abbas, Rasulullah Saw telah melarang membunuh empat jenis hewan, yaitu: semut, lebah, burung teguk-teguk (semacam burung merpati) dan burung surad (sejenis burung punai)” (HR. Ahmad).
d. Binatang yang diharamkan karena keadaannya menjijikkan, keji dan kotor. Sebagian ulama menyebutnya hasyarat, yaitu binatang bumi yang kecil-kecil dan kotor, misalnya ulat, kutu anjing, kutu busuk, cacing, lintah, lalat, lebah, laba-laba, nyamuk, kumbang dan sejenisnya.
e. Binatang yang diharamkan karena hidup di dua alam. Seperti buaya, kodok, kepiting, keong, bekicot, kura-kura, dan lain sebagainya.
3. Manfaat binatang yang halal dan Bahaya binatang yang haram
a. Manfaat Binatang yang halal
Makanan dari binatang yang halal memberikan manfaat bagi kesehatan. Makanan yang memenuhi kesehatan termasuk makanan yang bersih, bergizi, berprotein atau bervitamin. Sesuatu yang dihalalkan pastinya akan memberikan manfaat. Ada beberapa manfaat mengkonsumsi makanan yang halal. Yaitu sebagai berikut:
1) Dapat menyehatkan badan dan terpenuhinya kebutuhan protein, gizi dan kalori, sehingga badan tumbuh sehat dan berkembang dengan baik.
2) Dapat terhindar dari berbagai macam penyakit akibat mengkonsumsi makanan yang haram.
3) Meningkatkan keseucian jiwa.
4) Dapat terhindar dari dosa dan ancaman akan siksa Allah Swt.
5) Menyebabkan diterimanya amal ibadah dan doa, sebab setiap barang yang halal dikonsumsi memperoleh keridhaan Allah.
6) Memurnikan akal dan jiwa
7) Lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt.
b. Bahaya Binatang yang haram
Binatang yang haram tentunya akan membahayakan diri dan pikiran manusia yang mengkonsumsinya. Bukan hanya itu, bahaya mengkonsumsi yang haram juga akan menjauhkan diri dari rahmat Allah Swt. Diantara bahaya lain mengkonsumsi binatang yang haram adalah:
1) Menjauhkan diri dari rahmat dan karunia Allah
2) Menjerumuskan seseorang dalam perbuatan dosa dan mengotori kesucian jiwa.
3) Mengakibatkan amal ibadah dan doa tidak diterima Allah.
4) Dari segi kesehatan fisik jelas membahayakan tubuh, seperti:
a) Daging babi terdapat cacing pita yang sangat berbahaya.
b) Darah mengandung banyak kuman dan racun yang dapat merusak kesehatan dan membahayakan kehidupan.
c) Bangkai mengandung bibit penyakit dan racun yang dapat mengganggu kesehatan.
Allah Swt tidak hanya menyediakan makanan dan minuman yang dapat dikonsumsi oleh manusia, tetapi juga binatang-binatang yang ada di bumi ini juga disiapkan oleh Allah untuk dikonsumsi oleh manusia. Namun binatang-binatang tersebut terbagi kepada binatang halal (boleh dikonsumsi) dan binatang yang tidak boleh dikonsumsi.



QURBAN, AQIQAH, KHITAN
Penyembelihan
Islam sangat menghormati makhluk lain di muka bumi ini, termasuk kepada binatang yang dihalalkan untuk dimakan. Agar binatang itu benar-benar halal dimakan, terlebih dahulu harus dilakukan penyembelihan dengan benar. Sedangkan kita saksikan ada suatu tradisi di Bali, bahwa untuk memakan daging dari hewan, terlebih dahulu mereka melakukan penyiksaan terhadap hewan dengan menutusuk perut, paha dan anggota tubuh lainnya sampai hewan tersebut mati dan kemudian mereka makan dagingnya. Praktek seperti ini dilarang oleh Islam, karena daging tersebut termasuk kategori bangkai yang tidak boleh dimakan. Penyembelihan adalah suatu syariat yang diajarkan untuk menghormati dan menghargai binatang.
Syarat Wajib Penyembelihan
Penyembelihan merupakan ibadah yang telah diatur dalam Islam, karena merupakan ibadah tentunya terdapat berbagai syarat wajib penyembelihan agar penyembelihan dapat dilakukan dengan benar dan sesuai dengan syari’at Islam, berikut ini beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam penyembelihan, yaitu:
a. Orang yang menyembelih harus berakal, muslim ataupun ahli kitab. Selain dari itu, misalnya orang gila, pemabuk atau anak kecil, maka sembelihannya tidak halal secara syari’at Islam. Begitu pula hasil sembelihan orang musyrik, zindiq dan murtad. Adapun sembelihan ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) diserupakan dengan sembelihan orang muslim. Karena Allah Swt telah membolehkan untuk memakan makanan ahli kitab dan juga sembelihan mereka. Sebagaimana firman Allah Swt:
“…Makanan (sembelihan) ahli kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka.” (QS. Al-Maidah {5}: 5)
b. Alat penyembelihan harus tajam yang memungkinkan darah hewan mengalir dan tenggorokannya terputus. Alat tersebut misalnya pisau, batu, kayu, pedang, kaca, dan semua yang memiliki sisi tajam, sedangkan gigi dan kuku tidak dibolehkan. Hal ini didasarkan kepada riwayat Imam Malik sebagai berikut:
إنّ امرأة كانت ترعى غنما فأصيبت شاة منها، فأدركتها فذكتها بحجر، فسئل رسول الله صلى الله عليه وسلم
عن ذلك فقال: لا بأس بها.
“Bahwa seorang wanita menggembala kambing, kemudian dombanya mendapat musibah. Selanjutnya ia tangkap dan memotongnya dengan batu. Rasulullah Saw kemudian ditanya mengenai hal tersebut. Beliau menjawab, ‘tidak apa-apa menggunakan batu.’”
Menggunakan pisau atau golok tajam lebih baik daripada menggunakan benda lain yang tajam seperti kayu atau batu. Menggunakan kayu atau batu dibolehkan pada situasi pemburuan terhadap hewan yang liar.
c. Memutuskan tenggorokan dan saluran (nadi) makanan karena merupakan saluran makanan dan minuman yang tidak mungkin ada kehidupan tanpanya. Itulah tujuan ‘mematikan’. Apabila menyembelih dengan memutuskan kepala hewan sehingga terpisah dari lehernya, maka sembelihan itu tidak diharamkan, begitu juga apabila melakukan sembelihan dari belakang (leher belakang) dan terputusnya saluran tenggorokan dan saluran nadi maka sembelihan tersebut juga tidak diharamkan. Karena yang lebih penting dalam penyembelihan adalah memutuskan saluran nadi dan tenggorokan dan jika kedua urat nadi ini tidak terputus, maka dipastikan hewan tersebut tidak akan mati.
d. Dengan menyebut nama Allah. Imam Malik berkata, “Semua sembelihan tanpa menyebut nama Allah adalah haram, baik lupa maupun sengaja.” Berbeda dengan Abu Hanifah yang berpendapat bahwa apabila tidak disebutkan karena sengaja, maka diharamkan, sedangkan apabila lupa, maka tetap halal. Berbeda dengan itu, Imam Syafi’i berpendapat bahwa jika tanpa menyebutkan nama Allah baik sengaja atau lupa, maka sembelihan tersebut tetap halal apabila dilakukan oleh orang yang dibenarkan menurut hukum. Sebagaimana keterangan dari Aisyah, bahwa suatu kaum bertanya.
يارسول الله، إنّ قوما يأتوننا باللحم لا تدري أ ذكر اسم الله عليه أم لا؟ قال : سمّوا عليه أنتم وكلوا،
قالت : وكانوا حديثى عهد بالكفر
“Wahai Rasulullah Saw, ada suatu kaum memberi kami sejumlah daging, kami tidak tahu apakah penyembelihannya dengan menyebut nama Allah atau tidak?” Rasulullah lalu menjawab, “Bacakanlah oleh kalian, lalu makanlah.” Lebih lanjut Aisyah berkata, “Pada saat itu mereka baru masuk Islam.” (HR. Bukhari dan lainnya).
Adapun memakan daging dari hewan-hewan yang diimpor dari luar negeri seperti makanan-makanan siap saji dapat diserupakan dengan keterangan hadits di atas yaitu dibolehkan untuk mengkonsumsinya baik hewan-hewan tersebut disembelih dengan basmalah atau tidak, yang terpenting bagi kita adalah membaca bismilllah di saat akan menyantapnya.
Sedangkan menghadap kiblat pada saat penyembelihan hewan, tidak ada nash (al-Quran atau hadits) yang menyatakan sunnah atau mengharuskannya. Menghadap kiblat ketika penyembelihan diserupakan dengan shalat yang mengharuskan untuk menghadap kiblat. Karena penyembelihan merupakan ibadah seperti halnya shalat, maka menghadapkan hewan ketika melakukan penyembelihan ke arah kiblat adalah sesuatu yang baik.
Hal-hal yang makruh dalam Penyembelihan
Penyembelihan merupakan penghormatan kepada hewan yang akan dikonsumsi, hendaknya dalam penyembelihan pun diperhatikan etika atau adab dalam penyembelihan. Para ulama telah menyebutkan bahwa sebaiknya dalam melakukan penyembelihan harus menghindarkan hal-hal berikut ini karena tidak sesuai dengan etika atau adab dalam penyembelihan.
a. Penyembelihan menggunakan alat tumpul. Hal ini didasarkan kepada hadits riwayat Muslim dari Ibnu Aus bahwa Rasulullah Saw bersabda:
إنّ الله كتب الإحسان على كلّ شيء فإذا قتلتم فأحسنوا القتلة، وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبحة وليحدّ أحدكم شفرته وليرح ذبيحته
“Sesungguhnya Allah mewajibkan untuk berbuat baik terhadap segala sesuatu. Apabila engkau membunuh, maka lakukanlah dengan baik. dan apabila engkau menyembelih, maka lakukanlah dengan baik. dan hendaknya seseorang di antara kalian menajamkan pisau dan mengenakan (tidak menyiksa) hewan pada saat penyembelihan.”
Juga didasarkan kepada riwayat Ibnu Umar r.a:
وعن ابن عمر أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلّم أمر أن تحدّ الشفار وأن توارى عن البهائم (رواه أحمد)
“Dari Ibnu Umar r.a berkata: Rasulullah Saw telah memerintahkan untuk menajamkan mata pisau dan menyembunyikannya dari penglihatan binatang tersebut.” (HR. Ahmad).
Kita dapat bayangkan betapa tersiksanya hewan jika kita menyembelihnya dengan menggunakan pisau yang tumpul. Bukan hanya itu, bagi orang yang menyembelih pun akan sangat mengeluarkan tenaga keras sehingga akan melelahkannya. Oleh karena itu hendaknya, pisau atau alat yang digunakan untuk menyembelih harus tajam agar cepat menyelesaikan penyembelihan yang tidak menyakitinya.
b. Mematahkan leher hewan atau mengulitinya sebelum hewan itu mati. Hal ini didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan Daruquthni dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda:
لا تجعلوا الأنفس قبل أن تزهق
“Janganlah terburu-buru menghabisi nyawa sebelum ia disembelih.”
Sekuat apapun manusia, tidak boleh menyembelih dengan mematahkan leher hewan, karena itu bukan cara penyembelihan yang benar sesuai dengan syari’at. Islam hanya mengajarkan penyembelihan dengan menggunakan senjata tajam. Begitu pula tidak dibolehkan melakukan penyembelihan dengan mengambil kulitnya terlebih dahulu atau memotong kakinya terlebih dahulu kemudian baru disembelih. Karena pemotongan terhadap daging hewan yang hidup adalah bangkai.
c. Menyembelih hewan yang cacat atau sakit. Jika hewan yang akan disembelih dalam keadaan cacat atau sakit yang tidak dapat diharapkan dapat bertahan hidup, maka halal memakannya, meskipun dimakruhkan. Tetapi hal ini lebih baik dilakukan daripada hewan tersebut mati dan menjadi bangkai. Hal ini didasarkan kepada firman Allah Swt:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan daging hewan yang disembelih bukan atas nama Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih….” (QS. Al-Maidah {5}:3).
Sama halnya jika kita mendapati hewan yang terjatuh dari atas pohon kemudian masih sempat untuk disembelih, maka hewan tersebut halal untuk dimakan. Tetapi jika tidak sempat untuk disembelih, maka hewan tersebut menjadi bangkai dan tidak boleh untuk dimakan sekalipun kematiannya itu baru beberapa saat.
d. Mengangkat pisau sebelum sempurna penyembelihan. Apabila seorang penyembelih lalu mengangkat pisaunya sebelum sempurna penyembelihan dan kembali menyembelih untuk menyempurnakannya, hal itu dimakruhkan karena telah melukai hewan tersebut.
e. Melukai hewan dalam kondisi tidak memungkinkan penyembelihan. Sebagaimana diriwayatkan oleh Rafi’ bin Khudaij berkata, “Kami pernah bersama-sama Rasulullah dalam sebuah perjalanan, lalu ada unta (yang hendak disembelih) lepas. Para sahabat tidak memiliki kuda. Selanjutnya, mereka memanah dan akhirnya unta itu dapat ditangkap. Rasulullah kemudian bersabda:
إنّ لهذه البهائم أوابد كأوابد الوحش، فما فعل منها هذا فافعلوا به هكذا (رواه البخارى ومسلم)
“Hewan ini sangat gesit seperti gesitnya binatan liar. Apa yang dilakukan atas hewan ini, perlakukanlah binatang liar seperti ini.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ahmad dan pengarang kitab-kitab Sunan meriwayatkan dari Abu al-Asyara. Ia pernah berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah dalam penyembelihan itu hanya pada tenggorokan nadi?” Rasulullah Saw menjawab,
“Seandainya engkau tusuk pahanya, maka itu sudah memadai bagimu.”
Abu Daud berpendapat, cara tersebut tidak dibenarkan kecuali untuk hewan yang terjatuh dan gesit. Akan tetapi Tirmidzi berpendapat, “Hal itu berlaku dalam kondisi darurat, seperti binatang yang liar atau lari, sehingga penyembelih tidak dapat melakukan penyembelihan sebagaimana mestinya.
Praktek Penyembelihan
Setelah mengetahui syarat dalam penyembelihan, hendaknya orang yang menyembelih menghadapkan hewan tersebut menghadap kiblat, kemudian membaca doa “Bismillahi Allahu Akbar” dengan penuh keyakinan memotong leher hewan sampai tali tenggorokan nadi terputus.

Qurban
Penyembelihan hewan qurban dapat dilakukan pada hari qurban (idul adha), karena hari raya ini dituntut untuk melakukan pengorbanan yang sebesar-besarnya. Sebagaimana yang kita ketahui, kisah dari seorang Nabi bernama Ibrahim a.s yang telah rela mengorbankan putranya hanya karena melaksanakan perintah Allah Swt. Ismail sebagai seorang putra begitu rela dan ikhlas menjadi korban, karena keikhlasan merekalah Allah menggantikan dengan seekor domba. Berikut ini kisah tersebut diabadikan dalam al-Quran.
Pengertian dan Dasar Hukum Qurban
Qurban atau Udhiyyah dalam bahasa Arab adalah nama hewan sembelihan seperti unta, sapi, dan kambing yang disembelih pada Hari Raya Nahar (kurban) dan Tasyrik sebagai bentuk taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah Swt.
Hukum menyembelih hewan qurban adalah sunnah muakkad bagi yang mampu melakukannya. Berdasarkan riwayat Ummu Salamah bahwa Nabi Saw telah bersabda:
إذا رأيتم هلال ذى الحجة وأراد أحدكم أن يضحّي فليمسك عن شعره وأظفاره
“Jika kalian telah melihat hilal bulan Dzul Hijjah, hendaknya seorang di antara kalian berkurban, dan melakukan manasik dengan memotong rambut dan kukunya.” (HR. Muslim).
Adapun dasar hukum qurban adalah firman Allah Swt:
“Sesungguhnya, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah). Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus dari rahmat Allah). (QS. Al-Kautar {108}:1-3)
Berqurban pada hakikatnya mensyukuri atas segala nikmat yang Allah berikan kepada manusia. Karena nikmat tersebut sangat banyak, sudah seharusnya manusia melakukan pengorbanan dalam bentuk apapun kepada Allah Swt. Mengorbankan jiwa, harta, tenaga dan waktu hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dalam hal ini syariat yang dianjurkan adalah melakukan penyembelihan kepada hewan yang kemudian daging hewan tersebut dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan (fakir-miskin).
Keutamaan Berqurban
Ibadah qurban sangat dianjurkan karena mengandung keutamaan dan hikmahnya yang sangat besar untuk kehidupan manusia, sebagaimana sebuah riwayat dari Aisyah r.a Nabi Saw telah bersabda:
ما عمل أدميّ من عمل يوم النحر أحبّ إلى الله من أهراق الدمّ. إنهالتأتي يوم القيامة بقرونها وأشعارها وأظلافها
وإنّ الدم ليقع من الله بمكان قبل أن يقع على الأرض فطيبوا بها نفسا
“Tidak ada amalan yang diperbuat manusia pada Hari Raya Kurban yang lebih dicintai oleh Allah selain menyembelih hewan. Sesungguhnya hewan qurban itu kelak pada hari kiamat akan datang beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulu, dan kuku-kukunya. Sesungguhnya sebelum darah qurban itu mengalir ke tanah, pahalanya telah diterima di sisi Allah. Maka tenangkanlah jiwa dengan berqurban.” (HR. Tirmidzi).

Hadits di atas menggambarkan keutamaan yang besar yang akan diterima oleh orang-orang yang telah berqurban dan memotivasi umat Islam untuk meningkatkan pengorbanan yang besar untuk kepentingan Dinullah (agama Allah).
Adapun bagi mereka yang belum mampu untuk berqurban, dapat mengorbankan segala sesuatu yang mereka miliki untuk kepentingan Allah. Karena Allah Maha Mengetahui siapa diantara hamba-hamba-Nya yang telah berqurban untuk-Nya.
Waktu untuk berqurban
Dalam berqurban disyaratkan bahwa hewan qurban harus disembelih setelah terbit matahari pada hari Idul Adha hingga tiga hari tasyriq (11, 12 dan 13 Dzul Hijjah). Penyembelihan sebelum dan setelah empat hari (10 sd 14) tersebut, maka tidak dibenarkan penyembelihan hewan qurban. Sebagaimana riwayat al-Barra r.a dari Nabi Saw bahwa ia bersabda:
إنّ أول ما نبدأ به فى يومنا هذا أن نصلّي ثمّ نرجع فننحر فمن فعل ذلك فقد أصاب سنتنا ومن ذبح قبل فإنما هو لحم قدّمه لأهله ليس من النسك فى الشيء
“Sesungguhnya hal pertama yang kita lakukan pada hari ini adalah shalat, kemudian kembali dan memotong qurban. Barang siapa yang melakukan itu, berarti ia mendapatkan sunnah kami. Dan barangsiapa yang menyembelih sebelum itu, maka daging sembelihannya untuk keluarganya dan tidak dinilai sebagai ibadah qurban sama sekali.”

Penyembelihan yang dilakukan pada hari-hari tersebut (10 sd 13 Dzulhijjah) baru dapat disebutkan sebagai penyembelihan qurban. Berbeda dengan aqiqah yang disunatkan untuk melakukan penyembelihan pada hari ketujuh tetapi dibolehkan juga pada hari-hari lain.
Jenis Hewan Qurban
Adapun jenis hewan yang boleh diqurbankan adalah jenis hewan ternak seperti unta, sapi dan kambing (domba). Selain dari itu, tidak dibenarkan. Sebagaimana firman Allah Swt,
“…agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak…” (QS. Al-Hajj {22}:34)
Hewan qurban berupa domba yang dianggap layak adalah yang berumur setengah tahun, kambing berumur satu tahun, sapi berumur dua tahun, dan unta berumur lima tahun. Jika semua itu menyulitkan, maka dibolehkan kurang dari itu karena Islam sendiri tidak menyulitkan. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw:
عن جابر قال قال رسول الله صلىّ الله عليه وسلّم لاتذبحوا إلاّ سنّة، فإن تعسّر عليكم فاذبحوا جذعة من الضّأن
“Janganlah kalian berkurban kecuali yang telah berumur satu tahun ke atas. Jika hal itu menyulitkanmu, maka sembelihlah yang jadza kambing.”
Menurut Imam Abu Hanifah jadza adalah kambing domba yang telah berumur beberapa bulan.
Hewan-hewan yang dibolehkan untuk diqurban adalah hewan-hewan yang sehat dan menyehatkan. Sehat adalah kondisi hewan yang tidak terdapat ‘aib. Menyehatkan adalah hewan yang tidak terkena virus, yang jika dimakan dagingnya akan membahayakan orang yang mengkonsumsinya. Diantara ‘aib-‘aib pada hewan tersebut adalah:
a. Penyakit yang jelas terlihat
b. Picak matanya
c. Pincang sekali
d. Sumsum tulangnya tidak kelihatan karena sangat kurus.
Semua itu didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Turmudzi:
أربعة لا تجزئ فى الأضاحي: العوراء البيّن عورها والمريضة البيّن مرضها والعرجاء البيّن ظلعها
والعجفاء التي لا تنقي (رواه الترمذى)
“Empat jenis penyakit pada hewan qurban yang tidak layak yaitu hewan yang picak dengan jelas, dan yang sakit dan penyakitnya terlihat jelas, yang pincang sekali, dan yang kurus sekali.” (HR. Turmudzi)
Adapun ketentuan jumlah hewan yang diqurbankan adalah bagi satu hewan domba untuk satu orang individu, jika dalam keluarga sudah cukup memadai untuk diri dan keluarganya. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Tirmidzi bahwa Abu Ayyub berkata,
كان الرجل فى عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم يضحّى بالشاة عنه وعن أهل بيته فيأكلون ويطعمون
حتّى تباهى الناس فصار كما ترى
“Pada zaman Rasulullah, orang-orang berqurban dengan seekor domba untuknya dan untuk keluarga seisi rumahnya. Mereka memakan dan memberikan kepada orang lain agar manusia merasa senang, sehingga mereka menjadi sebagaimana yang engkau lihat.”

Jika dalam keluarga terdapat lima kepala, dan hendak kelimanya berqurban itu lebih baik daripada hanya seekor domba. Karena keterangan di atas adalah batas minimal setipa keluarga harus berqurban satu ekor.
Adapun hewan sapi atau unta berlaku untuk tujuh orang yang sama-sama bermaksud melaksanakan qurban dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Sebagaimana diriwayatkan dari Jabir:
نحرنا مع النبيّ صلى الله عليه وسلم بالحديبية البدنة عن سبعة والبقرة عن سبعة
(رواه مسلم وابو داود والترمذى)
“Kami menyembelih qurban bersama Rasulullah di Hudaibiyah, seekor unta untuk tujuh orang. Begitu juga dengan sapi.” (HR. Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi).
Pembagian Daging Qurban
Orang yang berqurban disunnahkan untuk memakan dagingnya, membagikannya kepada karib kerabat, serta menyedekahkannya kepada orang-orang fakir. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
“Makanlah olehmu dan bagikanlah serta simpanlah.”
Para ulama mengatakan bahwa yang paling utama adalah memakan sepertiga, bersedekah sepertiga, dan menyimpan sepertiga. Dibolehkan untuk dishadaqahkan semuanya dan tidak dibolehkan untuk disimpan semuanya. Daging qurban itu tidak boleh dijual dalam kondisi apapun, tetapi kulitnya boleh dijual untuk dishadaqahkan atau dimanfaatkan untuk kepentingan agama Allah Swt.
Banyak kita saksikan saat ini, orang-orang yang menerima daging qurban, kemudian daging tersebut dijual kepada orang lain, karena mereka lebih menginginkan uang daripada daging, maka pada kasus seperti ini diperbolehkan. Karena pada hakikatnya yang tidak dibolehkan untuk dijual bagi orang yang telah berqurban.
Tidak dibolehkan memberi daging qurban kepada tukang potong sebagai upah karena mereka berhak menerima upah lain (uang) sebagai imbalan kerja. Tetapi ada ulama lain yang membolehkan memberi daging kurban kepada tukang potong.
Cara Menyembelih hewan qurban.
Ada beberapa yang harus diperhatikan dalam setiap penyembelihan, yaitu:
a. Menggunakan pisau atau sejenisnya yang sangat tajam agar lebih mudah untuk memotong urat tenggorokannya. Karena jika menggunakan alat yang tumpul, dipastikan akan menyiksa hewan tersebut.
b. Seorang yang berqurban, sebaiknya menyembelih hewan qurban dengan tangannya sendiri, tidak mewakilkan kepada orang lain. Walaupun demikian, tidak ada salahnya menyuruh orang lain melaksanakan tersebut. Tetapi ia dianjurkan untuk menyaksikannya penyembelihan itu. Dalam hal ini Rasulullah Saw pernah bersabda kepada Fatimah r.a (puteri beliau),
يا فاطمة قومى فاشهدى أضحيتك فإنّه يغفر لك
“Pergilah ke tempat udhiyyahmu dan saksikanlah; agar diampuni dosa-dosamu yang terdahulu, dengan tetesan pertama darahnya “(HR. Abu Daud).
c. Disunnahkan menghadapkan hewan qurban tersebut kearah kiblat, kemudian menyembelihnya dengan mengucapkan:
بسم الله الله اكبر أللهمّ هذا عنىّ وعن من لم يضحّ من أمّتى
“Dengan nama Allah, dan Allah Maha besar, Allahumma ya Allah, sesungguhnya ini dariku dan dari umatku yang belum berkurban. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Hikmah Berqurban
Diantara hikmah disyriatkannya berqurban adalah sebagai berikut:
a. bertaqarrub kepada Allah Swt.
b. Menghidupkan sunnah Imam orang-orang yang bertauhid seperti Nabi Ibrahim as yang Allah wahyukan kepadanya untuk menyembelih anaknya, Ismail, kemudian Allah menebusnya dengan domba. Allah Swt berfirman:
“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Al-Shaffat:107).
c. Menambah jumlah tanggungan keluarga pada hari Idul Adha dan menebarkan kasih sayang kepada fakir miskin.
d. Sebagai bentuk syukur kepada Allah Swt atas hewan ternak yang diberikan kepada kita. Sebagaimana firman Allah Swt:
“Maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah tundukkan unta-unta itu kepada kalian, mudah-mudahan kalian bersyukur. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalian yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj:36-37).
Aqiqah
Seorang anak merupakan karunia terbesar yang diberikan Allah kepada umat manusia, anak juga merupakan perhiasan yang tidak bisa digantikan dengan uang. Oleh karena itu, bagi manusia yang telah diberikan seorang anak harus mensyukurinya dengan menyembelih seekor atau dua ekor kambing /domba sebagai rasa syukur yang dipanjatkan kepada Allah Swt. Itulah yang dikenal dengan aqiqh yang akan dibahas dalam bab ini:
Pengertian dan Hukum Aqiqah
Pengertian aqiqah adalah hewan sembelihan untuk anak yang baru lahir. Pengarang kitab Mukhtar Shihah menyebutkan makna al-aqiqah atau al-‘iqqah adalah rambut makhluk yang baru dilahirkan, baik manusia maupun binatang. Dinamakan juga aqiqah sebagai hewan yang disembelih untuk anak yang baru lahir pada hari ke tujuhnya (seminggu).
Hukum aqiqah adalah sunnah muakkad, walaupun orang tua bayi dalam keadaan kesusahan. Menurut sebagian ulama seperti al-Laits dan Abu Daud bahwa hukum aqiqah adalah wajib. Ketentuan aqiqah sebagaimana qurban, hanya saja dalam aqiqah, tidak dibolehkan bergabung (lebih dari satu).
Anjuran untuk aqiqah adalah riwayat Salman bin Amir adh-Dhabi bahwa Nabi Saw bersabda:
مع الغلام عقيقته، فأهريقوا عليه دما، وما أميطوا عنه الأذى (رواه الخمسة)
“Bagi seorang anak ada aqiqahnya, maka tumpahkanlah atasnya darah (sembelih hewan), dan hilangkanlah atasnya kotoran dan najis.” (HR. al-Khamsah).
Aqiqah lebih baik dilaksanakan pada hari ketujuh setelah kelahiran, apabila tidak memungkinkan, maka pada hari keempat belas, jika tidak juga, maka pada hari keduapuluh satu, dan jika tidak mungkin juga, maka di hari mana pun. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi:
تذبح لسبع ولأربع عشر ولإحدى وعشرين
“Aqiqah disembelih pada hari ketujuh, atau pada hari keempat belas atau pada hari kedua puluh satu.”
Namun aqiqah dapat dilaksanakan pada waktu-waktu lain di saat mereka sudah mampu melakukannya. Tetapi jika mereka mampu, tetapi menunda-nunda untuk melakukannya dengan alasan yang tidak dibenarkan, maka termasuk ke dalam kategori melalaikan perintah Allah Swt.

Keutamaan Aqiqah
Aqiqah memiliki keutamaan dan hikmah, diantaranya adalah sebagaimana diriwayatkan dari Samurah bahwa Nabi Saw bersabda:
كلّ مولود رهينة بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويحلق ويسمّى
“Setiap anak yang baru lahir itu terpelihara dengan aqiqahnya yang disembelih hewan untuknya pada hari ketujuh kelahirannya, ia dicukur dan diberi sebuah nama.”
Dari keterangan hadits di atas, bahwa pada hakikatnya Allah Swt akan melindungi anak dari segala macam bahaya yang menimpanya dengan aqiqah yang telah diberikan untuk anak. Sebagaimana kita ketahui bahwa pada usia-usia bayi anak sangat rentan dari bahaya yang menimpanya, karena pada saat itu daya tahan tubuhnya belum stabil.
1. Aqiqah untuk anak laki-laki dan anak perempuan
Ketentuan aqiqah bagi anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan. Aqiqah bagi anak laki-laki adalah dengan menyembelih dua ekor kambing yang sama, begitu juga umurnya. Sedangkan aqiqah anak perempuan cukup satu ekor. Hal ini didasarkan kepada riwayat dari Ummu Kurz al-Ka’biyah berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda:
عن الغلامان شاتان متكافئتان وعن الجارية شاة
“Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang mirip, sedangkan anak perempuan satu ekor.”
Islam memang tidak membeda-bedakan antara lelaki dan perempuan, di sisi Allah tidak memandang perbedaan tersebut tetapi hanya memandang ketakwaan mereka. Perbedaan tersebut hanya karena anak lelaki memiliki tanggung jawab besar untuk keluarganya sehingga kelahirannya sangat begitu didambakan oleh orang tuanya dengan sangat berharap pada anak lelaki mereka menjadi tulang punggung keluarga. Oleh karena itu rasa syukurnya pun harus lebih besar daripada kelahiran anak perempuan.
Oleh karena itu pula, pembagian waris bagi anak lelaki lebih besar daripada bagian perempuan. Hal ini karena tanggung jawab yang diterima oleh lelaki lebih besar daripada perempuan. Lelaki bertanggung jawab memberikan nafkah, pakaian dan tempat tinggal untuk keluarganya.
2. Memberi nama dan mencukur rambut
Memberikan nama adalah salah satu kewajiban orang tua terhadap anaknya. Sebaiknya anak diberi nama dengan nama-nama yang baik. Nama-nama yang baik seperti Abdullah, Abdurrah, juga dibolehkan dengan member nama Malaikat, Nabi dan Thaha serta Yasin. Serta tidak dibolehkan memberi nama yang disembah selain Allah, seperti Abdul Uzza, Abdu Hubal, Abdu Umar, Abdu Ka’bah dan Hasya Abdul Muthallib. Juga dimakruhkan memberikan nama seperti Yasar, Rabah, Nujaih, Aflah karena nama-nama tersebut terkadang sebagai sarana mendatangkan kesialan. Sebagaimana riwayat dari Samurah bahwa Nabi Saw bersabda:
لا تسمّ غلامك يسارا ولا رباحا ولا نجيحا ولا أفلح فإنك تقول :أثمّ هو - فلا يكون – فيقول : لا (رواه مسلم)
“Janganlah engkau memberi nama anakmu itu dengan Yasar, Rabbah, Nujaih dan Aflah. Karena sesungguhnya jika engkau menanyakannya, ‘Apakah ia memang demikian?’ Jangan sampai ada yang menjawab, ‘Tidak.’” (HR. Muslim).
Orang tua hendaklah mencari nama-nama yang terbaik untuk anak-anak mereka, karena nama adalah doa atau cermin kepribadian anak di masa mendatang. Jika nama tersebut baik, insya Allah pertumbuhan dan perkembangan menjadi anak yang baik. tetapi jika nama anak buruk, maka keburukanlah yang akan menimpa anak dan keluarganya.
Sebelum di aqiqah, hendaknya bayi tersebut diberikan nama, sehingga pada saat pelaksanaan aqiqah sudah jelas nama yang akan didoakannya. Selain itu, rambut bayi pun dicukur pada saat pelaksanaan aqiqah. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw mengaqiqah Hasan dengan seekor kambing dan bersabda:
يا فاطمة احلقى رأسه وتصدّقى بوزنه فضّة على المساكين فوزناه فكان وزنه درهما أو بعض درهم
“Wahai Fatimah, cukurkan olehmu rambutnya dan bersedekahkanlah dengan perak seberat timbangan rambutnya kepada orang miskin.” Kemudian mereka berdua ditimbang yang beratnya sebanyak dua dirham atau sebagian dirham.”
Mencukur rambut yang kemudian ditimbang berat tersebut
3. Cara menyembelih hewan aqiqah
Cara menyembelih hewan aqiqah sama dengan hewan qurban, sebaiknya yang melakukan penyembelihan adalah wali dari bayi yang dilahirkan. Jika tidak memungkinkan, maka boleh diwakilkan oleh orang lain. Sebelum penyembelihan, doa yang dipanjatkan adalah:
بسم الله ألله أكبر اللهمّ لك وإليكك عقيقة فلان
“Bismillah Allahu Akbar, Ya Allah kami menyembelih hewan ini demi Engkau, dan kepada Engkau sebagai aqiqah Fulan (seraya menyebut nama anak bayi tersebut)”
Adapun hewan yang dijadikan aqiqah adalah hewan kambing atau domba yang disahkan pada hewan qurban seperti tidak ada cacat.



MU’AMALAH
Jual-Beli
Pengertian dan Hukum Ba’i (Jual Beli)
Menurut etimologi jual beli diartikan muqabalatu al-sya’i bi al-syai’ yang artinya pertukaran sesuatu dengan sesuatu yang lain.”
Kata lain dari bai’ adalah al-syira’, al-mubadalah dan al-tijarah.
Sedangkan menurut terminologi, Ulama Hanafiyah mendefinisikan sebagai berikut:
مبادلة مال بمال على وجه مخصوص
“Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).”
Senada dengan ulama Hanafiyah, Imam Nawawi mendefinisikan jual-beli yaitu:
مقابلة مال بمال تمليكا
“Pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”.
Dalil Jual-Beli
Jual beli disyariatkan berdasarkan al-Quran, Sunnah dan Ijma’.
Firman Allah Swt:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. (QS. al-Baqarah:275)
“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual-beli.” (QS. al-Baqarah:282).
Rasulullah Saw pun bersabda:
وانما البيع عن تراض (رواه البيهقى وابن ماجه)
“Jual-Beli harus dipastikan saling meridhai.” (HR. Baihaqi dan Ibnu Majah).
سئل النبي صلى الله عليه وسلم أي الكسب أطيب؟ فقال عمل الرجل بيده وكلّ بيع مبرور (رواه البزار وصححه الحاكم)
“Nabi Saw ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau menjawab, ‘Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual-beli yang mabrur.” (HR. Bajjar dan Hakim).
Secara ijma’ bahwa ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
Rukun Jual-Beli
Menurut jumhur ulama ada empat rukun jual beli, yaitu:
a. Bai’ (penjual)
b. Mustari (pembeli)
c. Shighat (ijab qabul)
d. Ma’qud ‘alaih (barang atau benda).
Hukum dan sifat Jual-Beli
Ditinjau dari hukum dan sifat jual-beli, jumhur ulama membagi jual beli menjadi dua macam, yaitu jual beli yang dikategorikan sah (shaih) dan jual beli yang dikategorikan tidak sah. Jual beli sahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syara’, sebaliknya jual beli yang tidak sah adalah jual-beli yang tidak memenuhi ketentuan syara’.
Menurut Wahbah al-Juhaili bahwa jual beli yang tidak sesuai dengan syariat dapat dibagi sebagai berikut:
1. Terlarang sebab ahliah (ahli akad), yaitu seperti jual-beli orang gila, anak kecil, jual beli orang yang dipaksa, jual beli fudhul (milik orang lain tanpa seizinnya).
2. Terlarang sebab shigat, yaitu jual beli yang tidak memenuhi ketentuan shigat pada keridhaan di antara pihak yang melakukan akad.
3. Terlarang sebab ma’qud ‘alaih (barang jualan), yaitu barang yang dijual tidak sesuai dengan ketentuan syari’at. Seperti jual beli gharar (jual beli yang mengandung kesamaran). Seperi sabda Rasulullah Saw:
لا تشتروا السمك فى الماء فإنه غرور (رواه أحمد)
“Janganlah kamu membeli ikan di dalam air karena jual-beli seperti itu termasuk gharar (menipu).”
4. Terlarang sebab syara’, yaitu jual beli yang secara jelas-jelas dilarang oleh syara’ seperti jual beli riba, jual beli barang yang diharamkan, jual beli waktu adzan Jum’at, jual beli yang sedang dibeli oleh orang lain.

Macam-macam Jual Beli
Ada beberapa macam dalam jual beli, yaitu:
a. Ba’i salam, menurut bahasa, salam adalah menyegerakan atau mendahulukan modal. Secara istilah adalah jual beli sesuatu yang disebutkan sifatnya pada suatu perjanjian dengan membayar di muka. Atau pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Jual beli salam ini didasarkan dalam al-Quran dan hadits:
“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…” (QS. Al-Baqarah:282)
Juga didasarkan atas hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Rasulullah datang ke Madinah yang penduduknya melakukan salaf (salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu satu, dua, tiga tahun. Beliau bersabda:
من أسلف فى شيء ففى كيل معلوم ووزن معلوم الى أجل معلوم (أخرجه الائمة الستة)
“Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui.” (Ditakhrijkan oleh imam yang enam).
Adapun rukun bai’ salam adalah meliputi, muslam atau pembeli, muslam ilaih atau penjual, modal atau uang, muslam fih atau barang dan shigat atau ucapan.
Dalam perbankan, jual beli salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank adalah barang seperti padi, jagung dan cabai, dan bank tidak berniat untuk menjadikan barang-barang tersebut sebagai simpanan, maka dilakukanlah bai’ salam kepada pembeli kedua, seperti Bulog, pedagang pasar induk atau grosir. Inilah yang dalam perbankan Islam dikenal dengan bai’ salam (jual beli salam).
b. Bai’ ishtishna’ yaitu kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta system pembayaran; apakah dimuka, melalui cicilan atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang. Menurut jumhur fuqaha, bai’ istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari akad bai’ salam. Dengan demikian, ketentuan bai’ istishna mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’ salam.
c. Bai’ murabahah, yaitu jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam bai’ murabahah, penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Misalnya, pedagang eceran membeli pakaian dari grosir dengan harga Rp. 10. 000,00, kemudian ia menambah keuntungan sebesar Rp. 5000,00 dan ia menjual kepada si pembeli dengan harga Rp. 15.000,00. Pada umumnya, si pedagang eceran tidak akan memesan dari grosir sebelum ada pesanan dari calon pembeli dan mereka sudah menyepakati tentang jumlah pakaian, besar keuntungan yang akan diambil pedagan eceran, serta besarnya angsuran kalau memang akan dibayar secara angsuran.
Ketentuan yang harus diperhatikan dalam jual beli
Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam akad jual beli, yaitu:
a. Larangan menjual barang yang telah dibeli pihak lain
Menjual barang yang telah diakad oleh pihak lain hukumnya adalah haram, seperti yang dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a dari Rasulullah Saw yang bersabda:
لا يبع أحدكم على بيع أخيه (رواه أحمد والنسائى)
“Janganlah diantara kamu menjual barang yang telah diakd pihak lain.” (HR. Ahmad dan Nasa’i).
Akad jual beli tersebut batal karena ia telah menjual barang yang bukan miliknya lagi dan telah menjadi pembeli pertama. Oleh karena itu, tidak dibolehkan bagi seorang pedagang menjual barang yang sudah dibeli oleh pembeli pertama meskipun pembeli kedua membelinya dengan harga yang sangat tinggi.
b. Dianjurkan untuk berlapang dalam akad jual beli
Berlapang dada dalam akad jual beli sangat dianjurkan dalam Islam. Berlapang dada dapat dilakukan oleh penjual maupun pembeli. Berlapang dada bagi penjual dapat melakukan hal-hal yang diridhai oleh pembeli, sepert melebihkan jumlah timbangan, tidak mengambil keuntungan sangat tinggi dan jujur kepada pembeli. Sedangkan berlapang dada bagi pembeli adalah dengan tidak menawar harga dengan sangat rendah, tidak meminta dikurangi timbangan, tidak memaksa diberikan bonus dan lain sebagainya yang dapat merugikan pedagang. Dalil untuk berlapang dada ini terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Tirmidzi dari Jabir, bahwa Rasulullah Saw bersabda:
رحم الله رجلا سمحا إذا باع وإذا اشترى وإذا اقتضى
“Allah mengasihi seseorang yang memberikan kemudahan apabila ia menjual, membeli, dan menagih haknya.”
c. Larangan membeli barang rampasan dan curian
Islam melarang bagi umatnya untuk membeli barang yang diketahuinya adalah hasil perbuatan yang tidak halal. Membeli barang tersebut sama artinya bekerjasama untuk berbuat dosa. Hal ini didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi bahw Rasulullah Saw bersabda:
من اشترى سرقة وهو يعلم أنها سرقة فقد اشترك فى إثمها وعارها
“Barangsiapa yang membeli barang hasil curian dan ia mengetahuinya, maka ia juga sama mendapatkan dosa dan kejelekannya.”
d. Larangan jual beli waktu adzan Jum’at
Jual beli yang dilakukan pada waktu shalat Jum’at hukumnya haram dan tidak sah, karena pada waktu itu, tidak ada aktivitas lain selain menunaikan shalat Jum’at. hal ini didasarkan kepada firman Allah Swt:
“Hai orang-orang beriman, apabila diseur untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah. {62}:9).
Riba
Riba bukan hanya persoalan masyarakat Islam, tetapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan ini. Seperti orang-orang Yahudi dilarang mempraktekkan pengambilan bunga terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (perjanjian lama) maupun undang-undang Tahmud. Sebagaimana termaktub dalam Kitab Exodus (keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan:
“Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih utang terhadap dia; janganlah engkau bebankan bunga uang terhadapnya.”
Pengertian Riba
Riba secara bahasa berarti ziyadah (tambahan). Adapun menurut istilah riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil atau pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam. Mengenai hal ini, Allah Swt mengingatkan dalam firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil. ..” (QS. Al-Nisa:29).
Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya, Ahkam al-Quran, menjelaskan:
والربا فى اللغة هو الزيادة والمراد فى الأية كلّ زيادة لم يقابلها عوض
“Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud adalah penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti dan penyeimbang yang dibenarkan.”

Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek.

Sehingga jika si A meminjam uang sebesar Rp. 5 juta kemudian digunakan untuk usaha dan mendapatkan keuntungan Rp. 7 juta, maka si A boleh mengembalikan hutangnya lebih dari Rp. 5 juta. Kelebihan tersebut bukan riba karena dibarengi dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu 5 juta dijadikan modal untuk usaha.

Berbeda dengan si A meminjam Rp. 5 juta kepada si-B. kemudian si A tidak menggunakan uang itu untuk usaha dan bahkan si B meminta digantikan pinjaman tersebut lebih. Itulah yang disebut dengan riba yang tidak dibolehkan.

Dalil Keharaman Riba
Dalam al-Quran pembicaraan mengenai riba disebutkan pada beberapa tempat dan dalam waktu yang berbeda-beda. Ketika al-Quran diturunkan pada periode Mekah, Allah Swt menyatakan:
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)” (QS. Al-Rum {30}:39).
Dan ketika memasuki periode madinah, ayat al-Quran jelas-jelas mengharamkan perbuatan riba; seperti firman Allah Swt:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Ali Imran {3}:130).
Uraian al-Quran tentang hukum riba diakhiri dengan diturunkannya ayat berikut,
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (QS. Al-Baqarah {2}: 278-279).

Keharaman riba juga didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw:
إجتنبوا السبع الموبقات. قالوا : يا رسول الله وما هنّ؟ قال : الشرك بالله والسحر وقتل النفس التى حرّم الله إلاّ بالحقّ وأكل الربا وأكل مال اليتيم والتولّى يوم الزحف وقذف المحصنات المؤمنات الغافلات (رواه البخارى)
“Jauhilah tujuh dosa yang dapat membinasakan. Sahabat bertanya, ‘apakah itu ya Rasulullah?’ jawab Nabi, (1) syirik (mempersekutukan Allah); (2) Berbuat sihir (tenung); (3) membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali yang hak; (4) memakan harta riba; (5) makan harta anak yatim; (6) melarikan diri dari perang jihad pada saat berjuang; dan (7) menuduh wanita mukminah dengan tuduhan zina.” (HR. Bukhari)
Macam-macam riba
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua.
a. Riba Fadhl, yaitu pertukaran sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi. Seperti uang dengan uang dan jual beli makanan dengan makanan yang disertai kelebihan atau tambahan. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw:
ولا تيمّموا الدرهم بالدرهمين فإنّى أخاف عليكم الرماء
“Janganlah kalian menjual satu dirham dengan dua dirham, sesungguhnya aku takut kalian berbuat riba.”
Berdasarkan hadits tersebut, pelarangan riba fadhl karena ditakutkan untuk berbuat riba nasi’ah.
b. Riba Nasi’ah, yaitu memberikan kelebihan terhadap pembayaran karena ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda dibanding utang pada benda yang ditakar atau ditimbang yang sama jenisnya. Atau dengan kata lain riba yang tambahannya disyaratkan oleh kreditor (pemberi pinjaman) kepada debitor (peminjam) karena penundaan atau penempoan pembayaran.
Semua jenis riba tersebut diharamkan karena mengarah kepada eksploitasi dan pemerasan oleh pihak kreditor kepada debitur.
Praktek Riba
Seorang misalnya bernama Amin meminjam uang sebesar Rp. 1000.000 dan akan dikembalikan pada bulan berikutnya, kemudian pada waktunya tiba Amin tidak dapat membayar hutangnya, maka orang yang memberikan pinjaman itu mengasih tempo sebulan berikutnya dengan membayar kelebihannya. Kelebihan itu disebut riba. Sehingga Amin dipaksa membayar utangnya sebesar Rp. 2.000. 000. Inilah yang disebut dengan riba nasi’ah

Adapun contoh praktek riba fadhl yaitu emas satu gram ditukar dengan emas dua gram. Uang 1000.000 ditukar dengan 1.500.000.

Dampak Negatif Riba
Segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah Swt akan berdampak buruk jika dilakukan oleh manusia, berikut ini dampak negative dari praktek riba, yaitu:
a. Dampak Ekonomi, salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang. Dampak lainnya adalah bahwa utang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas uang tersebut dibungakan. Contoh paling nyata adalah utang Negara-negara berkembang kepada Negara-negara maju. Meskipun disebut pinjaman lunak, artinya dengan suku bunga rendah, pada akhirnya Negara-negara pengutang harus berutang lagi untuk membayar bunga dan pokoknya. Akibatnya, terjadilah utang yang terus-menerus. Ini yang menjelaskan proses terjadinya kemiskinan struktural yang menimpa lebih dari separoh masyarakat dunia.
b. Dampak Sosial, riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agara berusaha dan mengembalikan, misalnya, dua puluh persen lebih tinggi dari jumlah yang dipinjamkannya. Masalahnya siapa yang bisa menjamin usaha yang dijalankan oleh orang itu nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari dua puluh persen? Karena dalam berusaha memiliki dua kemungkinan berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, orang sudah memastikan bahwa usaha yang dikelola pasti untung.

Hikmah Diharamkannya Riba
Diantara hikmah diharamkannya riba selain dampak negative dari riba di atas adalah:
a. Melindungi harta orang muslim agar tidak dimakan dengan batil.
b. Memotivasi orang muslim untuk menginvestasikan hartanya pada usaha-usaha yang bersih dari penipuan, jauh dari apa saja yang menimbulkan kesulitan dan kemarahan di antara kaum muslimin, misalnya dengan membantu para petani, industry, bisnis yang benar dan lain sebagainya.
c. Menutup seluruh pintu bagi orang muslim yang membawa kepada memusuhi dan menyusahkan saudaranya.
d. Menjauhkan orang muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaan, karena memakan riba pada hakikatnya adalah kezhaliman dan akibat dari kezhaliman adalah kesusahan.
Membuka pintu-pintu kebaikan di depan orang muslim agar ia mencari bekal untuk akhiratnya, misalnya dengan member pinjaman kepada saudaranya tanpa meminta uang tambahan atas hutangnya, memberi tempo waktu kepada peminjam hingga bisa membayar hutangnya, memberi kemudahan kepadanya dan menyayanginya karena ingin mendapatkan keridhaan Allah Swt.

PEMBELAJARAN EFEKTIF dan E-LEARNING

Kebijakan peningkatan kualitas pendidikan membawa konsekuensi, antara lain perubahan model pembelajaran yang mengajarkan mata-mata pelajaran (subject matter based program) ke model pembelajaran berbasis kompetensi (competencies based program). Model pembelajaran berbasis kompetensi bermaksud menuntun proses pembelajaran secara langsung berorientasi pada kompetensi atau satuan-satuan kemampuan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa proses pembelajaran harus berorientasi pada pembentukan seperangkat kompetensi sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Hal demikian menuntut kemampuan guru dalam merancang model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik bidang kajian dan karakteristik siswa agar mencapai hasil yang maksimal. Oleh karena itu peran guru dalam konteks pembelajaran menuntut perubahan, antara lain:
1. Cara pandang guru terhadap siswa perlu diubah. Siswa bukan lagi sebagai obyek pengajaran, tetapi siswa sebagai pelaku aktif dalam proses pembelajaran. Dalam diri siswa terdapat berbagai potensi yang siap dikembangkan. Oleh karena itu dalam konteks pembelajaran guru diharapkan mampu memberikan dorongan kepada siswa untuk mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
2. Guru diharapkan mampu mengajarkan bagaimana siswa bisa berhubungan dengan masalah yang dihadapi dan mengatasi persoalan yang muncul di masyarakat. Antara laian dengan cara memberikan tantangan yang berupa kasus-kasus yang sering terjadi di masyarakat yang terkait bidang studi. Melalui kegiatan tersebut diharapkan siswa dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya, yang pada akhirnya dapat digunakan sebagai bekal kemandirian dalam menghadapi berbagai tantangan di masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi diharapkan bisa ikut ambil bagian dalam mengembangkan potensi masyarakatnya.

Mengajar atau ‘teaching’ adalah membantu siswa memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berfikir, sarana untuk mengekspresikan dirinya, dan cara-cara belajar bagaimana belajar (Joyce dan Well, 1996). Pembelajaran adalah upaya untuk membelajarkan siswa. Secara implisit dalam pengertian ini terdapat kegiatan memilih, menetapkan, mengembangkan metode untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan. Pemilihan, penetapan, dan pengembangan metode ini didasarkan pada kondisi pembelajaran yang ada. Kegiatan-kegiatan tersebut pada dasarnya merupakan inti dari perencanaan pembelajaran.
Pembelajaran efektif adalah pembelajaran dimana siswa memperoleh keterampilan-keterampilan yang spesifik, pengetahuan dan sikap serta merupakan pembelajaran yang disenangi siswa. Intinya bahwa pembelajaran dikatakan efektif apabila terjadi perubahan-perubahan pada aspek koginitif, afektif dan psikomotor (Reiser Robert, 1996).
a. Ciri-ciri Pembelajaran Efektif
1) Aktif bukan pasif
2) Kovert bukan overt
3) Kompleks bukan sederhana
4) Dipengaruhi perbedaan individual siswa
5) Dipengaruhi oleh berbagai konteks belajar
b. Kriteria
1) Kecermatan penguasaan
2) Kecepatan unjuk kerja
3) Tingkat alih belajar
4) Tingkat retensi (Reigeluth & Merril,1989)

E-Learning
Pembelajaran telah mengalami proses evolusi selaras dengan perkembangan teknologi media. Selama ini, telah kita rasakan bahwa pembelajaran tidak hanya dapat dilaksanakan di dalam ruang kelas secara formal, akan tetapi dapat dilakukan di rumah, di kantor atau dimana saja asalkan ditunjang oleh piranti yang memadai.
E-Learning mengandung pengertian dan memberikan dampak memperluas peran, cakrawala, dan jangkauan proses pembelajaran dibandingkan terhadap kegiatan proses tradisional sebelumnya.
Konsep e-learning mengandung dua elemen utama yaitu: (1) knowledge management (information based); (2) on-line training (instruction based).
Beberapa perbedaan mendasar antara informasi dan instruksi dalam hal:
(a) Focus; (b) proses; (c) basis; (d) metode; dan (e) referensi.
Sebagai gambaran perbedaan tersebut dapat ditunjukan pada tabel berikut:
Informasi (learning) Instruksi (training)
Fokus Sistem dan Content (library) Sarana dan Proses
Proses Ditentukan oleh kebutuhan learners Ditentukan oleh instruktur dan design materi
Basis Disiplin atau kategorisasi Fungsi
Metode Cari, simpan dan sebarkan Pengajaran, pelatihan dan ujian
Referensi aplikasi Yelow pages berdasarkan kategori Memori dan materi

Perbedaan tersebut, sesungguhnya hanya merupakan pendekatan bersifat teknis, sebab dalam impelementasinya sesungguhnya dapat disetting berdasarkan keterpaduan sesuai dengan kebutuhan.

PEMBELAJARAN FIQH
Belajar-mengajara adalah usaha untuk dapat mengerti dunia. Untuk melakukan ini, diperlukan semua alat mental manusia. Caranya adalah, berpikir tentang situasi, kepercayaan, harapan, dan perasaan yang akan mempengaruhi bagaimana dan apa yang harus dipelajari. Belajar-mengajar dapat dilakukan pendekatan dari berbagai segi. Belajar-mengajar itu sendiri sesungguhnya masalah yang dihadapi sepanjang sejarah umat manusia, dialami setiap orang. Hampir semua kecakapan, keterampilan, pengetahuan, kebiasaan, kegemaran dan sikap, terbentuk, dimodifikasi dan berkembang karena belajar-mengajar.
Pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum ke dalam rencana pelaksanaan Pembelajaran, mengatur materi peserta didik dan petunjuk guru dalam proses belajara-mengajar. Pembelajaran pula diartikan sebagai rangkaian kegiatan dalam merencanakan, memilih pendekatan dan metode, penerapannya dan mengevaluasi prosesnya. Rangkaian tersebut telah terangkum dalam Rencana Pelaksanaan Pembelejaran.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 41 Tahun 2007 tentang Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) bahwa RPP dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan belajar peserta didik dalam upaya mencapai Kompetensi Dasar. Setiap guru pada Satuan Pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis, agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

RPP disusun untuk setiap KD yang dapat dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih. Guru merancang penggalan RPP untuk setiap pertemuan yang disesuaikan dengan penjadwalan di satuan pendidikan. Adapun komponen RPP adalah sebagai berikut:
1. Identitas Mata Pelajaran, meliputi: satuan pendidikan, kelas, semester, program keahlian, mata pelajaran atau tema pelajaran, jumlah pertemuan.
2. Standar Kompetensi, yaitu merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diharapkan dicapai pada setiap kelas dan/atau semester pada suatu mata pelajaran.
3. Kompetensi Dasar, yaitu sejumlah kemampuan yang harus dikuasai peserta didik dalam mata pelajaran tertentu sebagai rujukan penyusunan indikator kompetensi dalam satuan pelajaran.
4. Indikator Pencapaian Kompetensi, yaitu perilaku yang dapat diukur dan atau diobservasi untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan penilaian mata pelajaran. Indikator pencapaian kompetensi dirumuskan dengan menggunakan kata kerja operasional yang dapat diamati dan diukur, yang mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
5. Tujuan Pembelajaran, yaitu menggambarkan proses dan hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh peserta didik sesuai dengan kompetensi dasar.
6. Materi Ajar, meliputi fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi.
7. Alokasi Waktu, yaitu ditentukan sesuai dengan keperluan untuk pencapaian KD dan beban belajar.
8. Metode Pembelajaran, yaitu metode yang digunakan oleh guru untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agaar peserta didik mencapai kompetensi dasar atau seperangkat indikator yang telah ditetapkan. Pemilihan metode pembelajaran disesuaikan dengan situasi dan kondisi peserta didik, serta karakteristisk dari setiap indikator dan kompetensi yang hendak dicapai pada setiap mata pelajaran.
Pendekatan pembelajaran Tematik digunakan untuk peserta didik kelas 1 sampai kelas 3 SD/MI.
9. Kegiatan Pembelajaran, meliputi 1) Pendahuluan, yaitu merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan untuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. 2) Inti, yaitu proses pembelajaran untuk mencapai KD. Kegiatan pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Dalam kegiatan eksplorasi, guru: a) melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam dan belajar dari aneka sumber; b) menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain; c) memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya; d) melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran; dan e) memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan. Sedangkan dalam kegiatan elaborasi, guru a) membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna; b) memfasilitasi peserta didi melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis; c) memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut; d) memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif; e) memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar; f) memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok; g) memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok; h) memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan; i) memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik. Sedangkan kegiatan konfirmasi, guru a) memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik; b) memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber; c) memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan; d) memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar; yaitu berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan, membantu menyelesaikan masalah, memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi, memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh; dan memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif. 3) kegiatan penutup, dalam kegiatan ini, guru a) bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/kesimpulan pelajar; b) melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram; c) memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajarn; d) merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remidial, program pengayaan, layanan konselling dan/atau memberikan tugas baik individu maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik; dan e) menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.
10. Penilaian Hasil Belajar, prosedur dan instrumen penilaian proses dan hasil belajar disesuaikan dengan indikator pencapaian kompetensi dan mengacu kepada Standar Penilaian.
11. Sumber Belajar, yaitu penentuan sumber belajar didasarkan pada SK dan KD, serta materi ajar, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi.

Dalam penyusunan RPP, guru harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut: yaitu 1) memperhatikan perbedaan individu peserta didik; 2) mendorong partisipasi aktif peserta didik; 3) mengembangkan budaya membaca dan menulis; 4) memberikan umpan balik dan tindak lanjut; 5) keterkaitan dan keterpaduan; dan 6) menerapkan teknologi informasi dan komunikasi.

Selain penyusunan RPP, ada keahlian penting yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam pembelajaran fiqh, yaitu:
A. Memahami prinsip pembelajaran fiqh
Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pembelajaran fiqh, yaitu:
1. Prinsip Individualitas, yaitu memandang bahwa peserta didik itu mempunyai pribadi dan jiwa sendiri-sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perbedaan Individu adalah:
a. Internal Faktor, yaitu cipta, rasa, karsa
b. Eksternal faktor, yaitu keluarga, kesempatan belajar, metode mengajar dan kurikulum dll.
c. Perbedaan individu meliput perbedaan umur, intelegensi dan kesanggupan dan kecepatan.
2. Prinsip kebebasan, meliputi,
a. Self Direction: Tindakan seseorang yang didasarkan pada kebijakan
b. Self Dicipline: Menyarankan pembuat keputusan yang didasarkan pada ukuran kebajikan, dan
c. Self Control: kontrol diri akibat pengaruh dari luar.
3. Prinsip lingkungan, meliputi memberi pengetahun tentang lingkungan seperti dalam fiqh terdapat berbagai macam madzhab yang suatu daerah tidak menerima madzhab tersebut, alat yang digunakan dari lingkungan, mengadakan karya wisata seperti mengunjungi daerah-daerah yang budaya keagamaan mereka berbeda dengan budaya keagamaan peserta didik, dan memberi kesempatan anak untuk mengadakan penyelidikan.
4. Prinsip Globalisasi, seperti manusia berinteraksi dengan lingkungan secara keseluruhan(Global), secara intelektual, fisik maupun sosial; pengajaran Fiqh harus merupakan suatu keseluruhan yang bermakna, dan seluruh aspek pribadi murid harus diperhatikan(cipta, rasa, karsa,tingkah laku dan hubungan sosial) harus diperhatikan.
5. Prinsip Pusat minat
Minat : kecenderungan jiwa yang tetap kejurusan yang berharga
- Berharga : sesuai dengan kebutuhan
- Kebutuhan, meliputi makan, perlindungan, mempertahankan diri terhadap bencana dan musuh dan kerjasama. Dari sini bahan pengajaran fiqh dapat dikumpulkan.
Pusat minat, yaitu
a. Obsevasi : menghubungkn anak dengan lingkungan.
b. Asosiasi : Mengolah pengalaman dari hasil Observasi; dan
c. Ekpresi : melahirkan perasaan secara lisan atau tulisan.
6. Prinsip Aktivitas
Belajar adalah merupakan Aktivitas Rohani dan aktivitas jasmani
Aktivitas belajar meliputi:
a. Visual activity
b. Oral actvity
c. Listening activity
d. Writing activity
e. Drawing activity
f. Motor activity
g. Mental activity
h. Emotional activity
7. Prinsip Motivasi, motivasi adalah usaha yang diasadari oleh guru untuk menimbulkan motif pada diri murid yang menunjang kearah tujuan pembeajaran.
Memotivasi Murid :Menciptakan kondisi sedemikian rupa sehigga anak melakukan apa yang dapat dilakukan. Adapun fungsi motivasi;
a. Memberi semangat sehingga murid menjadi beminat dan siaga
b. Memusatkan perhatian anak
c. Membantu memenuhi kebutuhan
Kesulitan memotivasi anak
a. Guru belum faham benar tentang motiv
b. Motiv bersifat perorangan
c. Tidak ada alat
Teknik Memotivasi Anak, Membangkitakan minat murid melalui :
a. Membangkitkan kebutuhan anak
b. Menggali pengalaman anak dan menemukan pengalaman yang baru
c. Memberi kesempatan berpartisipasi
d. Memakai alat peraga
e. Menetapkan tujuan yang jelas dan wajar
f. Menginformasikan kemajuan dan hasil yang dicapai oleh murid
g. Memberi hadiah
h. Memnafaatkan sikap, cita-cita dan rasa ingin tahu anak
i. Menciptakan suasana yang menggembirakan
j. Mendorong pertisipasi siswa
8. Prinsip Pengajaran berupa pengajaran yang dilakukan untuk memperoleh Pengetahuan yang baru melalui alat indera, Pengajaran berupa :Langsung, mis : mengamati orang sholat, Tidak langsung, mis : mengamati peristiwa masa lampau, Tiruan, Buku, Benda-benda peninggalan
9. Prinsip Korelasi. Prinsip yang menghubungkan mata pelajran Fiqh dengan mata pelajaran yang lain.
B. Memahami kepribadian peserta didik
Atkinson (1996) dalam bukunya Pengantar Psikologi Jilid-2 mendefinisikan kepribadian sebagai pola perilaku dan cara berfikir yang khas, yang menentukan penyesuaian diri seseorang terhadap lingkungan. Istilah khas menyiratkan adanya konsistensi perilaku, bahwa orang cenderung untuk bertindak atau berfikir dengan cara tertentu dalam berbagai situasi. Sementara itu menurut Kelly (dalam Koeswara, 1991) kepribadian diartikan sebagai cara yang unik dari individu dalam mengartikan pengalaman-pengalaman hidupnya. Menurut Wheeler (dalam Patty, 1982) kepribadian adalah pola khusus atau keseimbangan daripada reaksi-reaksi yang teratur yang menampakkan sifat khusus individu diantara individu-individu yang lain.Sedangkan menurut Sigmund Freud sang pendiri aliran Psikoanalisa (dalam Koeswara, 1991) memandang kepribadian sebagai suatu struktur yang terdiri dari tiga sistem, yakni id (dorongan, atau nafsu), Ego (diri) dan superego (nilai yang diintroyeksikan melalui pendidikan). Menurutnya tingkah laku, tidak lain merupakan hasil dari konflik dan rekonsiliasi ketiga sistem kepribadian tersebut.

Menurut Hall (1998) kepribadian merupakan hakekat keadaan manusiawi, yaitu bahwa kepribadian merupakan bagian dari individu yang paling mencerminkan atau mewakili pribadi, bukan hanya dalam arti bahwa ia membedakan individu tersebut dari orang lain, tetapi yang lebih penting, bahwa itulah ia yang sebenarnya. Alport (1971) dalam Sarwono (2002) mendefinisikan kepribadian sebagai berikut: "Personality is the dynamic organization within the individual of those psychophysical system that determine his unique adjustments to his environment" berdasar pada definisi Alport tersebut kepribadian memiliki unsur-unsur sebagai beikut (Sarwono (2002):
1. Organisasi yang dinamis. Tidak statis, tetapi selalu berubah setiap waktu.
2. Organisasi itu terdapat dalam diri individu, dan tidak meliputi hal-hal diluar individu.
3. Organisasi itu terdiri atas sistem psikis, yaitu sifat, bakat, dan sebagainya, dan sistem fisik, yaitu anggota dan organ-organ tubuh yang saling terkait.
4. Organisasi itu menentukan corak penyesuaian diri yang unik dari tiap individu terhadap lingkungannya.

Sebagian dari kita mungkin masih menyimpan tanda tanya Kenapa mengenal kepribadian siswa menjadi penting untuk meningkatkan prestasi?. Berikut ini beberapa alasan, perlunya seorang guru mengenal kepribadian siswa, yaitu:
1. Merasa kesal dengan siswa yang susah diatur.
2. Merasa kesal dengan siswa yang cerewet sedikit-sedikit bertanya, sedikit-sedikit bertanya.
3. Merasa kesal dengan siswa yang bersikap dingin pada kita.
4. Merasa kesal dengan siswa yang "bodoh" atau sulit sekali memahami pelajaran yang kita berikan.
5. Merasa kesal dengan siswa yang keras hati dan mudah emosi.
6. Merasa kesal dengan siswa yang bicaranya kasar.
7. Merasa kesal dengan siswa yang tidak bertanggung jawab.
8. Merasa kesal dengan siswa yang hanya diam saja dikelas, kalau tidak ditanya tidak bicara.
9. Merasa kesal dengan siswa yang mudah tersinggung.
10. Merasa kesal dengan siswa yang lamban dalam mengerjakan tugas.

Kekesalan-kekesalan kita pada dasarnya adalah disebabkan oleh ketidaktahuan kita terhadap tipe kepribadian masing-masing siswa, sehingga kita sering kesal dengan sikap-sikap siswa yang tidak sesuai dengan keinginan kita, kemudian memarahi, tanpa memahami, dan tanpa memberikan solusi yang sesuai dengan pribadi dan kebutuhan siswa. Mungkin kita tidak sadar, bahwa sikap memarahi yang kita lakukan kepada siswa kita yang tidak pernah bertanya di kelas, bisa menyebabkan siswa malah menjadi minder, malas belajar dan semakin tidak memiliki keberanian di kelas, kenapa ini bisa terjadi?, karena pada dasarnya siswa yang bersangkutan diam bukan disebabkan karena dia tidak tertarik dengan pelajaran, tetapi lebih disebabkan oleh tipe kepribadian introvert yang ada pada dirinya sehingga dia cenderung pendiam. Kesalahan kita adalah, sebenarnya kita harus memotivasinya dan bukan sebaliknya memarahinya.

Menurut Mahmud (1990) kepribadian terbagi menjadi dua belas kepribadian, yang meliputi kepribadian sebagai berikut:
1. Mudah menyesuaikan diri, baik hati, ramah, hangat VS dingin.
2. Bebas, cerdas, dapat dipercaya VS bodoh, tidak sungguh-sungguh, tidak kreatif.
3. Emosi stabil, realistis, gigih VS emosi mudah berubah, suka menghindar evasive, neurotik.
4. Dominat, menonjolkan diri VS suka mengalah, menyerah.
5. Riang, tenang, mudah bergaul, banyak bicara VS mudah berkobar, tertekan, menyendiri, sedih.
6. Sensitif, simpatik, lembut hati VS keras hati, kaku, tidak emosional.
7. Berbudaya, estetik VS kasar, tidak berbudaya.
8. Berhati-hati, tahan menderita, bertanggung jawab VS emosional, tergantung, impulsif, tidak bertanggung jawab.
9. Petualang, bebas, baik hati VS hati-hati, pendiam, menarik diri.
10. Penuh energi, tekun, cepat, bersemangat VS pelamun, lamban, malas, mudah lelah.
11. tenang, toleran VS tidak tenang, mudah tersinggung.
12. Ramah, dapat dipercaya VS curiga, bermusuhan.

Menurut Eysenck (1964) tipe kepribadian dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Kepribadian Ekstrovert :dicirikan dengan sifat sosiabilitas, bersahabat, menikmati kegembiraan, aktif bicara, impulsif, menyenangkan spontan, ramah, sering ambil bagian dalam aktivitas sosial.
2. Kepribadian Introvert :dicirikan dengan sifat pemalu, suka menyendiri, mempunyai kontrol diri yang baik.
3. Neurosis : dicirikan dengan pencemas, pemurung, tegang, bahkan kadang-kadang disertai dengan simptom fisik seperti keringat, pucat, dan gugup.



PENELITIAN TINDAKAN KELAS FIQH

Ada hal penting yang perlu juga dilakukan oleh guru di kelas, yaitu melakukan penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian tindakan kelas (PTK) adalah sebuah penelitian yang dilakukan oleh guru di kelasnya sendiri dengan jalan merancang, melaksanakan, dan merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat.

PTK memiliki berbagai karakteristik sebagai berikut.
1. Masalah berawal dari guru
2. Tujuan PTK memperbaiki pembelajaran semakin baik
3. Metode utama adalah refleksi diri dengan tetap mengikuti kaidah-kaidah penelitian
4. Fokus penelitian berupa kegiatan pembelajaran di kelas
5. Guru bertindak sebagai pengajar dan peneliti.

Selain mengajar, guru juga dianggap paling tepat untuk melakukan PTK, berikut ini beberapa alasannya sebagai berikut:
1. Guru mempunyai otonomi untuk menilai kinerjanya sendiri.
2. Temuan penelitian tradisional sering sukar diterapkan untuk memperbaik pembelajaran
3. Guru merupakan orang yang paling akrab dengan kelasnya sendiri.
4. Interaksi guru-siswa berlangsung secara unik
5. Keterlibatan guru dalam berbagai kegiatan inovatif yang bersifat pengembangan mempersyaratkan guru untuk mampu melakukan PTK di kelasnya.
Adapun beberapa manfaat melakukan PTK bagi guru adalah sebagai berikut:
1. Membantu guru memperbaiki mutu pembelajaran.
2. Meningkatkan profesionalitas guru
3. Meningkatkan rasa percaya diri guru
4. Memungkinkan guru secara aktif mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya.
Ada beberapa tahapan dalam melakukan penelitian tindakan kelas, yaitu: mengidentifikasi
masalah, menganalisis dan merumuskan masalah, serta merencanakan perbaikan.


1. Mengidentifikasi dan menetapkan masalah
Selama mengajar kemungkinan guru menemukan berbagai masalah, baik masalah yang bersifat pengelolaan kelas, maupun yang bersifat instruksional. Meskipun banyak masalah, ada kalanya guru tidak sadar kalau dia mempunyai masalah. Atau masalah yang dirasakan guru kemungkinan masih kabur sehingga guru perlu merenung atau melakukan refleksi agar masalah tersebut menjadi semakin jelas. Oleh karena itu, guru perlu menemukan masalah atau dapat juga guru memulai dengan suatu gagasan untuk melakukan perbaikan kemudian mencoba memfokuskan gagasan tersebut. Untuk melakukan hal ini, guru dapat merenungkan kembali apa yang telah dilakukan. Jika guru rajin membuat catatan pada akhir setiap pembelajaran yang dikelola-nya, maka ia akan dengan mudah menemukan masalah yang dicarinya. Atau agar mampu merasakan dan mengungkapkan adanya masalah, maka seorang guru dituntut jujur pada diri sendiri dan melihat pembelajaran yang dikelolanya sebagai bagian penting dari dunianya. Setelah mengetahui permasalahan, selanjutnya melakukan analisis dan merumuskan masalah agar dapat dilakukan tindakan. Contoh permasalahan yang dihadapi oleh seorang guru fiqh, yaitu rendahnya motivasi sebagian besar siswa untuk melakukan ibadah seperti shalat dengan kesadarn diri mereka.
2. Menganalisis dan merumuskan masalah
Sebenarnya secara tidak sadar guru telah melakukan PTK, yakni ketika guru melakukan evaluasi, menganalisis hasil evaluasi, dan tindak lanjutnya. Jika masalah sudah ditetapkan, maka masalah ini perlu dianalisis dan dirumuskan. Tujuannya adalah agar paham akan hakikat masalah yang dihadapi, terutama apa yang menyebabkan rendahnya motivasi siswa untuk melakukan ibadah dengan kesadaran diri mereka. Untuk mengetahui penyebabnya, masalah ini harus dianalisis, dengan mengacu kepada teori dan pengalaman yang relevan. Misalnya, untuk menganalisis penyebab permasalahan yang dihadapi oleh guru dapat mengacu kepada analisis internal dan eksternal siswa dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut.
a. Apakah guru fiqh selalu memberikan kesempatan kepada siswa untuk shalat setiap waktu shalat tiba?
b. Apakah guru bersama orangtua memberikan motivasi siswa untuk melakukan ibadah shalat?


Jika setelah dianalisis, kedua pertanyaan di atas dijawab dengan ya, tentu harus dicari penyebab lainnya, misal: apakah lingkungan di rumah mendukung siswa untuk melakukan ibadah shalat, apakah sarana-sarana shalat telah dimiliki oleh siswa?
Jika umpamanya kedua pertanyaan di atas dijawab tidak, maka kita sudah dapat jawaban sementara, yaitu penyebab motivasi siswa rendah untuk melakukan ibadah shalat adalah:
a. Lingkungan di rumah tidak mendukung siswa untuk shalat.
b. Fasilitas shalat di rumah tidak dimiliki oleh siswa.

Apabila dikaji secara cermat ternyata kedua penyebab tersebut berkaitan dengan masalah komunikasi guru dengan orang tua, dalam hal ini kompetensi sosial guru fiqh yaitu komunikasi dengan orang tua siswa. Oleh karena itu, tindakan perbaikan yang harus dilakukan guru adalah meningkatkan keterampilan komunikasi dengan masyarakat dalam hal ini orang tua siswa. Satu hal yang sangat perlu kita perhatikan adalah bahwa PTK dilakukan dalam pembelajaran biasa, tidak ada kelas khusus untuk melakukan PTK karena pada hakikatnya PTK dilakukan oleh guru sendiri di kelasnya sendiri. siswa tidak dapat menjawab pertanyaan guru adalah karena pertanyaan yang diajukan guru tidak jelas dan sering panjang dan berbelit-belit, serta guru tidak memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir. Jika ini yang dianggap sebagai penyebab, maka guru dapat merencanakan tindakan perbaikan, yaitu dengan menyusun pertanyaan tersebut secara cermat, serta berusaha memberikan waktu untuk berpikir sebelum meminta siswa menjawab pertanyaan.
3. Merencanakan tindakan perbaikan
Berdasarkan rumusan masalah (juga mencakup penyebab timbulnya masalah), guru mencoba mencari cara untuk memperbaiki atau mengatasi masalah tersebut. Dengan perkataan lain, dalam langkah ini, guru perlu meningkatkan kemampuan dan keahliannya sebagai guru profesional yang memiliki empat kompetensi utama yaitu: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional.


MODEL PEMBELAJARAN EFEKTIF

1. Numbered Heads Together (Kepala Bernomor, Spencer Kagan,1992)
Langkah-langkah :
a. Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor
b. Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya
c. Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota kelompok dapat mengerjakannya/mengetahui jawabannya
d. Guru memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil kerjasama mereka
e. Tanggapan dari teman yang lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain
Kesimpulan

2. Cooperative Script (Skrip Koperatif, Dansereu:1985)
Langkah-langkah :
a. Guru membagi siswa untuk berpasangan
b. Guru membagikan wacana/materi tiap siswa untuk dibaca dan membuat ringkasan
c. Guru dan siswa menetapkan siapa yang pertama berperan sebagai pembicara dan siapa yang berperan sebagai pendengar
d. Pembicara membacakan ringkasannya selengkap mungkin, dengan memasukkan ide-ide pokok dalam ringkasannya.
Sementara pendengar :
• Menyimak/mengoreksi/menunjukkan ide-ide pokok yang kurang lengkap
• Membantu mengingat/menghafal ide-ide pokok dengan menghubungkan materi sebelumnya atau dengan materi lainnya
e. Bertukar peran, semula sebagai pembicara ditukar menjadi pendengar dan sebaliknya. Serta lakukan seperti diatas.
f. Kesimpulan Siswa bersama-sama dengan Guru
g. Penutup

3. Model Student Teams-Achievement Division (Tim Siswa Kelompok Prestasi, Slavin:1995)
Langkah-langkah :
a. Membentuk kelompok yang anggotanya = 4 orang secara heterogen (campuran menurut prestasi, jenis kelamin, suku, dll)
b. Guru menyajikan pelajaran
c. Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota-anggota kelompok. Anggotanya yang sudah mengerti dapat menjelaskan pada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti.
d. Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis tidak boleh saling membantu
e. Memberi evaluasi
f. Kesimpulan
4. Model Jigsaw (Model Tim Ahli, Aronson dkk:1978)
Langkah-langkah :
a. Siswa dikelompokkan ke dalam = 4 anggota tim
b. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang berbeda
c. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang ditugaskan
d. Anggota dari tim yang berbeda yang telah mempelajari bagian/sub bab yang sama bertemu dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan sub bab mereka
e. Setelah selesai diskusi sebagai tim ahli tiap anggota kembali ke kelompok asal dan bergantian mengajar teman satu tim mereka tentang sub bab yang mereka kuasai dan tiap anggota lainnya mendengarkan dengan sungguh-sungguh
f. Tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi
g. Guru memberi evaluasi
h. Penutup
5. Model Problem Based Introduction
Langkah-langkah :
a. Guru menjelaskan kompetensi yang ingin dicapai dan menyebutkan sarana atau alat pendukung yang dibutuhkan. Memotivasi siswa untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.
b. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dll.)
c. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah.
d. Guru membantu siswa dalam merencanakan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya
e. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap eksperimen mereka dan proses-proses yang mereka gunakan

6. Model Make-a Match (Mencari Pasangan, Lorna Curran:1994)
Langkah-langkah :
a. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban
b. Setiap siswa mendapat satu buah kartu
c. Tiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang
d. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (soal jawaban)
e. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin
f. Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya
g. Demikian seterusnya
h. Kesimpulan/penutup

7. Think Pair and Share
Langkah-langkah :
a. Guru menyampaikan inti materi dan kompetensi yang ingin dicapai
b. Siswa diminta untuk berfikir tentang materi/permasalahan yang disampaikan guru
c. Siswa diminta berpasangan dengan teman sebelahnya (kelompok 2 orang) dan mengutarakan hasil pemikiran masing-masing
d. Guru memimpin pleno kecil diskusi, tiap kelompok mengemukakan hasil diskusinya
e. Berawal dari kegiatan tersebut, Guru mengarahkan pembicaraan pada pokok permasalahan dan menambah materi yang belum diungkapkan para siswa
f. Guru memberi kesimpulan
g. Penutup

8. Debate
Langkah-langkah :
a. Guru membagi 2 kelompok peserta debat yang satu pro dan yang lainnya kontra
b. Guru memberikan tugas untuk membaca materi yang akan didebatkan oleh kedua kelompok diatas
c. Setelah selesai membaca materi, Guru menunjuk salah satu anggota kelompok pro untuk berbicara saat itu, kemudian ditanggapi oleh kelompok kontra. Demikian seterusnya sampai sebagian besar siswa bisa mengemukakan pendapatnya.
d. Sementara siswa menyampaikan gagasannya, guru menulis inti/ide-ide dari setiap pembicaraan sampai mendapatkan sejumlah ide diharapkan.
e. Guru menambahkan konsep/ide yang belum terungkap
f. Dari data-data yang diungkapkan tersebut, guru mengajak siswa membuat kesimpulan/rangkuman yang mengacu pada topik yang ingin dicapai.

9. Role Playing
Langkah-langkah :
a. Guru menyusun/menyiapkan skenario yang akan ditampilkan
b. Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario dalam waktu beberapa hari sebelum KBM
c. Guru membentuk kelompok siswa yang anggotanya 5 orang
d. Memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai
e. Memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang sudah dipersiapkan
f. Masing-masing siswa berada di kelompoknya sambil mengamati skenario yang sedang diperagakan
g. Setelah selesai ditampilkan, masing-masing siswa diberikan lembar kerja untuk membahas penampilan masing-masing kelompok.
h. Masing-masing kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya
i. Guru memberikan kesimpulan secara umum
j. Evaluasi
k. Penutup

10. Snowball Throwing
Langkah-langkah :
a. Guru menyampaikan materi yang akan disajikan
b. Guru membentuk kelompok-kelompok dan memanggil masing-masing ketua kelompok untuk memberikan penjelasan tentang materi
c. Masing-masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya masing-masing, kemudian menjelaskan materi yang disampaikan oleh guru kepada temannya
d. Kemudian masing-masing siswa diberikan satu lembar kertas kerja, untuk menuliskan satu pertanyaan apa saja yang menyangkut materi yang sudah dijelaskan oleh ketua kelompok
e. Kemudian kertas yang berisi pertanyaan tersebut dibuat seperti bola dan dilempar dari satu siswa ke siswa yang lain selama ± 15 menit
f. Setelah siswa dapat satu bola/satu pertanyaan diberikan kesempatan kepada siswa untuk menjawab pertanyaan yang tertulis dalam kertas berbentuk bola tersebut secara bergantian
g. Evaluasi
h. Penutup

11. Inside-Outside Circle (Lingkaran Kecil-Lingkaran Besar)
Langkah-langkah :
a. Separuh kelas berdiri membentuk lingkaran kecil dan menghadap keluar
b. Separuh kelas lainnya membentuk lingkaran di luar lingkaran pertama, menghadap ke dalam
c. Dua siswa yang berpasangan dari lingkaran kecil dan besar berbagi informasi. Pertukaran informasi ini bisa dilakukan oleh semua pasangan dalam waktu yang bersamaan
d. Kemudian siswa berada di lingkaran kecil diam di tempat, sementara siswa yang berada di lingkaran besar bergeser satu atau dua langkah searah jarum jam.
e. Sekarang giliran siswa berada di lingkaran besar yang membagi informasi. Demikian seterusnya.

Contoh RPP FIQH

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)


Sekolah : SMP Negeri Bandung
Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Islam
Kelas/Semester : IX/II
Alokasi Waktu : 4 JP
KKM : 71


A. Standar Kompetensi
12. Memahami tata cara berbagai shalat sunnah

B. Kompetensi Dasar
12.1 Menyebutkan pengertian dan ketentuan shalat sunnah berjama’ah dan munfarid
12.2 Menyebutkan contoh shalat sunnah berjama’ah dan munfarid
12.3 Mempraktikkan shalat sunnah berjama’ah dan munfarid dalam kehidupan
Sehari-hari.

C. Indikator
12.1.1 Menjelaskan pengertian shalat sunnah berjama’ah
12.1.2 Menjelaskan pengertian shalat sunnah munfarid
12.1.3 Menyebutkan dalil naqli terkait dengan shalat sunnah berjama’ah dan munfarid
12.2.1 Menyebutkan contoh-contoh shalat sunnah berjama’ah
12.2.2 Menyebutkan contoh-contoh shalat sunnah munfarid
12.3.1 Mnejelaskan tatacara shalat sunnah berjama’ah dan munfarid
12.3.2 Mempraktikkan shalat sunnah berjama’ah dan munfarid di sekolah.

D.Tujuan Pembelajaran
1. Setelah siswa membaca dan menelaah literatur shalat sunnah berjama’ah dan munfarid, siswa dapat menjelaskan pengertian shalat sunnah berjama’ah dan shalat munfarid serta menyebutkan dalil naqlinya.
2. Setelah siswa mengidentifikasi berbagai shalat sunnah berjama’ah dan munfarid yang pernah dilakukan, siswa dapat menyebutkan contoh-contoh shalat sunnah berjama’ah dan munfarid.
3. Setelah siswa mempelajari ketentuan dan tatacara shalat sunnah berjama’ah dan munfarid, siswa dapat menjelaskan tatacara dan mempraktikan shalat sunnah berjama’ah dan munfarid.

E. Materi Pembelajaran

1. Pengertian dan ketentuan shalat sunah berjama’ah
Shalat berjama’ah adalah shalat yang dikerjakan bersama-sama dengan paling
sedikitnya terdapat seorang imam dan seorang makmum. Shalat sunah yang
disunnahkan dikerjakan secara berjamaah adalah sebagai berikut :
1. Shalat dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha)
2. Shalat gerhana: shalat kusuf (gerhana matahari) dan khusuf (gerhana bulan)
3. Shalat Istisqa
4. Shalat Tarawih dan Witir pada bulan Ramadhan.

Ketentuan masing-masing sebagai berikut:
1. Shalat dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha)
Shalat dua hari raya adalah shalat sunah yang dikerjakan pada pagi hari raya.
Ketentuan pelaksanaannya sebagai berikut:
a. Waktu shalat Id adalah mulai tertbit matahari hingga sebelum waktu Zuhur.
b. Shalat Idul Fitri dikerjakan tanggal 1 syawal sedangkan Idul Adha tanggal
10 Zulhijah.
c. Ada khuitbah ID (setelah shalat).
d. Ada dua rakat, takbir 7 kali pada rakaat pertama dan 5 kali pada rakaat kedua.
e. Disunahkan mandi sebelum shalat.
f. Disunahkan memakai wangi-wangian dan berhias.
g. Disunahkan makan sebelum pergi shalat Idul Fitri dan tidak makan sebelum
shalat Idul Adha.
h. Disunahkan berangkat melalui satu jalan dan pulang melintasi jalan yang lain.

2. Shalat Kusuf (gerhana matahari) dan shalat Khusuf (gerhana bulan)
Shalat sunah gerhana adalah shalat sunah yang dilaksanakan pada waktu terjadi
Gerhana bulan atau matahari. Ketentuan pelaksanaannya sebagai berikut:
a. Dilaksanakan pada waktu ketika terjadi gerhana dan belum lenyap (terang
kembali )
b. Sebaiknya dilaksanakan di masjid atau mushala.
c. Ada dua rakaat dengan rincian sebagai berikut:
1. Berdiri yang panjang pada rakat yang pertama dengan bacaan dan tata caranya sama dengan shalat biasa, yaitu doa iftitah, ta’awudz, fatihah, kemudian baca surat.
2. Kemudian ruku’ pertama pada rakaat pertama dengan tata cara dan bacaannya sama dengan shalat biasa.
3. Kemudian bangkit dari ruku’ (berdiri kedua), cara dan bacaannya sama dengan bangkitnya shalat biasa, dilanjutkan membaca fatihah dan surat (berdiri keduap pada rakaat pertama).
4. Kemudian ruku kedua pada rakat pertama, yang bacaannya sama dengan shala biasa.
5. Bangkit dari ruku kedua, bacaannya sama dengan bangkit shalat biasa, dilanjutkan sujud yang tata cara dan bacaannya sama dengan sholat biasa.
6. Berdiri ketiga, rakaat kedua sama cara dan bacaannya dengan berdiri kedua pada shalat biasa, yaitu baca fatihah dan surat.
7. Kemudian ruku ketiga pada rakaat kedua lalu bangkit dari ruku baca lagi fatihah dan surat (berdiri keempat).
8. Kemudian ruku keempat rakaat kedua, lalu bangkit. Bacaan dan tata caranya sama dengan shalat biasa.
9. Kemudian sujud ketiga rakaat kedua, dilanjutkan duduk diantara dua sujud, lalu sujud kekempat pada rakaat kedua yang cara dan bacaannya sama dengan shalat biasa.
10. Duduk untuk Attahiyyat, cara dan bacaannya sama dengan shalat biasa.
11. Dilanjutkan khutbah oleh imam.
12. Bersodaqah.
13. Pada saat berdiri kedudukan tangan tetap bersidekap seperti shalat biasa

3. Shalat Istisqa
Shalat Istisqa adalah shalat sunah yang bertujuan memohon kepada Allah SWT.
Agar diberi hujan. Ketentuan pelaksanaan shalat Istisqa sebagai berikut:
a. Dikerjakan tempatnya dilapangan.
b. Dilaksanakan secara berjama’ah
c. Dimulai dengan khutbah bertakbir memuji Allah dengan pujian Alhamdulillah
sampai selesai.
d. Setelah memuji Allah membelakangi manusia sambil menyelendangkan selen-
dangnya (imam) sambil mengangkat tangan.
e. Kemudian sholat berjama’ah dua rakaat yang tata caranya sama dengan sholat
biasa.
4. Shalat Tarawih dan Witir
Shalat tarawih adalah ibadah shalat sunah yang dilakukan pada malam hari
sesudah shalat isya sa,pai menjelang waktu fajar yang dikerjakan pada bulan suci
Ramadhan ketentuan pelaksanaannnya sebagai berikut:
a. Dilaksanakan malam hari pada bulan Ramadhan setelah shalat Isya.
b. Shalat tarawih dilaksanakan sebelas rakaat utamanya empat, empat, tiga.
c. Shalat witir dilaksanakan setelah shalat tarawih. Bilangan rakatnya ganjil
minimalnya satu.
2. Pengertian dan ketentuan shalat sunah munfarid
Shalat sunah munfarid adalah shalat sunah yang dikerjakan sendiri baik di masjid,
Mushala, rumah, dan sebagainya.
a. Contoh-contoh shalat sunah munfarid
1. Shalat Rawatib.
2. Shalat Tahiyyatul Masjid
3. Shalat Dluha
4. Shalat Istikharah
5. Shalat Tahajud.
b. Ketentuan pelaksanaan shalat sunah munfarid
1. Shalat Rawatib
Shalat Rawatib adalah shalat sunnah yang pelaksanaannya mengiringi shalat
fardhu.
Shalat sunah yang dikerjakan sebelum shalat fardu disebut shalat sunah qabliyah,
Sedangakan yang dikerjakan setelah shalat fardu disebut shalat sunah ba’diyah.
Shalat sunah Rawatib diantaranya:
a.Dua rakaat atau empat rakaat sebelum dhuhur.
b.Dua rakaat sesudah maghrib.
c.Dua rakaat sesudah Isya.
d.Dua rakaat sebelum subuh
e.Dua rakaat sesudah dhuhur.
2. Shalat Tahiyyatul Masjid
Shalat Tahiyatul Masjid adalah shalat sunah yang bertujuan untukl menghormati
Masjid. Dikerjakan oleh orang yang baru masuk masjid sebelum duduk. Tetapi
Apabila shalat berjama’ah telah akan dimulai, tidak disunahkan untuk melakukan
Shalat Tahiyatul Masjid.

3. Shalat Sunah Dluha
Shalat dluha adalah shalat sunah yang dikerjakan pada waktu dluha, yaitu waktu
Matahari setinggi tombak (sekitar pukul 07.00) sampai waktu menjelang shalat Zuhur. Shalat dluha dikerjakan paling sedikit dua rakaat dan sebanyak-banyaknya
12 rakaat.

4. Shalat Istikharah
Shalat sunah Istikharah dikerjakan untuk meminta petunjuk Allah SWT untuk
Memutuskan di antara dua pilihan yang masih kita ragukan. Waktu shalat
Istikharah kapan saja, siang maupun malam.
5. Shalat Tahajud
Shalat Tahajud adalah shalat sunah yang dikerjakan setelah tidur pada malam hari antara waktu shalat isya sampai dengan fajar sidik menjelang subuh. Namun,
waktu yang paling utama untuk melaksanakan shalat tahajud adalah dua pertiga malam, sekitar pukul 02.00 dini hari.


2. Dalil Naqli terkait Shalat Sunah Berjama’ah dan Munfarid.
a. Dalil naqli shalat Idain:


Artinya:”Dari umi Athiyah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW, telah menyuruh kami keluar pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, supaya kami membawa gadis-gadis perempuan yang sedang haid dan hamba perempuan ke tempat shalat hari raya. Adapun perempuan yang sedang haid, mereka tidak boleh mengerjakan shalat.” (HR. Bukhari Muslim).


b. Dalil naqli shalat Tarawih:


Artinya: “Dari Abi Hurairah telah menceritakan bahwasanya Raulullah saw. Selalu menganjurkan Qiyamu Ramadhan (shalat sunah malam di bulan Ramadhan), tetapi tidak memerintahkan mereka dengan perintah yang tegas (wajib), untuk itu beliau bersabda, “Barang siapa mengerjakan shalat (sunah di malam hari) bulan Ramadhan karena iman dan mengharap ridha Allah, niscaya dosa-dosanya yang terdahulu diampuni.”(HR>Bukhari dan Muslim).

c. Dalil naqli shalt Tahajud:
            

Artinya:”Dan pada sebahagian malam hari shalatlah tahajud sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Rabmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al Isra: 79)
3. Tata cara shalat sunah berjama’ah (Idain)
a. Takbiratul ihram (takbir ke satu), kemudian ditambah lagi enam kali takbir(pada
rakaat pertama).
b. Doa iftitah , fatihah, dan baca surat.
c. Ruku, bangkit dari ruku kemudian sujud, bangkit dari sujud, duduk antara dua sujud,
kemudian sujud kedua.
d. Bangkit dari rakat pertama kemudian takbir lima kali takbir.
e. Membaca fatihah kemudian baca surat.
f. Ruku, bangkit dari ruku, sujud duduk antara dua sujud, sujud terakhir kemudian
duduk attahiyyat. Bacaan dan tata caranya sama dengan shalat biasa.
g. Kemudian salam dengan cara dan bacaannya sama dengan shalat biasa.
h. Tidak ada dzikir ba’da shalat, dilanjutkan imam naik mimbar untuk berkhutbah
4. Tata cara shalat munfarid
Cara melaksanakan shalat sunah munfarid sama dengan mengerjakan shalat fardlu, baik
bacaan maupun gerakannya, hanya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Tidak diawali adzan dan iqamah
b. Bacaannya tanpa dikeraskan
c. Sebaiknya pindah atau bergeser tempat dari shalat fardlu.

F. Metode Pembelajaran
1. Ceramah
2. Diskusi
3. Tanya jawab
4. Praktik


G. Alat dan Sumber
1. Al-qur’an dan terjemah (Syamil)
2. Buku Pendidikan Agama Islam kelas IX, karangan Tim Abdi Guru ( Erlangga )
3. Buku Pendidikan Agama Islam kelas IX, karangan Multahim dkk ( Yudhistira )
4. Multiple Intelegence For Islamic Teaching, karangan Ariany Syurfah ( Syamil )
5. LKS Pendidikan Agama Islam kelas IX, karangan Saminu, S.Ag ( Galileo )
6. Kaifiyat Shalat Nabi SAW, karangan KH. Deddy Rahman (MT. Ibadurrahman)
7. CD Interaktif Belajar Shalat, Iqra Media
8. VCD Pembelajaran sholat


H. Kegiatan Pembelajaran

Pertemmuan kegiatan Waktu Metode
1




























2.  Pendahuluan
1) Apersepsi
 Sebutkan macam-macam shalat sunnah berjamaah
dan munfarid!
2) Motivasi
 Bertanya jawab dengan siswa tentang pentingnya
melaksanakan shalat-shalat sunah, baik yang
dikerjakanberjamaah atau pun munfarid.

 Kegiatan Inti
1) Siswa dikelompokkan menjadi 6 kelompok
2) Siswa membaca dan menelaah literatur untuk menemukan
ketentuan yang jelas tentang shalat sunah berjama’ah dan
munfarid.
3) Siswa bersama kelompoknya mendiskusikan berbagai
ketentuan tentang shalat berjama’ah dan munfarid. (TT)
4) Setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi
kelompoknya dan antar kelompok saling mengoreksi hasil
diskusinya. (TT)
5) Guru melakukan penilaian proses

 Penutup
1) Guru bersama-sama dengan siswa mengadakan refleksi
tentang ketentuan shalat berjama’ah dan munfarid.
2) Guru memberikan tugas rumah untuk mempelajari dan
menghapalkan doa shalat-shalat sunah, kemudian mem-
praktikkannya di depan kelas pada pertemuan berikutnya.
(TMTT)

 Pendahuluan
1.Apersepsi
 Apakah kalian sudah terbiasa mengerjakan shalat
sunnah?
2) Motivasi
 Bertanya jawab dengan siswa terkait dengan tugas
mempelajari dan menghapalkan doa shalat-shalat
sunah dan munfarid.


 Kegiatan Inti
1) Siswa dikelompokkan menjadi 6 kelompok (tiap kelom-
pok mempraktikan salah satu jenis shalat berjama’ah dan
munfarid).
2) Siswa melihat tayangan CD Interaktif tentang belajar
shalat.
3) Siswa bersama kelompoknya berlatih mempraktikkan salat
berjama’ah dan munfarid. (TT)
4) Setiap kelompok mempraktikkan shalat sunah berjama’ah
secara bergiliran, kelompok yang lain menyimak dan mem-
beri komentar. (TT)
5) Guru memberikan penguatan berdasarkan hasil uji kom-
petensi mempraktikkan shalat sunah berjama’ah dan
munfarid.
6) Guru melakukan penilaian proses

 Penutup
1) Guru bersama-sama dengan siswa mengadakan refleksi
dengan menanyakan apa yang telah dan belum dikuasai
terkait dengan kompetensi mempraktikkan shalat sunah
berjama’ah dan munfarid.
2) Guru memberikan tugas rumah untuk terus berlatih di
rumah mempraktikkan shalat sunah berjama’ah dan
munfarid serta mengisi rubrik skala sikap terkait materi
shalat sunah berjama’ah dan munfarid.(TMTT)

10 menit












60 menit













10 menit








10 menit









60 menit














10 menit

Ceramah
Tanya jawab










- Diskusi
- Inkuiri










- Refleksi
- Penugasan










- Ceramah
- Tanya jawab







- Diskusi
- Praktik













- Refleksi
- Penugasan




I. Penilaian
a. Prosedur : Tes tertulis/lisan/uji petik kerja.
b. Bentuk soal : Uraian
c. Indikator dan soal

Indikator soal Kunci jawaban Ranah Skor
Menjelaskan pengertianShalat sunah berjamaah Apa yang dimaksud dengan shalat sunah berjamaah?
Shalat berjama’ah adalah shalat yang dikerjakan bersama-sama dengan paling sedikitnya terdapat seorang imam dan seorang makmum.
C1 10
Menjelaskan pengertianShalat sunah munfarid.
Apa yang dimaksud dengan shalat sunahmunfarid?
Shalat sunah munfarid adalah shalat sunah yang dikerjakan sendiri baik di masjid, mushala, rumah dan lain sebagai-
Nya.
C1 10
Menyebutkan dalil naqliterkait dengan shalat
sunah berjamaah dan munfarid.
Kumpulkan beberapa dalil naqli terkait dengan shalat sunah berjamaah dan munfarid!
– HR. Muslim
- QS. Al Isra:79
C1 10
Menyebutkan contoh contoh shalat sunah
berjamaah.
Di antara tiga contoh shalat
sunah berjamaah adalah….,dan……..
Shalat Idul Fitri, Idul Adha dan tarawih.
C1 10
. Menyebutkan contoh-contoh shalat sunah munfarid.
sebutakan tiga contoh shalat
sunah munfarid….
a. Shalat Rawatib
b. Shalat TahiyyatulMasjid
c. Shalat Tahajud C1 10
Menjelaskan tata cara shalat sunah berjamaah dan munfarid.
Jelaskan secara singkat tatacara shalat sunah berjamaah dan munfarid!
a. Niat shalat sunah yang akan dilakukan (secara berjamaah dan munfarid
b. Takbiratul ihram.
c. Setelah membaca Fatihah membaca surat pilihan.
d. Bacaan dan gerakan dalam shalat sunah sama seperti melakukan shalat
fardlu. C1 25
Mempraktikkan shalat
sunah berjamaah dan munfarid di sekolah. Tunjukkan dan praktikkan salah satu shalat sunah
munfarid yang sering kalian lakukan! Shalat sunah munfarid yang seringdilakukan adalah shalat sunah rawatib dan praktiknya sebagai berikut:
a. Dikerjakan dua rakaat sebelum atau sesudah shalat fardlu.
b. Niat shalat sunah yang akan dilakukan (secara berjamaah dan munfarid).
c. Setelah membaca fatihah membaca surat pilihan.
d. Bacaan dan gerakan dalam shalat sunah sama seperti melakukan shalat
fardlu. C3 25

J. Pedoman Penilaian
1. Nomor 1 dijawab dengan benar diberi skor maksimal 0 - 10
2. Nomor 2 dijawab dengan benar diberi skor maksimal 0 - 10
3. Nomor 3 dijawab dengan benar diberi skor maksimal 0 - 10
4. Nomor 4 dijawab dengan benar diberi skor maksimal 0 - 10
5. Nomor 5 dijawab dengan benar diberi skor maksimal 0 - 10
6. Nomor 6 dijawab dengan benar diberi skor maksimal 0 - 25
7. Nomor 7 dijawab dengan benar diberi skor maksimal 0 - 25
Jumlah = 100



Mengetahui Bandung, Januari 2010
Kepala SMPN ---- Bandung Guru Mata Pelajaran PAI




______________________ _____________________
NIP. 195608171978031010 NIP.197911122003122001




Lampiran 1

Lembar Kerja Siswa
(Pertemuan ke satu)

 Kegiatan kelompok :

1. Setiap kelompok membuat 5 pertanyaan berkaitan dengan shalat sunnah
berjama’ah dan 3 pertanyaan berkaitan dengan shalat sunnah munfarid!
2. Pertanyaan yang telah dibuat itu ditukarkan dengan kelompok lain untuk
dijawab kelompok itu!
3. Jawaban setiap kelompok diberi skor dan diserahkan kepada guru.























Lampiran 2
Lembar Kerja Siswa

(Pertemuan ke dua)
1. Praktik Shalat Sunah Berjamaah dan Munfarid.
a. Tetaplah bergabung dengan teman-temanmu!
b. Tiap kelompok bertugas mempraktikkan salah satu jenis shalat sunah berajamaah.
c. Kelompok yang lain menyimak kelompok siswa yang sedang mempraktikkan shalat
sunah berjamaah.
d. Setelah praktik selesai diadakan sesi tanya jawab dan diskusi, siswa dari masing-
masing kelompok bisa saling mengajukan pertanyaan.

Format Penilaian Sikap dalam Praktik Shalat
No
Nama

Perilaku
Nilai
Keterangan
Keseriusan Fasih dalam membaca Keserasian
antara gerakan dan bacaan Bekerja sistematis/
tumaninah























Keterangan:
Kolom perilaku diisi dengan angka yang sesuai:
1 = sangat kurang
2 = kurang
3 = sedang
4 = baik
5 = amat baik



2. Pekerjaan rumah (PR)
a. Kerjakan rubrik skala sikap di bawah ini di rumahmu.
b. Nyatakan pendapatmu sesuai dengan kecendrungan sikap kamu dengan cara memberi
tanda (v) pada pertantaan berikut dan sertakan alasannya!

No
Pertanyaan

Sikap

Setuju
Tidak Setuju
Alasan
1. Shalat sunah tidak perlu dilakukan jika
Shalat fardlu sudah dilakukan dengan sebaik-baiknya.
2. Pak Arman masuk masjid ketika imam sedang berkhutbah. Ia langsung duduk.
3. Saat bulan Ramadhan, Hamdan tidak mau ke masjid. Ia shalat tarawih sendirian di rumah agar lebih khusyuk.
4. Pak Adi dan Pak Hamid bertengkar karena jumlah rakaat shalat Tarawih, apakah 20 atau 8 rakaat.
5. Sebelum shalat Idul Fitri disunahkan makan pagi terlebih dahulu.

c. Kumpulkan tugasmu pada pertemuan minggu depan!




Daftar Pustaka
Abdur Rahman al-Juzairi, 2001. Tt. Fiqh ala madzahibil arba’ah. Alih Bahasa Chatibul Umam. Jakarta: Darul Ulum Press.
Ahmad Syafi’I MK, Drs. 1987. Pengantar Shalat yang Khusu’. Bandung: Remaja Karya CV.
Ahmad, Muhaimin. 2001. Kumpulan Doa Lengkap. Semarang CV Aneka Ilmu.
Al-Asqolani, al-Hafiz bin Hajar. t.t. Bulughul Maram. Bandung: PT Al-Ma’arif.
Al-Bahraisy, Salim. 1981. Riyadus Shalihin. Bandung: PT Al-Ma’arif.
Al-Mubarak, Abdul Aziz. 1986. Nailul Authar (Himpunan Hadits Hukum). Surabaya: Tanpa Tahun. Al-Azhar. Beirut, Lebanon: Darul Fikr.
Anwar, Muhammad. t.t Kumpulan Doa-doa Pilihan. Bandung: Husaini.
Ibrahim Muhammad al-Jamal. t.t. Fiqhul Mar’ah al-Muslimah. Alih bahasa Anshari Umar Sitanggal. 1981. Semarang: CV. Asy Syifa.
Rasyid Sulaiman. 1996. Fiqh Islam. Bandung: PT. Sinar Baru Algesindo.
Sabiq Sayyid. 1996. Fiqh Sunnah Cet.17. Alih Bahasa Mahyuddin Syaf. Bandung: alMa’arif.
Sabiq Sayyid. tt. Fiqh Sunnah. Terjemahan Salim Nabhan. Surabaya.
Syamsuddin Abu Abdillah, tt. Fathul Qarib. Alih Bahasa bu H.F. Ramadhan B.A. Surabaya: Mutiara Ilmu.
Zainuddin al-Malibari. 2003. tt. Fathul Mu’in. Terjemahan KH. Moh. Anwar. Bandung: PT. sinar Baru Algesindo.
Ibnu al-Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Rusyd al-Qurthubi, Bidayatul Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, cet. Al-Tijariyah.
Al-Majmu’, Syarah an-Nawawi atas kitab al-Muhadzab karangan al-Syairazi, cet. Maktabah al-Irsyad, Saudi
S. Nasution,1995. Didaktik Asas-asas Mengajar, Bumi Aksara: Jakarta.
Roestiyah NK, 1989, Masalah-masalah Ilmu Keguruan, Bumi Aksara:Jakarta.
Pawit M. Yusup, 1990, Komunikasi Pendidikan dan Komunikasi Instruksional, Rosdakarya:Bandung.
Paul Suparno, 2001, Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget, Kanisius:Yogyakarta.
Suryosubroto, 1997, Proses Belajar Mengajar Di Madrasah, Rineka Cipta:Jakarta.